Petualangan di Puri Rajawali Scan by BBSC - OCR by Raynold Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1 AWAL LIBURAN Dua anak perempuan sedang duduk-duduk di ambang jendela ruang belajar di asrama mereka. Anak yang satu berambut merah berombak-ombak Mukanya penuh dengan bintik-bintik coklat. Sedang anak yang satu lagi berambut coklat, dengan jambul yang kocak di atas kening. "Satu hari lagi kita libur," kata Lucy-Ann, anak yang berambut merah. Bola matanya yang hijau menatap Dinah. "Aku sudah kepingin sekali bertemu kembali dengan Jack. Berpisah dari dia selama satu semester, rasanya sangat lama." “Ah- kalau aku, tidak apa-apa jika berpisah dari abangku!" kata Dinah sambil tertawa. "Philip bukan anak yang jahat, tapi aku jengkel padanya karena ia selalu membawa-bawa berbagai macam binatang dan serangga yang menjijikkan." "Untung awal liburan mereka hanya berbeda satu hari saja dari kita," kata Lucy-Ann. "Kita akan tiba lebih dulu di rumah. Jadi sempat melihat-lihat dulu sendiri, lalu keesokan harinya bertemu kembali dengan kedua abang kita. Horee!" "Aku ingin tahu kayak apa tempat yang dipilih ibu untuk berlibur kali ini," kata Dinah. "Coba kubaca saja lagi suratnya." Diambilnya surat itu dari kantongnya, lalu dibacanya sepintas lalu. "Tidak banyak yang ditulisnya di sini. Ibu hanya mengatakan bahwa rumah kita akan dibersihkan dan dicat kembali. Karena itu ia menyewa sebuah rumah di bukit selama liburan ini," kata Dinah. "Ini — bacalah sendiri!" Lucy-Ann mengambil surat itu, lalu membacanya dengan penuh minat. "Ya — rumah itu namanya Pondok Musim Bunga. Letaknya di lereng Bukit Puri. Di sini dikatakan bahwa tempat itu agak terpencil. Tapi di sana banyak terdapat burung. Jack pasti akan senang sekali." "Aku tidak mengerti, kenapa abangmu itu begitu gemar pada burung," kata Dinah. "Sama saja payahnya, seperti kegemaran Philip pada serangga dan binatang liar." "Philip sangat pintar bergaul dengan binatang," kata Lucy-Ann, yang sangat mengagumi abang Dinah. "Kau ingat tikus itu, yang dilatihnya mengambil remah—remah makanan yang dijepitnya dengan gigi?" "Hii — jangan ingatkan aku pada hal-hal kayak begitu," kata Dinah bergidik Anak itu jijik terhadap binatang. la bahkan sudah tidak tahan, kalau ada labah-labah di dekatnya. Apalagi tikus dan kelelawar! Bisa menjerit-jerit dia kalau didekati binatang-binatang macam itu. Lucy-Ann merasa agak aneh, kenapa Dinah masih selalu takut pada mereka. Padahal kan sudah bertahun-tahun hidup dengan Philip. Sedang Philip suka sekali pada binatang! "Philip suka mengganggumu, ya?" kata Lucy-Ann pada Dinah. la teringat bahwa Philip sering meletakkan ulat di bawah bantal Dinah, atau kumbang hitam dalam sepatunya. Philip kalau sedang iseng, gemar sekali mengganggu orang. Jadi tidaklah mengherankan apabila Dinah suka marah—marah padanya! "Aku ingin tahu, bagaimana keadaan Kiki selama semester yang lalu," kata Dinah. Kiki itu burung piaraan Jack. Seekor burung Kakaktua yang sangat pandai. Kemampuannya menirukan berbagai suara dan bunyi, benar-benar menakjubkan. Jack mengajar Kiki mengucapkan berbagai kalimat. Tapi burung itu sendiri juga banyak belajar sendiri, terutama dari seorang laki-laki tua yang pemarah. Orang itu paman Lucy-Ann dan Jack. Kedua anak itu dulu tinggal di tempatnya. "Dalam semester ini Kiki tidak diizinkan ikut tinggal di asrama bersama Jack," kata Lucy-Ann. "Untung saja ada teman di kota yang mau menampung, sehingga Jack bisa menjenguknya setiap hari. Aku tidak mengerti, kenapa Kiki tidak boleh ikut dengan Jack, tinggal di asrama!" "Kalau aku — aku bisa membayangkannya, kalau diingat bahwa Kiki selalu melarang guru kepala menyedot hidung, menyuruh wali kelas Jack membersihkan kaki, dan menjerit kayak peluit kereta api di tengah malam sehingga semua terbangun karenanya," kata Dinah. “Ah, pokoknya dalam liburan nanti ia bisa berkumpul lagi dengan kita. Aku senang pada Kiki. Dia itu tidak kayak burung yang biasa. Aku menganggapnya sebagai satu dari kita." Kiki memang teman bergaul yang menyenangkan. Memang, ia tidak bisa diajak mengobrol. Tapi kalau sedang iseng, ia tidak berhenti-henti mengoceh. Ada-ada saja yang diocehkannya. Anak-anak terpingkal-pingkal dibuatnya, sampai keluar air mata. Kiki sangat sayang pada Jack. Kegemarannya bertengger di bahu anak itu. Bisa berjam-jam ia di situ, kalau diperbolehkan. Dinah dan Lucy-Ann sudah tidak sabar lagi menunggu datangnya liburan, karena sudah kepingin sekali bisa bersenang-senang kembali dengan kedua abang mereka. Dan dengan Kiki, tentunya! Dan Lucy-Ann, ia sangat ingin bisa berkumpul lagi dengan ibu Dinah dan Philip yang cantik dan selalu riang itu. Orang tua Jack dan Lucy-Ann sudah meninggal dunia. Selama bertahun-tahun mereka tinggal bersama paman mereka, seorang tua yang pemarah. Tapi kemudian secara kebetulan mereka bertemu dengan Philip dan Dinah Mannering. Philip dan Dinah tidak berayah lagi. Mereka hidup dengan ibu mereka, yang bekerja keras mencari nafkah untuk mereka bertiga. Bu Mannering begitu sibuk, sehingga tidak sempat mengurus kedua anaknya. Karena itu mereka diasramakan. Pada saat-saat liburan, mereka dititipkan pada paman dan bibi mereka yang tinggal di tepi laut. Tapi keadaan kini sudah berubah. Kini keluarga Mannering memiliki cukup banyak uang. Jadi Bu Mannering tidak perlu bekerja terlalu keras lagi. Ia sudah sempat mengurus rumah tangga. Bukan itu saja! Jack dan Lucy-Ann juga diajak tinggal bersama mereka. Jadi kini Dinah dan Lucy-Ann bersekolah bersama-sama dan tinggal satu asrama selama semester sekolah berjalan. Sedang Jack dan Philip juga seasrama di sekolah lain. Di Inggris, banyak juga anak-anak yang tinggal di asrama pada waktu sekolah. Ini sudah merupakan tradisi di sana, setidak-tidaknya untuk golongan tertentu. Tapi setiap tiba saat liburan, keempat anak itu bergabung lagi, tinggal di satu rumah bersama Bu Mannering. Dan dalam liburan kali ini mereka akan tinggal bersama-sama di sebuah rumah tetirah yang disewa Bu Mannering, Dinah sebenarnya agak kecewa. Ia ingin kembali ke rumah sendiri. Tapi tinggal di rumah tetirah, tentunya cukup menyenangkan. Dibayangkannya nanti berjalan-jalan di bukit, serta piknik di sana! "Kau masih ingat petualangan kita musim panas yang lalu?" katanya pada Lucy-Ann. Lucy-Ann saat itu sedang memandang ke luar sambil melamun. la membayangkan betapa senangnya lusa, apabila sudah berkumpul kembali dengan Jack. "Ya," katanya menjawab pertanyaan Dinah. Ia mengernyitkan hidungnya yang penuh bintik. "Petualangan itu sangat menarik — tapi beberapa kali aku takut setengah mati! Pulau Suram — kau masih ingat. Dinah?" "Ya, tentu saja! Dan itu — liang tegak lurus yang mengarah ke perut bumi, di mana kita kemudian tersesat! Wah, bukan main petualangan kita waktu itu!" kata Dinah. "Aku mau saja mengalami yang kayak begitu lagi!" "Kau ini aneh!" kata Lucy-Ann. "Melihat labah-labah saja sudah gemetar ketakutan, tapi kelihatannya senang sekali mengalami petualangan seram. Kalau aku, mengingatnya kembali saja sudah menyebabkan seluruh badanku merinding karena takut!" "Kurasa kita takkan mengalami kejadian seperti itu lagi," kata Dinah agak menyesal. "Kurasa pengalaman begitu cuma terjadi sekali saja seumur hidup! Jack dan Philip kalau datang nanti, pasti ingin terus-terusan mengobrol mengenainya. Kau ingat Natal yang lalu, bagaimana sulitnya kita menyuruh mereka berhenti?” "Aduh, aku kepingin sekarang ini sudah liburan," kata Lucy-Ann dengan gelisah. Ia pergi dari ambang jendela. "Aneh, hari—hari terakhir sebelum libur, rasanya selalu lama sekali!" Tapi akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Keesokan harinya kedua anak perempuan ini berangkat naik kereta api bersama kawan-kawan mereka. Keadaan dalam kereta sangat ramai, penuh dengan suara tertawa dan mengobrol. Kedua anak itu berdebar-debar. Liburan sudah tiba! Mereka harus berganti kereta dua kali. Tapi soal begitu merupakan urusan remeh bagi Dinah. Lucy-Ann selalu malu-malu kalau harus berurusan dengan orang-orang yang tak dikenal. Tapi Dinah yang sudah berumur dua belas tahun, sudah bisa bertindak tegas. Umur Lucy-Ann hanya berbeda setahun dari Dinah. Tapi dilihat dari tingkah laku keduanya, seakan—akan mereka berbeda umur dua atau tiga tahun! Akhirnya kereta api berhenti di stasiun tempat mereka akan berlibur. Kedua anak itu meloncat keluar. Dinah memanggil-manggil satu-satunya tukang angkat barang yang ada di situ. Orang itu bergegas menurunkan koper-koper mereka dari gerbong barang. "Itu ibu!" seru Dinah dengan gembira. Ia lari menyongsong seorang wanita yang cantik. Dinah tidak begitu suka memeluk dan mencium. Soal begitu, serahkan saja pada Lucy-Ann! Dinah menyambut ibunya dengan ciuman sekilas. Tapi Lucy-Ann merangkul wanita itu, sambil mengusap—usapkan rambutnya yang merah dengan penuh kebahagiaan ke dagu Bu Mannering. "Senang- sekali rasanya berjumpa kembali dengan Anda!" kata Lucy-Ann. Entah untuk keberapa kalinya ia berpikir, betapa bahagianya Dinah, karena masih beribu. Tidak anak rasanya hidup yatim-piatu, tanpa orang tua yang menulis surat ke asrama, dan menyambut di rumah pada waktu-waktu libur. Tapi Bu Mannering baik hati. Lucy-Ann merasa bahwa wanita itu menyayanginya. “Aku membawa mobil,” kata Bu Mannering. "Yuk, kita ke luar saja. Barang-barang kalian nanti akan dibawakan orang tadi ke mobil." Mereka bertiga keluar dari stasiun. Stasiun itu kecil, karena itu juga persinggahan yang tidak ramai. Di luar stasiun nampak jalan desa, dipagari semak berbunga indah. Langit biru, sedang cuaca nyaman dan cerah. Lucy-Ann sangat berbahagia. Saat itu hari pertama liburan dan ia sudah berkumpul lagi dengan ibu Dinah yang cantik. Sedang besok, Philip dan Jack datang. Mereka masuk ke mobil Bu Mannering yang kecil. Barang-barang sudah dimasukkan ke tempat bagasi. Bu Mannering duduk di belakang setir mobilnya. "Rumah yang kusewa agak jauh juga dari sini,"katanya. "Barang—barang keperluan sehari—hari, termasuk makanan, harus diambil dari desa sini kecuali telur, susu dan mentega yang bisa dibeli dari pertanian di dekat situ. Tapi daerah sekitarnya bagus sekali. Kalian bisa asyik berjalan-jalan di sana nanti! Dan burung — yah, Jack pasti akan sangat gembira mengenainya!" "Sekarang kan musim mengeram! Pasti pikirannya tidak lain kecuali tentang telur dan sarang burung saja," kata Lucy-Ann. Ia merasa agak cemburu, karena perhatian abangnya begitu tertuju pada kehidupan unggas. Dinah dan Lucy-Ann sibuk melihat-lihat, sementara Bu Mannering menyetir mobil. Pemandangan yang nampak memang indah sekali. Berbukit-bukit. Di kejauhan nampak membiru, menjulang tinggi. Mobil meluncur terus, menyusur lembah yang ada sungainya berkelok-kelok. Setelah itu mulai mendaki sebuah bukit terjal. "Wah! Di sisi bukit inikah tempatnya?" seru Dinah bergairah. "Kalau betul, kita bisa menikmati pemandangan yang sangat indah, ya Bu?" "Betul — di seberang lembah ini, dan di belakangnya masih banyak lagi bukit-bukit," kata ibunya. Gerak mobil kini merayap, karena jalan yang dilalui sangat curam. Semakin tinggi mereka, semakin luas pandangan ke arah lembah. Lucy-Ann mendongak, untuk melihat sudah seberapa tinggi mereka saat itu. Tiba-tiba ia berseru. "He! Lihatlah, ada puri di atas bukit! Lihatlah!" Dinah ikut memandang ke atas. Puri yang dilihatnya sangat mengesankan. Besar dan kokoh, lebih mirip sebuah benteng. Di masing-masing sudutnya ada menara. Dindingnya menunjukkan kesan tebal. Tampak jendela-jendela sempit berjejer, mirip celah. Tapi anehnya, ada pula sejumlah jendela yang lebar-lebar. "Sudah tuakah puri ini?" tanya Lucy-Ann. "Ya, beberapa bagian memang sudah sangat tua," jawab Bu Mannering. "Tapi banyak yang, sudah dipugar kembali. Jadi puri itu merupakan campuran antara bangunan kuno dan baru. Tidak ada yang tinggal di situ sekarang. Aku juga tidak tahu siapa pemiliknya. Kelihatannya orang sini tidak tahu, atau tidak peduli! Puri itu tidak bisa dimasuki. Di daerah sini tempat itu terkenal angker." "Kenapa? Apakah di situ pernah terjadi peristiwa yang mengerikan?" tanya Dinah. Rasa ingin tahunya bangkit. "Kurasa begitu," jawab ibunya. "Tapi apa persisnya, aku tidak tahui Pokoknya lebih baik jangan ke situ, karena jalan menuju tempat itu berbahaya. Kalau tidak salah, pernah terjadi tanah longsor di situ. Kata orang, seluruh puri sebentar lagi pasti akan runtuh ke dasar lembah!" "Wah! Mudah-mudahan saja tidak menimpa rumah tempat kita berlibur!" kata Lucy-Ann. la agak takut. Bu Mannering tertawa. "Ah — tentu saja tidak! Tempat kita itu tidak dekat dengan puri itu — nah, itu dia rumahnya, yang tersembunyi di tengah pepohonan itu!" Rumah yang ditunjuknya tidak besar, tapi indah. Atapnya dari jerami. Jendelanya kecil-kecil dan kacanya terdiri dari keping-keping kecil berbingkai timah. Dinah dan Lucy-Ann langsung menyukai tempat itu. "Kelihatannya agak mirip dengan rumah yang ibu beli untuk tempat tinggal kita," kata Dinah. "Wah, Bu — kita pasti akan senang di sini!" Di sisi rumah itu ada bangunan lagi yang lumayan besarnya. Bu Mannering memasukkan mobilnya ke situ. "Barang-barang kita biarkan saja dulu sebentar di mobil," kata Bu Mannering. "Nanti akan datang seseorang dari pertanian, untuk membawakannya masuk ke rumah. Nah — selamat datang di Pondok Musim Bunga!" Bab 2 PHILIP DAN JACK DATANG Hari itu dan keesokan paginya juga, Dinah dan Lucy-Ann berdua saja melihat-lihat tempat itu. Rumah yang disewa Bu Mannering kecil sekali, tapi untuk mereka berlima masih mencukupi. Dapurnya luas dan model kuno, sedang ruang depan sempit. Di tingkat atas ada tiga kamar tidur yang kecil-kecil. "Satu untuk ibu, satu untuk kita berdua, dan yang ketiga untuk Jack dan Philip," kata Dinah pada Lucy-Ann. "Ibu yang memasak, sedang kita semua ikut membantu membereskan. Tapi pasti takkan banyak pekerjaan kita nanti. Kamar tidur kita lucu, ya?" Kamar itu letaknya di bawah atap, dengan sebuah jendela menjorok ke luar. Dinding-dindingnya miring. Bahkan langit-langitnya pun miring! Papan lantai tidak rata! Ambang pintu rendah sekali, sehingga Dinah harus agak membungkuk kalau lewat. Anak itu sudah mulai tinggi badannya. "Pondok Musim Bunga," katanya. "Nama yang cocok, apalagi di musim bunga." "Di belakang rumah ada sebuah sungai kecil,”kata ibunya. "Asalnya kalau tidak salah dari sebuah mata air yang terdapat di halaman puri. Dari situ mengalir lewat terowongan yang di buat air sungai itu sendiri, lalu muncul lagi di permukaan tidak jauh di belakang rumah ini. Dari situ mengalir lewat kebun, terus ke bawah bukit." Kedua anak itu memeriksa sungai kecil itu. Mereka menemukan tempat di mana air menyembur ke luar dari dalam tanah. Dinah mencicipnya. Terasa dingin. Kelihatannya jernih sekali. Senang rasanya- mendengar bunyinya mengalir lewat kebun kecil yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Malam hari pun masih tetap terdengar alirannya. Bunyi yang menyenangkan hati! Pemandangan dari rumah kecil itu sangat indah. Dari situ nampak seluruh lembah yang terhampar di bawah, dan bisa diikuti jalan yang berkelok-kelok menuju ke rumah itu. Di kejauhan masih bisa dikenali stasiun kereta api. Kecil sekali kelihatannya, seperti rumah-rumahan boneka. Kereta api yang lewat dua kali sehari, kelihatannya juga seperti mainan saja. "Persis kereta api mainan yang pernah dimiliki Jack," kata Lucy-Ann. "Paman Geoffrey selalu marah-marah kalau kami bermain-main dengannya. Katanya, bunyinya berisik sekali melebihi bunyi guntur. Wah — aku senang bahwa kami tidak tinggal lagi bersama dia." Dinah memandang arlojinya. "He — sebentar lagi kita harus ke stasiun untuk menjemput Jack dan Philip," katanya. "Mereka pasti sudah gelisah terus saat ini di kereta api. Yuk — kita ke ibu!" Ternyata Bu Mannering sudah siap untuk berangkat Mobil dikeluarkan dari garasi. Dinah dan Lucy-Ann bergegas naik. Mereka duduk di sebelah Bu Mannering. Lucy-Ann sudah tidak sabar lagi rasanya, ingin cepat-cepat bertemu dengan Jack dan Philip. Enak, apabila mereka berempat sudah berkumpul kembali. Mudah-mudahan saja Dinah sekali ini tidak terlalu cepat mengamuk lagi. la sering bertengkar dengan abangnya. Terlalu sering, menurut perasaan Lucy-Ann. Sesampai di stasiun, ternyata kereta api belum datang. Lucy-Ann berjalan mondar-mandir, sambil memperhatikan palang isyarat. Ia ingin palang itu turun, karena dengan begitu akan diketahuinya bahwa sebentar lagi kereta masuk ke stasiun. Setelah beberapa saat menunggu, palang itu bergerak menurun dengan disertai bunyi mendentang keras. Dan nyaris pada saat yang sama nampak mengepul asap lokomotif. Kepala kereta itu muncul dari balik tikungan sambil menghembuskan asap ke atas. Geraknya seperti kepayahan. Tidak mengherankan, karena harus mendaki untuk masuk ke stasiun. Jack dan Philip menjulurkan tubuh ke luar jendela, sambil melambai dan berseru-seru. Dinah dan Lucy-Ann melompat-lompat dan berlari-lari karena gembira, sambil berteriak-teriak mengucapkan selamat datang. "Itu Kiki!" seru Lucy-Ann. “Halo, Kiki!” Sambil menjerit keras, Kiki terbang meninggalkan pundak Jack, pindah ke bahu Lucy-Ann. Burung kocak itu menggeser-geserkan paruhnya ke pipi anak itu, sambil berbunyi—bunyi aneh, seperti radio rusak Kiki senang bertemu kembali dengan Lucy-Ann. Jack dan Philip meloncat turun dari kereta. Jack merangkul adiknya yang menyambutnya dengan mata bersinar-sinar. Kiki berteriak lagi, lalu pindah bertengger kembali ke bahu Jack. "Bersihkan kakimu!" teriaknya dengan galak pada tukang angkat barang. Orang itu melongo. "Mana sapu tanganmu?" Philip menghampiri Dinah sambil nyengir. "Halo," katanya. "Wah, kau sudah bertambah jangkung sekarang! Untung aku juga bertambah besar — kalau tidak, bisa kau setinggi aku nanti! Nah. Lucy-Ann — kau masih sama saja seperti dulu ya? Tidak bertambah besar. Bagaimana sekolahmu?" "Ngomongmu jangan kayak orang tua, ah!" tukas Dinah. "Ibu ada di luar, menunggu di mobil. Yuk. kita ke luar menemuinya." Tukang angkat barang membawa koper Jack dan Philip ke luar dengan gerobak dorong, mengikuti keempat anak itu. Kiki hinggap di atas gerobak, lalu menatap tukang angkat barang dengan matanya yang berkilat-kilat. "Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu!"tukas burung itu. Tukang angkat barang kaget. Gagang gerobak dorong terlepas dari tangannya. la bingung, tidak tahu apakah burung itu perlu dijawab atau tidak. Kiki menirukan gaya Jack tertawa. Ia terbang keluar, menuju mobil lalu berusaha hinggap di atas bahu Bu Mannering. Kiki sangat senang pada ibu Dinah dan Philip. "Perhatian," kata Kiki dengan suara galak. "Buka buku kalian pada halaman enam." Semua yang mendengarnya, tertawa. "la menirukan salah seorang guru," kata Jack “Wah, di kereta tadi dia lucu sekali, Bibi Allie. Setiap kali kereta berhenti di salah satu stasiun. Kiki menjulurkan kepalanya dari jendela lalu berteriak, Ya. berangkat!” la pernah mendengar kepala stasiun meneriakkannya. Masinis kereta sampai melongo karenanya." "Aku senang bertemu kau lagi," kata Lucy-Ann. la menempel terus pada abangnya. Lucy-Ann sangat sayang pada Jack, walau abangnya tidak begitu mengacuhkannya. Anak-anak masuk ke dalam mobil. Barang-barang ditaruh di tempat bagasi oleh tukang angkat barang, sambil memperhatikan Kiki dengan cermat. "Jangan lupa tutup pintu," kata burung iseng itu. Kemudian ia cekikikan sendiri. "Diam, Kiki," kata Jack la melihat tukang angkat barang semakin bingung. "Jangan bandel, ya! Nanti kukirim kembali ke sekolah!" "Eeh, anak nakal!" kata Kiki, "nakal, nakal, nakal .... " "Kalau kau mengoceh terus, nanti kuikat paruhmu dengan karet," kata Jack "Kau tidak melihat, aku ingin bicara dengan Bibi Allie?" Bu Mannering disebut ‘Bibi Allie’ oleh Jack dan Lucy-Ann, karena sebutan "Bu Mannering" rasanya terlalu kaku dan tidak akrab. Bu Mannering sangat menyukai kedua anak itu. Terutama Lucy-Ann, yang jauh lebih lembut dan manja daripada Dinah. "Wah! Asyik juga kelihatannya daerah ini!" kata Philip, sambil memandang ke luar. "Banyak burung untukmu, Bintik — dan untukku, berbagai jenis margasatwa." "Mana tikus coklatmu yang kau peroleh waktu itu?" kata Jack. la melirik Dinah, yang langsung memekik karena kaget. Sementara itu Philip merogoh—rogoh kantong. Dinah memperhatikan kesibukannya dengan perasaan ngeri. Dibayangkannya, sebentar lagi pasti muncul seekor tikus coklat dari salah satu kantongnya. "Hentikan mobil, Bu! Lebih baik aku berjalan kaki, karena Philip membawa tikus dalam kantongnya," kata Dinah cemas. "Nah, ini dia! — eh, bukan, ternyata sapu tangan," kata Philip. "Nah, ini? Bukan, bukan tikusku. Lalu — kalau yang ini .... " la pura—pura mengambil sesuatu dengan hati-hati dari kantongnya. "Eh, menggigit lagi!" Sekali lagi Dinah terpekik. Ibu menghentikan mobil Dinah hendak cepat-cepat membuka pintu. "Kau jangan turun, Dinah," kata Bu Mannering. "Kau yang keluar, Philip — dan bawa tikusmu itu. Aku sependapat dengan Dinah. Aku tidak mau ada tikus berkeliaran di sini. Karena itu kau harus berjalan kaki, Philip." "Wah, Bu —terus terang saja, tikus itu kutinggal - di asrama," kata Philip sambil nyengir. “Aku tadi cuma hendak mengganggu Dinah saja!" Dinah langsung mengumpat-umpat "Ya, itu sudah kusangka," kata Bu Mannering, sementara mobil dijalankannya lagi. "Nyaris saja kau tadi benar-benar kusuruh berjalan kaki pulang. Jadi lebih baik hati—hati sedikit, lain kali. Aku sendiri tidak keberatan terhadap hewan piaraanmu, kecuali tikus atau ular. Hah — bagaimana pendapat kalian tentang Pondok Musim Bunga?" Philip dan Jack menyenanginya, persis seperti Dinah dan Lucy-Ann. Tapi mereka lebih tertarik, ketika melihat puri kuno. Dinah lupa merajuk, karena ingin menunjukkannya pada kedua anak laki—laki itu. “Kita nanti naik ke sana," kata Jack dengan segera. "Jangan," kata Bu Mannering. "Sudah kujelaskan pada Dinah dan Lucy-Ann, di atas berbahaya." "O ya? Kenapa?" tanya Jack dengan kecewa. "Soalnya, pernah terjadi tanah longsor di jalan menuju ke sana — dan sekarang tidak ada lagi yang berani lewat di situ," kata Bu Mannering. "Aku mendengar kabar bahwa seluruh bangunan itu sendiri pun sudah mulai merosot Apabila jalan runtuh lagi, lama-kelamaan seluruh puri bisa ambruk." . "Wah! Asyik!" kata Philip dengan mata bersinar-sinar. Mereka lantas masuk ke dalam rumah. Dinah dan Lucy-Ann menunjukkan kamar kedua abang mereka, yang terletak di bawah atap. Lucy-Ann tidak mau jauh—jauh dari sisi Jack. la senang sekali, karena abangnya sudah datang. Jack mirip sekali dengan Lucy-Ann. Rambutnya merah nyala, bola matanya juga hijau dan mukanya penuh dengan bintik—bintik Sifat Jack wajar dan ramah. Orang-orang kebanyakan langsung senang padanya. Philip, yang dijuluki Si Jambul oleh Jack, juga mirip sekali dengan adiknya. Tapi sifatnya jauh lebih tenang. Tidak lekas marah, seperti Dinah. Rambutnya sebelah depan juga berjambul kocak. Bahkan ibu mereka pun punya jambul seperti itu. Karenanya Jack menggelari mereka "Trio Jambul". "Haa - akhirnya tiba juga saat liburan!" kata Philip, sambil membuka kopernya. Dinah memperhatikan dari jarak yang aman. "Ada binatang atau tidak di dalamnya?" tanya anak itu. "Ah, cuma seekor anak landak saja. Kau tidak perlu khawatir, ia tidak punya kutu," kata Philip. "Taruhan, pasti ada," kata Dinah, sambil mundur beberapa langkah. "Takkan kulupakan landak yang kautemukan musim panas yang lalu." "Sungguh, anak landak yang ini sama sekali tidak berkutu,"_ kata Philip. "la sudah kuberi bedak yang ku peroleh dari apotek Jadi sudah benar-benar bersih. Duri-durinya belum beralih warna menjadi coklat" Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan dengan penuh minat, ketika Philip menunjukkan seekor binatang yang meringkuk seperti bola kecil berduri dalam baju hangatnya, yang dikeluarkan dari dalam koper. Nampak hidungnya yang kecil bergerak-gerak. "Aduh, lucunya," kata Lucy-Ann. Dinah pun tidak jijik melihatnya. "Cuma repotnya, durinya tajam—tajam! Jadi tidak enak jika dibawa dalam kantong," kata Philip, sambil memasukkan anak landak itu ke dalam kantong celana pendeknya. "Kau pasti takkan membawanya lagi, apabila sudah beberapa kali mendudukinya secara tidak sengaja," kata Dinah. "Ya, kurasa kau benar," kata Philip. "Kau hati-hati saja, Dinah! Jangan suka mengganggu aku, karena landak ini bisa tahu—tahu berada di tempat tidurmu nanti!" "He, jangan bertengkar terus," tukas Jack. "Lebih baik kita keluar, melihat—lihat! Kata Lucy-Ann, dalam kebun ada sungai kecil. Datangnya dari atas, dari puri." “Aku raja puri," kata Kiki, sambil berayun-ayun dengan santai di atas kaca meja hias. "Kau ini, ada-ada saja komentarmu," kata Jack sambil tertawa. "Yuk — kita keluar!" Bab 3 BERJALAN-JALAN Hari-hari pertama di tempat liburan itu sangat menyenangkan. Anak-anak berkeliaran ke mana-mana, disertai Kiki. Jack banyak sekali menemukan sarang burung. Mungkin bahkan beratus-ratus. Jack gembira sekali, karena ia senang pada burung. Kalau dibiarkan, ia bisa berjam-jam duduk memperhatikan tingkah laku mereka. Pada suatu hari ia bergairah sekali. Katanya, ia melihat burung rajawali. "Rajawali?" tukas Dinah dengan nada kurang percaya. "Kusangka rajawali kini sudah punah di sini. sama seperti burung auk besar, yang tidak bosan-bosannya kauceritakan." "Siapa bilang rajawali sudah punah," kata Jack mengejek. "Itu tandanya pengetahuanmu tidak luas. Pokoknya aku merasa pasti, yang kulihat tadi rajawali. Terbangnya membubung tinggi, seperti katanya kebiasaan rajawali Kurasa jenisnya rajawali emas." "Buaskah burung itu?" tanya Dinah. "Yah — kalau sarangnya terlalu didekati, ada kemungkinan ia akan menyerang," kata Jack. "Eh - jangan-jangan sarangnya ada di dekat sini!" "Pokoknya, aku tidak mau ikut mencarinya," kata Dinah tegas. "Lagi pula, kau kan sudah menemukan lebih dari seratus sarang, Jack! Masa itu belum cukup?" Jack kesenangannya hanya mengamat-amati sarang burung. la tidak pernah mengambil telurnya. Mengganggu burung yang sedang mengeram juga belum pernah. Burung-burung kelihatannya tidak takut padanya, seperti Philip yang juga tidak ditakuti binatang liar. Padahal kalau Lucy-Ann atau Dinah — mereka baru memandang sarang saja, burung yang mengeram di situ langsung terbang, seperti ketakutan. Kalau Jack yang datang, burung itu mau saja dielus-elus, tanpa merasa takut Aneh! Kiki selalu ikut apabila anak—anak berjalan—jalan. Burung itu bertengger di atas pundak Jack. Jack sudah melatihnya agar tidak bersuara apabila ia hendak mengamat-amati burung. Biasanya Kiki menurut Tapi kakaktua itu kelihatannya tidak begitu senang pada burung gagak. Tidak jauh dari Pondok Musim Bunga ada sekelompok pepohonan. Di situ bersarang sekawanan gagak. Kiki sering datang ke situ. la bertengger di atas dahan, lalu mengoceh dengan suara berisik, mengata-ngatai kawanan gagak. "Sayang mereka tidak bisa membalas dengan cercaan pula," kata Philip. "Habis, bisanya Cuma berkaok-kaok melulu!" "Ya — dan sekarang Kiki sudah ketularan mereka," kata Jack "Berkaok—kaok terus, kalau tidak kusuruh berhenti. Betul kan, Kiki?" Kiki mematuk ujung telinga Jack dengan pelan. Ia senang jika Jack mengajaknya berbicara. Kiki mengetuk-ngetukkan paruhnya, lalu berkaok-kaok seperti gagak "Ya, ya — cukup!" kata Jack. "Kenapa kau tidak menirukan kicauan burung yang suaranya merdu? Burung gagak suaranya tidak enak didengar. Sudahlah, Kiki — jangan kauteruskan lagi." Kiki berhenti berkaok-kaok. Setelah diam sesaat, tahu-tahu ia bersin. Bunyinya persis seperti Jack yang sedang pilek. Setelah itu ia mengoceh lagi; "Mana sapu tanganmu? Mana sapu tanganmu?" katanya. Lucy-Ann tertawa terpingkal-pingkal, karena Jack benar-benar menyodorkan selembar sapu tangan pada Kiki. Selama beberapa saat burung konyol itu memegang sapu tangan dengan cakarnya dan mengusapkannya ke paruhnya, sambil bersin berulang-ulang. "Itu permainannya yang baru," kata Jack sambil nyengir. "Hebat, Ya?" Anak-anak berkeliaran, melihat-lihat di sekitar tempat mereka berlibur. Dari situ ke desa jauhnya sekitar tiga mil. Desa itu sendiri hanya terdiri dari sebuah toko serta beberapa rumah. Kecuali itu tidak ada lagi tempat tinggal di situ, kecuali satu atau dua pertanian serta pondok-pondok petani yang terpencil di atas bukit. "Di sini kurasa kita tidak akan mengalami petualangan. kata Philip. "Habis, suasananya tenang dan damai! Dan orang-orang desa rupanya tidak suka bicara, ya? Apa pun yang kita katakan, mereka selalu menjawab dengan, `Ah, betul!' " "Mereka kelihatannya agak takut terhadap Kiki," kata Dinah. “Ah betul," kata Jack, menirukan cara orang desa berbicara. Dan Kiki langsung ketularan. "Kalian masih ingat tidak, ketika Kiki terkurung dalam gua di bawah tanah, lalu orang yang mengurungnya mendengar dia bicara dan mengira yang bicara itu aku?" kata Jack. la teringat pada petualangan mereka musim panas yang lalu. “Wah, hebat sekali pengalaman kita waktu itu!" "Aku kepingin mengalami kejadian begitu sekali lagi," kata Philip. "Tapi kurasa petualangan yang begitu seru, terjadinya hanya sekali seumur hidup." "Kata orang, petualangan dialami orang yang gemar bertualang," kata Jack. "Dan kita ini kan begitu! Jadi aku takkan heran apabila kita masih sering mengalami petualangan lagi." "Aku ingin memeriksa keadaan di dalam puri aneh itu," kata Dinah. la mendongak, memandang puri yang menjulang tinggi di puncak bukit "Kelihatannya begitu sunyi dan terpencil di atas, seolah-olah menatap lembah dengan kening berkerut. Kata ibu, di sana pernah terjadi sesuatu yang menyeramkan. Tapi ia tidak tahu, kejadian apa tepatnya." "Kita selidiki saja kapan-kapan," kata Jack dengan segera. la paling senang mendengarkan kisah yang menegakkan bulu roma. "Mungkin di sana pernah terjadi pembunuhan." "Hii, seram! Aku tidak mau naik ke sana," kata Lucy-Ann dengan segera. "Ibu_ memang sudah melarang," kata Dinah. "Tapi kalau hendak melihat sarang rajawali, mungkin boleh," kata Philip. "Lalu kalau pada saat mencari kita sampai ke dekat puri, itu kan bukan salah kita?" "Lebih baik kita memberitahukan padanya, apabila kita akan pergi ke dekat situ," kata Jack la merasa tidak enak apabila tidak berterus terang pada ibu Philip yang baik budi. "Nanti kutanyakan, boleh atau tidak." Dan ia melakukannya malam itu juga. "Bibi Allie," kata Jack, "kelihatannya di puncak bukit ini ada sarang rajawali. Tempatnya memang cocok, karena bukit ini sangat tinggi — nyaris merupakan gunung. Dan rajawali kan biasa bersarang di atas gunung! Anda tidak keberatan apabila kami mencari tempat sarang itu? "Tentu saja tidak, apabila kalian berhati—hati," kata Bu Mannering. "Tapi apakah dengan begitu kalian akan datang ke dekat puri?" "Mungkin," kata Jack dengan jujur. "Tapi kami berjanji, takkan bermain-main dekat tanah longsor, Bibi Allie. Kami takkan mau membahayakan keselamatan Dinah dan Lucy-Ann." "Rupanya beberapa tahun yang lalu pernah terjadi hujan yang lebat sekali di atas bukit ini," kata Bu Mannering. "Begitu banyak curahan air, sehingga dasar puri menjadi longgar dan jalan yang menuju ke situ sebagian besar longsor ke bawah. Karena itulah mungkin berbahaya sekali jika kalian lewat di sana." "Kami akan sangat berhati-hati," kata Jack berjanji. Ia senang sekali, karena Bu Mannering tidak sama sekali melarang mereka mendaki bukit dasar puri. Dengan segera ia menceritakannya pada anak-anak yang lain. Semua bergembira mendengarnya. "Kalau begitu besok saja kita naik," kata Jack mengusulkan. "Aku sungguh—sungguh ingin melihat, apakah memang ada sarang rajawali di situ." Sore itu ketika sedang berjalan-jalan lagi, mereka merasa seolah—olah ada yang mengikuti dari belakang. Beberapa kali Jack berpaling untuk melihat, karena ia merasa yakin bahwa ada orang di belakang mereka. Tapi setiap kali ia menoleh, selalu tidak ada siapa—siapa. "Aneh," katanya pada Philip dengan suara pelan. "Aku yakin sekali, tadi ada orang di belakang kita. Kudengar bunyi ranting patah — seolah-olah ada yang menginjak" "Ya — aku juga merasa seperti mendengarnya,"kata Philip. Ia agak bingung. "Begini saja, Jack. Nanti kalau kita sudah sampai di kelompok pepohonan itu, aku akan bersembunyi di balik semak, sementara kalian berjalan terus. Dengan begitu aku akan bisa melihat, betul tidak ada orang mengikuti kita." Dengan segera Jack menceritakan rencana Philip itu pada Dinah dan Lucy-Ann. Mereka terus berjalan menuju ke kelompok pepohonan. Ketika sampai di suatu semak yang cukup tebal, dengan cepat Philip bersembunyi di belakangnya. Sedang anak-anak yang lain berjalan terus, sambil mengobrol dengan suara nyaring. Philip berbaring di balik semak. la memasang telinga. Mula—mula ia tidak mendengar apa-apa. Tapi sesaat kemudian terdengar bunyi menggerisik pelan. Philip menunggu dengan hati berdebar keras. Siapakah orang yang mengikuti mereka — dan untuk apa ia berbuat begitu? Philip tidak bisa menebak alasannya. Saat itu dilihatnya seseorang menyelinap lewat. Orang itu tidak melihat Philip. Sedang Philip sendiri begitu kaget melihatnya, sehingga tahu-tahu ia berseru. "He!" Seorang anak perempuan berpakaian compang-camping, tanpa sepatu dan dengan rambut ikal acak-acakan terlompat karena kaget. Lalu cepat-cepat berpaling. Seketika itu juga Philip bangun lalu menyambar pergelangan tangan anak itu. la tidak menggenggam dengan kasar. Tapi cukup keras, sehingga anak itu tidak bisa membebaskan diri. Anak perempuan itu berusaha menggigit Philip. la menendang-nendang. "Sudah, jangan memberontak terus," kata Philip. "Kau akan kulepaskan lagi, jika kau mengatakan siapa kau sebenarnya, dan apa sebabnya kau mengikuti kami dengan diam-diam.” Anak perempuan itu diam saja. Tapi matanya yang hitam terbelalak, menatap Philip. Anak-anak yang lain bergegas kembali, ketika mendengar seruan Philip. "Ini dia orangnya yang membuntuti kita," kata Philip. "Tapi ia tidak mau bicara." "Dia anak kaum pengembara," kata Dinah. Anak perempuan yang dimaksudkan menatapnya sambil melotot. Kemudian pandangannya berpindah pada Kiki, yang bertengger di atas pundak Jack. Ia kelihatannya sangat tertarik pada burung kakaktua itu. Pandangannya tak lepas lagi dari Kiki. "Mungkin ia membuntuti kita, karena ingin melihat Kiki,” kata Philip sambil tertawa. “Betul, kan?" Anak perempuan itu mengangguk. "Ya, betul!" katanya. "Ya, betul!" kata Kiki menirukan. Anak itu kaget, lalu tertawa. Seketika itu juga air mukanya berubah. Kelihatan kocak dan bandel. "Siapa namamu?" tanya Philip. Dilepaskannya pergelangan tangan anak itu. "Tassie," jawab anak perempuan yang ditanya. "Aku melihat burung itu, lalu kuikuti kalian. Aku tidak bermaksud jahat. Aku tinggal di balik bukit, bersama ibuku. Aku tahu di mana kalian tinggal. Aku tahu kalian tinggal bersama—sama." "Ah! Rupanya kau mengintip, lalu kemudian membuntuti kami, ya!" kata Jack. "Kau kenal baik daerah bukit sini?" Tassie mengangguk. Matanya yang hitam berkilat masih terus menatap Kiki. Kelihatannya ia sangat tertarik melihat burung kakaktua itu. "Perhatian," kata Kiki padanya, "buka bukumu ada halaman enam!" "He — kau tahu atau tidak, apakah ada burung rajawali bersarang di atas bukit ini?" tanya Jack dengan tiba-tiba. Menurut dugaannya, besar kemungkinannya anak kecil yang kelihatannya liar itu mengetahui hal—hal seperti itu. "Rajawali? Apa itu?" kata Tassie. "Seekor burung — besar sekali," kata Jack. "Paruhnya bangkok, dan..." "Kayak burung di pundakmu itu?" tanya Tassie, sambil menuding Kiki. "Wah, tidak," kata Jack. "Tapi sudahlah! Kalau kau tidak tahu rajawali itu apa, takkan mungkin kau tahu di mana ia bersarang." "Sudah waktunya kita pulang sekarang," kata Philip. "Perutku sudah lapar. Tassie, tunjukkan kami jalan pulang yang paling pendek." Dengan segera Tassie berpaling. Ia merintis semak, menuruni lereng bukit dengan langkah cekatan dan pasti. Anak-anak yang lain mengikuti dari belakang. Tahu-tahu Pondok Musim Bunga sudah ada di depan mereka. "Terima kasih, Tassie," kata Philip. Kiki mengulangi ucapannya. "Terima kasih, Tassie." Tassie tersenyum. Tampangnya yang selalu kelihatan seperti merajuk, langsung berubah lagi. "Sampai lain kali," katanya. Ia berpaling, hendak pergi. "Kau bilang tadi, kau tinggal di pondok yang di balik bukit-bukit?" seru Jack. "Ya, betul!" kata Tassie sambil menoleh ke belakang sebentar. Sekejap kemudian ia sudah lenyap, masuk ke dalam semak. Bab 4 TASSIE DAN BUTTON Bukit Puri ternyata memang merupakan tempat yang sangat sepi. Karena setelah diselidiki, ternyata yang ada di situ hanya tempat tinggal mereka sendiri, lalu pondok tempat kediaman Tassie, serta pertanian tempat mereka membeli telur dan susu. Pertanian itu letaknya agak jauh dari tempat liburan mereka. Sedang desa terletak dalam lembah, di bawah bukit itu. Tapi banyak sekali binatang di atas bukit besar itu. Tupai berlari-lari di mana-mana, kelinci bermunculan di setiap sudut hutan, sedang rubah merah lewat di depan mereka, tanpa sedikit pun merasa takut melihat mereka. "Aduh — aku kepingin sekali bisa mendapat anak rubah," kata Philip. "Kalau masih kecil, mirip anak anjing!" Saat itu Tassie ada bersama mereka. Anak kaum pengembara itu sering menggabungkan diri pada saat berjalan-jalan. la banyak sekali gunanya, karena selalu tahu jalan pulang. Kelihatannya di bukit yang sangat luas itu orang bisa gampang tersesat. Tapi Tassie kelihatannya selalu tahu jalan memintas. Anak itu aneh. Kadang—kadang tidak mau mendekat. Ia berkeliaran terus beberapa meter dari mereka, sambil memandang Kiki dengan kagum. Tapi kadang-kadang ia ikut berjalan bersama keempat anak itu, dan mendengarkan obrolan mereka. Ia sendiri jarang berbicara. Kelihatannya ia mengagumi pakaian sederhana yang dipakai Dinah dan Lucy-Ann. Sekali-sekali diraba-rabanya bahan pakaian mereka. Ia sendiri memakai rok yang kelihatannya begitu dekil, seolah-olah dibuat dari bahan karung yang kotor. Rambutnya yang ikal selalu acak-acakan. Badannya selalu kelihatan kotor. "Kalau kotor saja aku tidak apa-apa, tapi baunya kadang-kadang menyesakkan napas," kata Lucy-Ann pada Dinah. "Kurasa anak itu tidak pernah mandi." "Mungkin saja seumur hidupnya ia belum pernah melihat kamar mandi," kata Dinah. "Tapi kelihatannya kan sehat-sehat saja? Belum pernah kulihat mata secerah matanya. Dan pipinya begitu segar. Giginya putih sekali, walau menurut perasaanku ia pasti tidak pernah menggosok gigi." Ketika ditanyakan, ternyata Tassie memang tidak mengenal kamar mandi. Dinah mengajaknya ke Pondok Musim Bunga, dan menunjukkan bak mandi yang ada di situ. Saat itu Bu Mannering ada dalam rumah. Dipandangnya Tassie dengan heran. “Nah — siapa lagi anak jorok ini?" tanyanya dengan suara pelan pada Lucy-Ann. "Dia perlu mandi!" Lucy-Ann sudah menduga bahwa Bu Mannering akan berkata begitu. Para ibu biasa menghendaki kebersihan. Tapi Tassie malah nampak takut, ketika dijelaskan guna bak mandi padanya. Ia mengkerut ketakutan, membayangkan harus duduk berendam dalam air. "Sekarang dengar baik—baik," kata Bu Mannering dengan tegas. "Kalau kau mau, kau akan kumandikan sampai bersih. Setelah itu kau boleh memakai rok tua kepunyaan Dinah. Dan rambutmu diikat dengan pita yang bagus." Tassie senang membayangkan segala barang yang bagus itu. Karenanya ia mau dimandikan. Ia masuk ke kamar mandi, di mana sudah tersedia air hangat dalam bak, serta sabun. Anak-anak menunggu dalam kebun. Beberapa saat kemudian terdengar suara jeritan beberapa kali dari arah kamar mandi yang tertutup pintunya. Mereka bertanya—tanya, apa sebetulnya yang sedang terjadi. Kemudian terdengar suara Bu Mannering yang berbicara dengan tegas. "Ayo, duduk yang baik! Basahi tubuhmu. Seluruh tubuhmu, Tassie! Ayo, jangan rewel ya! Ingat rok biru yang bagus itu.” Terdengar lagi Tassie menjerit beberapa kali. Rupanya anak itu sudah merendam diri dalam air. Tapi tidak menyukainya. Lalu terdengar bunyi tubuh digosok dengan keras. "Wah! Ibumu rupanya tidak setengah-setengah memandikannya," kata Jack sambil nyengir. "Huh — bau sabun tercium sampai di sini!" Setengah jam kemudian Tassie muncul dari dapur. Kelihatannya lain sekali sekarang. Muka dan lengannya masih kelihatan coklat Tapi bukan karena kotoran, tapi karena terbakar sinar matahari. Rambutnya sudah dicuci dan disisir, dan kini diikat ke belakang dengan pita biru. Ia memakai rok biru Dinah. Ia bahkan memakai sepasang sepatu karet yang sudah tua! "Wah, Tassie! Cantik sekali kau sekarang!" kata Lucy-Ann. Tassie kelihatan senang mendengarnya. Tidak henti—hentinya ia mengusap—usap rok yang dipakainya, seperti sedang mengelus-elus kucing. "Badanku berbau wangi," katanya. Padahal ia tadi dimandikan dengan sabun karbol. "Tapi mandinya tidak enak! Seringkah kalian mandi? Ada sekali setahun?" Dalam beberapa hal, ketololan Tassie ampun-ampunan. la tidak bisa membaca maupun menulis. Tapi seperti orang Indian, ia pintar membaca tanda—tanda yang nampak dalam hutan dan di lapangan. Anak—anak sampai terheran-heran melihat kepintarannya itu. Tassie merasa senang pada Philip, dan juga pada Kiki. Nampak jelas, ia menganggap keduanya paling mengagumkan dalam rombongan kenalan barunya itu. Sehari setelah mandi, ia datang lagi ke Pondok Musim Bunga. la memandang ke dalam lewat jendela. Kelihatan bahwa ia menggendong sesuatu. "Itu Tassie," kata Lucy-Ann. "Ia masih memakai rok yang biru. Pantas kelihatannya! Tapi rambutnya sudah acak-acakan lagi. Dan apa itu, yang tergantung di lehernya?" "Sepatunya!" kata Philip sambil nyengir. "Sudah kusangka, ia takkan tahan lama memakainya. La sudah biasa tidak bersepatu. Jadi kalau memakai sepatu, kakinya terasa sakit. Tapi karena ia menyukai barang itu, lalu digantungkannya di leher." "Lalu yang digendongnya itu apa?" kata Dinah ingin tahu. "Masuklah, Tassie! Tunjukkan apa yang kaubawa itu!" Tassie nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih bersih. la masuk ke dapur lewat pintu belakang. Philip berseru gembira, ketika melihat apa yang digendong anak itu. "Aduh, anak rubah!" serunya. "Lucunya! Kau ambil dari mana, Tassie?" "Dari sarangnya," kata Tassie. "Aku tahu di mana ada sarang rubah." Philip mengambil anak rubah itu. Hidungnya lancip. Bulunya tebal, berwarna coklat kemerah-merahan. Ekornya lebat, seperti kuas. Hewan itu diam saja dalam gendongan Philip. Ia hanya menggigil sedikit. Matanya menatap Philip. Tapi beberapa detik kemudian anak rubah itu . sudah merasa biasa, lalu menjulurkan leher dan menjilat muka Philip. la merapatkan diri ke tubuh anak itu. Dengan cara begitu ia menunjukkan kesenangannya pada Philip. "Kau pandai bergaul dengan binatang," kata ibunya. "Persis seperti ayahmu dulu. Manis sekali anak rubah itu, Philip! Kau akan menaruhnya di mana? Dia perlu kaukurung dalam kandang, supaya tidak bisa lari." "Aku tidak perlu kandang, Bu," kata Philip seperti tersinggung. "Dia akan kulatih untuk menurut, seperti anak anjing. Sebentar lagi pasti berhasil." "Tapi rubah kan binatang liar," kata ibunya sangsi. Tapi terhadap Philip, tidak ada binatang yang tetap liar. Tak sampai dua jam kemudian anak rubah itu sudah berkeliaran dengan bebas dekat kaki Philip. Setiap kali anak itu berhenti berjalan, anak rubah itu langsung mengemis-ngemis minta digendong lagi. Sejak itu Philip semakin bertambah senang pada Tassie. Ternyata anak itu banyak sekali pengetahuannya tentang binatang serta tingkah laku mereka. "Tassie itu kayak anjing piaraan Philip saja! Selalu membuntut, ke mana saja Philip pergi," kata Dinah. "Bayangkan, ada juga yang mau membuntuti Philip." Saat itu Dinah sedang tidak begitu suka pada abangnya, karena Philip baru saja menemukan empat ekor kumbang. Katanya, ia hendak melatih kumbang-kumbang itu, sampai bisa memahami beberapa komando. Kumbang-kumbang itu ditaruhnya dalam kamar tidurnya. Tapi di situ mereka berkeliaran dengan bebas. Dan itulah yang tidak disenangi oleh Dinah. Kiki ternyata tidak menyukai anak rubah piaraan Philip. Setiap kali binatang itu muncul, langsung dikata-katai. Tapi Kiki senang pada Tassie. Setiap kali anak perempuan itu datang, Kiki segera hinggap ke atas pundaknya, lalu membisikkan macam-macam di telinganya. Tassie tentu saja senang karenanya. Ia bangga sekali, setiap kali Kiki terbang menghampiri. "Mungkin kau menyangka Tassie mengagumimu, ya?" kata Dinah sambil tertawa pada Philip. "Tapi kau cuma nomor dua saja baginya, setelah Kiki!" "Kenapa sih, Kiki selalu saja mengata-ngatai Button," kata Philip. Button adalah nama yang diberikannya pada anak rubah, yang seperti Tassie, selalu ikut ke mana saja ia pergi. "Rupanya Kiki cemburu padanya!" "Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kakimu!" tukas Kiki pada Button. "Mana sapu tanganmu? Buka bukumu pada Ratu! Hidup halaman enam!" Anak—anak terpingkal-pingkal mendengarnya. Memang kocak sekali kedengarannya, apabila Kiki mencampuradukkan kalimat-kalimat yang diocehkannya. Kiki memandang anak-anak dengan sikap serius, dengan kepala terteleng ke samping. "Perhatian!” katanya dengan suara serak. "Buka bukumu pada halaman enam." "Tutup mulut, Kiki! Jangan ingatkan kami pada sekolah," kata Jack "He — tadi aku melihat rajawali itu lagi. Terbang membubung tinggi di atas bukit, dengan sayap terbentang lebar. Pasti sarangnya ada di puncak." "Kita periksa saja ke sana," kata Dinah. "Aku memang sudah kepingin melihat pun tua itu dari dekat. Juga apabila kita tidak bisa melalui jalan yang longsor, kita kan masih bisa menghampirinya semampu kita. Dengan begitu kita bisa melihat kayak apa sebetulnya puri itu." "Ya, setuju," kata Lucy-Ann. "Kita piknik saja sore ini ke atas bukit, dan mendaki sejauh yang bisa kita capai. Sementara kau mencari—cari tempat sarang burung itu, Jack, kami melihat-lihat puri. Kelihatannya begitu asing dan misterius dari sini, seolah-olah menyembunyikan rahasia besar." "Puri itu kosong, penghuninya mungkin tikus, labah-labah dan kelelawar,” kata Philip. "Tapi tidak ada manusia yang tinggal di situ." "Hii!" kata Dinah bergidik. "Kalau begitu, kita jangan masuk nanti ke sana! Aku lebih baik mencari sarang rajawali, daripada disuruh berurusan dengan kelelawar dalam puri yang sudah tua!" Bab 5 MELANCONG KE PURI "Kami hendak naik ke atas bukit, Bu," kata Philip. "Mencari sarang burung rajawali, supaya Jack puas. Tadi ia melihat burung itu lagi. Kami takkan melewati jalan ke sana, jadi ibu tidak perlu khawatir." "Bawa bekal untuk makan sore," kata ibunya. "Enak juga, dengan begitu sore ini aku bisa membaca-baca dengan tenang." Dengan dibantu Dinah, ibu menyiapkan bekal untuk makan sore itu. Roti sandwich, kue-kue, buah-buahan dan susu. Semuanya dimasukkan ke dalam ransel. Philip mengambil ransel itu, lalu bersiul memanggil Button. Anak -rubah itu kini sudah datang kalau disiuli atau dipanggil namanya. Persis sepeti anjing. Button_ datang berlari-lari. Anak rubah itu lucu sekali kelihatannya. Bu Mannering juga suka padanya, walau kadang—kadang baunya agak menyengat hidung. Karenanya ia tidak mau apabila Button ikut tidur bersama Philip. "Kamar tidurmu sudah penuh dengan berbagai jenis binatang," katanya pada Philip. "Misalnya anak landak, yang seenaknya saja mondar-mandir keluar - masuk kamar — dan kemarin entah binatang apa lagi yang kulihat melompat-lompat di lantai." Dinah bergidik. Kalau tidak benar-benar perlu, ia tidak mau memasuki kamar Philip. “Ah itu kan cuma Terence, kodokku," kata Philip. "Sekarang dia kubawa, supaya tidak meloncat-loncat terus dalam kamar. Sebentar, nanti kutunjukkan. Matanya bagus sekali..." "Jangan, Philip," kata ibunya dengan tegas. "Aku tidak kepingin melihatnya. Jangan ganggu dia." Philip menghentikan kesibukannya, mencari-cari dalam kantong. Air mukanya berubah, nampak tersinggung. "Orang-orang selalu tidak pernah....” katanya, tapi terputus karena Button berusaha memanjat kakinya. Rupanya ingin digendong lagi. "Ada apa, Button? Kau diganggu Kiki lagi? Buntutmu ditarik-tarik olehnya?" Button seolah-olah menjawab pertanyaan-pertanyaan Philip, lalu membaringkan diri di atas ransel yang digendong Philip di punggungnya. "Mana yang lain-lain?" kata Philip. "Ah, itu mereka! Nah sudah siap semua?" Mereka mulai menyusur jalan berkelok-kelok ke atas. Jalan itu terjal dan sempit. Paling – paling hanya bisa dilewati sebuah gerobak saja. Tak lama kemudian Tassie muncul, entah dari mana. Ia masih memakai rok yang itu-itu juga, yang sudah mulai robek dan dekil. Sedang sepatu kini diikatkannya ke pinggang. Anak-anak geli melihatnya. Rupanya Tassie tidak mau berpisah dari sepatunya, walau tidak pernah dipakainya dengan cara seharusnya, yaitu di kaki! "Kurasa telapak kakinya keras sekali, karena kelihatannya enak saja berjalan di atas batu yang tajam-tajam," kata Jack. Tassie berjalan mendampingi Philip dan Button. Kiki melontarkan beberapa kalimat padanya, lalu terbang mendekati sarang gagak. Kawanan gagak yang sedang berkumpul di situ dikagetkannya dengan suaranya menirukan teriakan mereka. "Kaok, kaok, kaok!" Persis sekali bunyinya. Kawanan gagak itu mendengarkan dengan diam-diam. Tapi ketika Kiki mulai berbicara seperti manusia, semuanya terbang menjauh. Rupanya mereka tidak senang mendengar manusia yang mengoceh. Padahal mereka sendiri, kalau mengoceh ributnya bukan main! Anak-anak mendaki terus. Siang itu panas sekali. Mereka terengah—engah sambil berjalan. "Aduh, kenapa kita memilih hari sepanas ini untuk melihat-lihat puri?" keluh Philip. Tassie langsung berhenti. "Ke puri?" katanya. "Kalau begitu jangan lewat sini! Di sebelah atas ada tanah longsor. Satu-satunya jalan sekarang, lewat belakang." "Kami ingin melihat apa saja yang bisa dilihat," kata Philip. "'Aku kepingin melihat kayak apa rupanya tanah longsor. Tapi kita takkan lewat di situ, karena sudah berjanji takkan melakukannya. Tapi aku ingin melihatnya." "Aku ingin masuk ke puri," kata Jack. "Jangan! Jangan!" kata Tassie. Matanya terbelalak lebar, seolah-olah ketakutan. Anak-anak yang lain memandangnya dengan heran. "Kenapa jangan?" tanya Jack. "Tempat itu kan tidak ada penghuninya? Kan kosong sekarang?" "Tidak, tempat itu tidak kosong," kata Tassie. "Di situ suka terdengar suara macam-macam. Tempat itu angker!" "Ah —kau terlalu banyak mendengar obrolan orang di desa," kata Philip meremehkan. "Siapalah yang masih ada di situ sekarang? Tidak pernah dilihat ada yang keluar - masuk. Yang paling-paling masih ada di situ cuma burung hantu. Mungkin bunyi teriakan burung-burung itu yang terdengar, atau bunyi kelelawar." "Kau tahu cerita tentang puri tua itu, Tassie?"tanya Dinah. "Kata orang, dulu puri itu didiami seorang laki-laki yang jahat sekali. Kebiasaannya mengundang orang-orang ke tempatnya. Tapi semua yang datang, tak pernah kembali lagi," kata Tassie. la berbicara dengan lirih, seolah-olah takut didengar laki-laki yang dikatakannya jahat itu. "Orang-orang suka mendengar suara jeritan dan erangan di dalam, serta bunyi pedang beradu. Kata orang lagi, laki-laki itu suka mengurung orang dalam bilik-bilik tersembunyi, lalu didiamkan di situ sampai mati kelaparan." “Aduh, ramah sekali orang itu!" tukas Philip sambil tertawa. "Aku tidak percaya pada omongan itu. Memang biasanya begitu — puri kuno selalu dipautkan dengan cerita-cerita seram! Kurasa sebenarnya ada seseorang tua yang agak sinting membeli bangunan tua itu, lalu tinggal di situ sambil berpura—pura menjadi bangsawan kuno. Pokoknya begitulah! la pasti tidak waras otaknya —karena orang normal, mana mau tinggal di tempat yang begitu terpencil dan sunyi." "Kata orang, laki-laki itu banyak sekali kuda piaraannya," sambung Tassie. "Setiap hari kuda-kuda itu digiring melewati jalan ini. Kalian memperhatikan atau tidak selama ini, bahwa bagian-bagian jalan yang curam dilandasi dengan batu-batu? Itu supaya kuda bisa lewat di atasnya." "Ya, aku baru saja memperhatikannya," kata Philip. Anak-anak yang lain terdiam sesaat. Jalan yang mereka lalui, beberapa bagian memang diberi dasar batu. Jadi ada kemungkinan bahwa cerita Tassie yang selebihnya juga betul! "Ah — bagaimanapun juga, kejadiannya kan sudah lama sekali! Laki-laki itu sudah lama mati, dan kini tidak ada lagi siapa-siapa di sana," kata Philip kemudian. "Aku kepingin melihat-lihat di dalam puri itu. Kau juga, Jack?" "Terang dong!" sambut Jack bersemangat, Kiki langsung sependapat, "Terang, terang, terang," katanya sambil mengombang-ambingkan tubuh di atas pundak Jack. "Aduh, Kiki! Pergilah sebentar dari pundakku,"kata Jack terengah-engah. "Berat rasanya memanggulmu terus sambil mendaki bukit." "Ke sini saja,” panggil Tassie. Dengan segera Kiki berpindah tempat ke pundak anak itu, sambil menyuruhnya membuka buku pada halaman enam. Tassie sama sekali tidak terengah-engah napasnya. Ia bergerak dengan lincah seperti kijang, mendaki tempat-tempat yang sangat terjal dengan mudah sekali. Kelihatannya seperti tidak mengenal capek. "Wah - sudah lumayan juga tingginya kita mendaki," kata Philip. la menyeka keringat yang membasahi kening. "Lihatlah, di sini jalan mulai berantakan." Jalan itu sudah tidak bisa disebut begitu lagi, karena sebagian lereng bukit di atasnya longsor dan menimpa jalan yang ada di bawahnya. Di mana-mana berserakan batu-batu besar. Di sana-sini menonjol batang-batang pohon yang patah dilanda tanah longsor itu. "Kelihatannya seperti habis dilanda gempa,"kata Lucy-Ann. Puri tua terletak di belakang tanah longsor itu. Kini kelihatan jauh lebih besar lagi. Nampak jelas bahwa bangunan itu sangat kokoh, dengan menara persegi empatnya yang dua buah, serta tembok pertahanan yang memanjang di antara kedua menara. "Aku kepingin naik ke salah satu menara itu,"kata Philip. "Dari atas situ, pemandangan pasti luas sekali!" "Dilihat dari bawah, puri ini nampak seakan-akan berada di puncak bukit," kata Jack, "padahal tidak! Tapi kelihatannya angker sekali, ya!" Anak-anak yang lain sependapat dengannya. Menurut perasaan mereka, puri itu bukan tempat yang menyenangkan. Kelihatannya sunyi, aneh dan suram. Sama sekali tidak ada kesan ramah. Tapi walau begitu, tetap menarik! ”Bagaimana cara kita pergi ke belakangnya, Tassie?" tanya Philip. Ia menoleh pada anak perempuan itu. "Kalau lewat tanah longsor ini sebetulnya bisa saja, tapi kita sudah berjanji tidak akan melakukannya. Lagi pula, batu—batu besar itu kelihatannya sangat goyah kedudukannya. Seolah-olah langsung terguling, apabila disentuh sedikit saja!" "He! Itu dia rajawaliku lagi!" seru Jack dengan tiba-tiba. Ia menuding seekor burung besar yang terbang membubung tinggi di udara, jauh di atas puri. Itu pasti seekor rajawali! Besar sekali, ya? Pasti Sarangnya ada di dekat-dekat sini. Aduh - aduh, itu ada lagi seekor. Lihatlah!" Dua ekor rajawali perkasa terbang membubung tinggi. Makin lama makin tinggi sementara anak-anak memandang dari bawah dengan perasaan kagum. "Bagaimana mereka bisa membubung begitu tinggi, tanpa mengepakkan sayap sama sekali?"kata Lucy-Ann heran. "Kalau turun, aku bisa mengerti! Tapi ini, malah semakin meninggi. Bukan main, sekarang tinggal seperti bintik kecil kelihatannya" "Kurasa mereka memanfaatkan arus udara, kata Jack. "Di atas bukit tentunya banyak angin. Bukan main! Dua ekor rajawali, terbang bersama. Sudah jelas, pasti di dekat sini ada sarang mereka." "Kau kan tidak bermaksud menjinakkan anak rajawali, Jack?" tanya Dinah cemas. "Jangan Khawatir, Kiki takkan mengizinkannya," kata Lucy-Ann. Dinah menarak napas lega, karena memang begitulah kenyataannya. Kiki pasti tidak mau jika ada yang menyainginya!. "Keduanya tadi datang dari belakang puri, kalau tidak salah," kata Jack bersemangat "Yuk, kita ke sana! Mungkin bisa kita temukan tempat sarang mereka di sana. Ayolah!" Mereka pergi dari tempat tanah longsor, didului oleh Tassie. Dengan susah payah mereka memanjat bukit, sambil mengarah ke timur. Tassie mengajak mereka ke suatu jalan setapak yang berliku-liku. Jalan itu sempit, tapi aman. "Ini jalan siapa?" tanya Dinah heran. "Jalan kelinci," jawab Tassie. "Di Sini banyak sekali kelinci. Berjuta-juta! Merekalah yang membuat jalan ini" "Aduh, aku tidak sanggup lagi," keluh Lucy-Ann setelah beberapa saat. "Rasanya capek sekali. Kita istirahat sebentar di sini, sambil makan-makan. Sarang itu kan tidak lari!" Anak-anak menyetujui usulnya. Mereka duduk di atas rumput. Napas mereka tersengal-sengal. Philip memutar ransel sehingga tergantung di perut, lalu membukanya. Dibagi-bagikannya makanan. Setelah itu ia berbaring menelentang. Enak juga rasanya minum setelah capek mendaki. Sayang tidak cukup banyak yang dibawa. Anak—anak tidak ada yang begitu berselera makan. Tapi Kiki dan Button melahap habis bagian mereka. Tassie juga makan beberapa potong sandwich dan kue. Anak itu kelihatannya paling tidak capek. la duduk sambil menggaruk-garuk kepala Kiki, sementara anak-anak yang lain berkaparan di rumput. Tapi tidak lama kemudian semuanya sudah merasa segar kembali. Philip mendengar bunyi air mengalir, lalu pergi memeriksa. la masih haus sekali. Setelah beberapa saat pergi, terdengar suaranya memanggil-manggil. "Sungai kecil yang mengalir di kebun kita, rupanya lewat di sini juga. Airnya dingin sekali. Enak! Ada yang ingin minum?" Tentu saja tidak ada yang menolak. Karena semua masih haus. Mereka bergegas mendatangi aliran air itu, yang muncul dari sebuah liang di lereng bukit. Lalu meluncur di atas dasar berbatu-batu, sampai akhirnya menghilang lagi dalam tanah. Anak-anak merendam kaki mereka yang kepanasan. Saat itu Jack melihat kedua ekor rajawali yang tadi. "Yuk," ajaknya, "kita perhatikan ke mana mereka turun. Sayang kameraku tidak kubawa. Coba ada, bisa kufoto sarang mereka!" Bab 6 MENCARI JALAN MASUK Mereka sudah berada di dekat puri. Temboknya yang kokoh menjulang tinggi di atas kepala. Tembok itu rata, sama sekali tidak berlubang. Kecuali jendela-jendela sempit yang terdapat lima meter di atas tanah. "Puri ini dibangun dengan batu-batu besar yang nampak berserakan di daerah bukit ini," kata Philip. “Pasti dulu banyak sekali orang membanting tulang, bekerja membangunnya. Lihatlah — di sebelah sana ada jendela-jendela yang lebih lebar. Kurasa laki-laki jahat yang diceritakan Tassie tadi menginginkan lebih banyak cahaya matahari masuk ke dalam puri. Dengan jendela-jendela kuno yang sempit, hanya sedikit saja yang sampai di dalam. Kelihatan jelas, ya — bagian-bagian yang merupakan penambahan baru di sini. Aneh kelihatannya!" "Itu rajawali yang tadi, muncul kembali!" seru Jack. "Mereka melayang turun — turun terus. Ayo, semua ikut memperhatikan ke mana mereka terbang!" Anak-anak memperhatikan sepasang burung perkasa itu. Lebar sayap mereka benar-benar luar biasa! "Mereka turun ke halaman dalam puri," kata Jack. "Rupanya di sana sarang mereka. Di halaman dalam! Aku harus berhasil menemukannya." "Tapi kan tidak bisa masuk ke dalam," kata Philip. "Di mana letaknya gerbang masuk?" tanya Jack pada Tassie. "Di depan, di bagian yang tanahnya longsor," jawab anak perempuan itu. "Kita tidak bisa lewat di situ, karena berbahaya. Kalau berhasil pun tidak ada gunanya, karena pintu gerbang tertutup. Sebetulnya masih ada satu pintu lagi. Letaknya di sebelah sini. Tapi pintu itu terkunci. Pokoknya, kita tidak bisa masuk ke dalam." "Mana pintu yang kaumaksudkan itu?" tanya Jack. Mereka lantas meneruskan langkah, menyusur tepi tembok sebelah luar. Setelah melewati pojok tembok, tahu-tahu mereka sampai di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu yang kokoh. Pintu itu rata dengan dinding. Sisi atas ambang pintu melengkung, dan daun pintunya pas sekali letaknya. Jack berusaha mengintip ke dalam lewat lubang kunci. Tapi ia tidak melihat apa-apa. "Jadi tidak ada jalan lain untuk masuk ke dalam puri ini?" tanyanya pada Tassie. "Aneh — kayak penjara saja!" "Ini memang penjara," kata Lucy-Ann. Ia gemetar, karena teringat pada cerita Tassie tadi. "Di sini dipenjarakan orang-orang malang yang berhasil ditipu sehingga datang ke sini dan sejak itu tak terdengar lagi kabar beritanya!" Jack kebingungan. Ia membayangkan, ada dua ekor rajawali yang langka, mungkin bersarang di halaman dalam puri itu — tapi ia tidak bisa masuk untuk melihatnya. Hhh — menjengkelkan! "Kita harus bisa masuk ke dalam! Harus,"katanya. Ia mendongak, memperhatikan jendela-jendela yang tinggi di atas kepala. Tapi tidak ada jalan untuk bisa mencapai jendela-jendela itu. Permukaan dinding licin sekali, tidak bisa dipanjat. Tanaman menjalar pun sama sekali tidak ada. Puri itu merupakan benteng yang tidak bisa diterobosi. "Kalau ada jalan lain, pasti sudah ada orang lain yang masuk," kata Philip. "Tapi kenyataannya, tidak pernah ada orang kemari. Jadi itu berarti tidak ada jalan masuk!" "Kau tidak tahu jalan lain, Tassie?" tanya Jack. Dipandangnya anak kecil itu dengan penuh harap. Tassie berpikir-pikir sebentar. Serius sekali sikapnya. Kemudian ia mengangguk. "Mungkin," katanya. "Aku belum pernah mencobanya. Tapi mungkin ada jalan." "Cepat, tunjukkan di mana," kata Jack bergairah. Tassie mendului berjalan lebih jauh, menuju ke bagian belakang. Ternyata di situ dinding puri dibuat hampir menempel ke tebing. Di antaranya ada lorong sempit dan gelap, nyaris berupa - terowongan karena pada satu bagian dinding puri hampir menempel tebing. Tassie berhenti berjalan, lalu menuding ke atas. Anak-anak yang lain mendongak. Mereka melihat sebuah jendela sempit ada di atas kepala mereka. Mereka mengalihkan pandangan pada Tassie lagi. Mereka tidak mengerti maksudnya. "Kalian tidak mengerti?" tanya anak itu. "Tebing ini kan bisa dipanjat, karena penuh ditumbuhi tanaman menjalar. Lalu kalau sudah sampai di seberang jendela itu, bisa dilintangkan ke situ sebatang dahan atau semacam itu. Dengan begitu bisa masuk ke dalam puri." “Ah, aku mengerti maksudnya sekarang," kata Philip. "Jika kita memanjat tebing ini sambil membawa papan atau dahan ke atas, lalu papan atau dahan itu kita lintangkan ke ambang jendela sedang ujungnya yang satu lagi ditancapkan ke sisi tebing, kita bisa masuk lewat jendela. Ya, betul! Itu gagasan yang baik." Ketiga anak lainnya menyambut keterangan itu dengan perasaan berbeda-beda. Dinah dari semula sudah takut akan berjumpa kelelawar dalam lorong gelap dan sempit itu. Jadi baginya lebih baik kembali saja ke bagian yang terang. Sedang Lucy-Ann tidak begitu kepingin mendaki tebing, lalu meluncur lewat dahan yang bisa patah atau terlepas dari sandarannya. Kalau Jack, sebaliknya! Menurut perasaannya gagasan itu perlu dicoba. Dan Ia mau melakukannya saat itu juga. "Nyalakan lampu," kata Kiki. Burung kakaktua itu sudah terbang mendului, masuk ke dalam lorong gelap. "Nyalakan lampu!" Anak-anak tertawa. Kocak sekali, ocehan Kiki kadang-kadang begitu cocok, sehingga Timbul kesan seolah-olah ia mengerti apa yang dikatakannya. "Kita cari dulu sebatang dahan atau semacam itu," kata Jack. Mereka memasuki lorong berbau pengap itu, mencari—cari sesuatu yang bisa dipakai sebagai jembatan untuk melintasi jarak sempit Antara tebing dan ambang jendela. Tapi di tempat itu tidak ada apa-apa yang bisa d)pakai. Jack menemukan dahan pohon yang sudah mati. Tapi dahan itu sudah sangat kering, sehingga pasti patah kalau ditekan agak kuat. Sedang mematahkan dahan yang cukup kokoh dari sebatang pohon, tidak bisa! "Sialan!" kata Jack mengumpat "Tapa sudahlah! Kita kembali saja ke belakang. Kita lihat dulu, apakah kita bisa atau tidak memanjat sampai ke seberang jendela Kalau kelihatannya kita bisa masuk lewat jalan yang diusulkan Tassie, bisa saja kita kembali besok dengan membawa papan." "Ya, kurasa lebih baik besok saja kita mencobanya," kata Dinah. ia berusaha melihat jamnya di tempat remang-remang itu. "Sekarang sudah agak terlalu sore. Besok kita ke sini lagi dengan kameramu Jack." "Baiklah! Tapi sebelumnya kita lihat dulu, apakah bisa masuk lewat jendela itu," kata Jack Ia berusaha memanjat tebing, tapi ternyata terlalu curam. Berulang kali ia terpeleset lagi ke bawah. Kemudian Philip ikut-ikut mencoba. Dengan jalan berpegangan pada sulur tanaman menjalar yang paling kokoh ia berhasil naik agak tinggi. Tapi kemudian sulur yang dipegangnya putus. Philip merosot ke bawah, lalu terpeleset. Ia jatuh terguling-guling. Untung saja tidak sampai cedera, kecuali memar di bebera0a tempat. "Sekarang aku yang naik," kata Tassie. Anak itu cekatan sekali. Seperti monyet saja geraknya memanjat tebing" Benar-benar luar biasa! Ia jauh lebih cekatan daripada Jack atau Philip. Kelihatannya tahu pasti di mana harus menempatkan kaki, dan sulur mana yang harus dijadikan pegangan. Tak lama kemudian ia sudah sampai di seberang jendela sempit. Di tempat itu tanaman merambat tumbuh subur sekali. Tassie berpegangan ke situ, sambil memandang ke jendela yang ada di seberang. "Kurasa dari sini aku bisa meloncat ke ambang jendela," serunya dari atas. "He -jangan suka iseng," teriak Philip dengan segera. "Keledai! Patah kakimu nanti kalau jatuh!” Apa yang bisa kaulihat dari situ?" "Tidak banyak!" balas Tassie. Anak itu kelihatannya masih berpikir-pikir, sebaiknya mencoba meloncat ke seberang atau tidak. Ia berseru lagi, “Jendelanya sempit sekali! Aku tidak tahu, apakah kita bisa menyusup ke dalam lewat situ. Dan di belakang jendela kulihat ada kamar. Tapi gelap sekali, jadi tidak tahu berapa ukurannya. Kelihatannya aneh sekali!" "Tentu saja1" kata Jack. "Sekarang turun, Tassie!" "Kucoba saja melompat ke seberang, lalu mencoba masuk," kata Tassie. Anak itu mengambil ancang—ancang, hendak melompat. Tapi tidak jadi, karena Philip buru-buru berteriak dari bawah. "Kalau kau nekat juga, kau tidak boleh ikut lagi dengan kami! Kau dengar kataku itu? Patah kakimu nanti!" Tassie tidak jadi melompat, karena ngeri kalau nanti benar-benar tidak boleh lagi ikut dengan anak—anak yang disenangi serta dikaguminya itu. Jadi ia hanya melihat saja sekali ke jendela seberang. Setelah itu ia turun dengan cekatan, lalu melompat ke tanah, ke sisi anak-anak yang menunggu di bawah. "Untung saja kau mau menurut," kata Philip dengan geram. "Coba kau tadi berhasil melompat ke seberang, lalu menyusup lewat jendela sempit itu. Tapi kemudian tidak bisa keluar lagi! Bagaimana kalau begitu? Kau akan terkurung dalam puri untuk selama-lamanya!" Tassie diam saja. Ia meyakini kemampuannya memanjat dan melompat, dan karenanya ia menganggap Philip ribut-ribut karena hal sepele. Tapi tentu saja pendapatnya itu tidak diucapkannya keras-keras. Hanya dipikir dalam hati saja. Kiki yang mendengar Philip berbicara dengan nada galak, tidak mau ketinggalan. Burung iseng itu ikut mengomel. "Sudah berapa kali kukatakan, tutup pintu!"katanya, sambil terbang ke pundak Tassie. Anak perempuan itu tertawa. Digaruk-garuknya tengkuk Kiki. “Ah, baru seratus kali," kata Tassie. Anak-anak yang lain tertawa mendengarnya. Mereka keluar beriring-iring. Lega rasanya berada di tempat yang terang lagi, setelah berdiri beberapa lama di lorong gelap dan pengap. "Nah, pokoknya sekarang kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan," kata Jack. "Kita harus mencari papan atau sesuatu yang semacam itu, untuk dibawa ke sini besok. Lalu Tassie kita suruh naik dulu dengannya, dan memasangnya membentangi jarak antara sisi tebing dengan ambang jendela. la juga kita bekali tali yang kuat. Tali itu harus diikatkannya pada sulur di atas, supaya ada pegangan kita dalam memanjat nanti. Kita tidak begitu cekatan seperti Tassie." "Memang! Tassie hebat sekali," kata Lucy-Ann. Tassie berseri-seri mendengar pujian itu. Anak-anak kembali menuruni bukit. Langkah mereka tidak seberat saat mendaki. Apalagi Tassie mengajak mereka melalui jalan yang dikenalnya. Jalan itu tidak begitu sulit seperti tadi. "Wah, sudah malam juga sekarang," kata Jack."Mudah-mudahan ibumu tidak cemas, Philip." “Ah, tidak," kata Philip. "Ia tahu, salah seorang dari kita pasti datang minta bantuan, apabila kita mengalami sesuatu." Bu Mannering gembira sekali ketika anak-anak kembali. Sebelumnya ia sudah mulai bertanya-tanya. jangan-jangan terjadi sesuatu dengan diri mereka. Hidangan makan malam sudah disiapkan. Tassie diajak makan bersama mereka. Anak itu senang sekali. Diperhatikannya cara anak-anak yang lain makan dan minum, karena ia sama sekali tidak mengenal aturan makan secara sopan. Kiki bertengger di atas pundak Jack. Ia memakan potongan-potongan makanan yang disodorkan Jack dan anak-anak yang lain padanya. Sambil makan, burung iseng itu mengoceh terus. Menyuruh menjerang air, memakai sapu tangan dan macam-macam lagi. Button, rubah cilik melingkar di pangkuan Philip. la sudah tidur, karena capek diajak berjalan-jalan. Padahal untuk sebagian besar, ia digendong Philip. "Kusangka Button akan lari, begitu ia sampai di daerah bukit yang dikenal baik olehnya," kata Philip. "Tapi ternyata tidak! la sama sekali tidak berniat lari." "Button memang manis," kata Lucy-Ann. Dipandangnya anak mbah yang tidur meringkuk dengan hidung tersembunyi di bawah ekor yang tebal. "Sayang baunya agak tidak enak." "Kalau bertambah besar nanti, baunya akan lebih keras lagi,"’ kata Philip. "Jadi sebaiknya kau membiasakan diri! Memang sudah sewajarnya kalau rubah berbau begini. Kurasa bagi mereka, bau badan kita juga tidak enak." "Kalau Tassie memang mungkin, tapi kami pasti tidak," kata Lucy-Ann dalam hati. "Aduh, aku sudah mengantuk sekali!" Malam itu semuanya cepat merasa mengantuk, karena capek sehabis berjalan-jalan di panas terik. "Kita tidur saja sekarang," kata Philip. Ia menguap dengan nyaring, sehingga Button kaget dan terbangun karenanya. "Besok ada acara menarik, dan kita harus banyak memanjat lagi. Jangan lupa membawa kameramu, Jack!" “Ya, tentu saja! Aku harus berhasil memotret kedua rajawali itu!" kata Jack. Wah, pasti asyik kita besok" Mereka pergi ke kamar tidur masing-masing, sambil menguap. Kiki menguap paling nyaring. Ia sebenarnya sama sekali tidak capek. Tapi ia senang menirukan bunyi yang diperdengarkan anak—anak. "Uaaaahh!" Bab 7 DI DALAM PUR! Keesokan paginya Philip terbangun karena telapak kakinya terasa geli. Button menjilat-jilatnya! Philip berteriak karena tidak tahan lagi. "Jangan menggelitik, Jack!" serunya. Sesaat kemudian ia memandang dengan heran, karena dilihatnya Jack terbangun. Anak itu kaget mendengar teriakan Philip. “Ah, kukira kau yang menggelitik," kata Philip. "Ternyata Button menjilat-jilat telapak kakiku. Jangan kauulangi lagi ya, Button! Aku paling tidak tahan kalau telapak kakiku digelitik!" Jack duduk sambil nyengir. Ia mengusap-usap matanya, lalu menggeliat. Kemudian pandangannya tertatap pada kamera yang sudah disiapkannya malam sebelumnya. Saat itu juga ia teringat kembali pada rencana mereka untuk hari itu. "Yuk —— kita bangun," katanya pada Philip, lalu meloncat turun dari tempat tidur. "Hari ini indah sekali! Aku kepingin naik ke puri lagi. Mungkin aku akan berhasil memotret kedua rajawali yang kemarin." Philip juga merasa tertarik pada burung. Kedua anak itu berpakaian sambil mengobrol tentang burung. Setelah selesai, mereka turun ke bawah. Sambil lewat, mereka menggedor-gedor pintu kamar Dinah dan Lucy-Ann. Bu Mannering sudah ada di dapur. Ia memang biasa bangun pagi. Tercium bau daging asap l digoreng. Hmm... wangi! "Hm, wangi!" kata Jack sambil mengendus-endus. "Kiki, jangan terlalu keras mencengkeram pundakku. Sakit rasanya, karena kemarin terbakar sinar matahari." "Sayang, sayang!" kata Suaranya terdengar seperti benar-benar sedih. Anak-anak tertawa. "Seakan-akan ia mengerti apa yang kaukatakan," kata Philip. "Memang dia mengerti," kata Jack. “He, bagaimana kalau kita mencari papan sekarang, sambil menunggu saat sarapan?" "Setuju," kata Philip. Ia ingat, mereka memerlukan papan untuk dijadikan jembatan melintasi jarak antara tebing dan jendela. Keduanya lantas ke luar, sambil mengendus-endus terus, menikmati bau daging goreng yang harum. Kini ditambah bau wangi kopi 0anas! Button berjalan mengiku4i Philip, sambil menggigit-gigit tumitnya dengan sikap sayang setiap kali anak itu berhenti melangkah. Ia tidak berani mendekati Jack. Karena begitu ia mendekat, Kiki pasti menyabar dengan marah, sambil mematuk-matuk. Jack dan Philip masuk ke garasi. @i situ mereka menemukan benda yang dicari. Selembar papan yang kokoh. Ukurannya cukup panjang untuk dibentangkan sebagai jembatan. "Wah! Berat juga papan ini," kata Jack "Nanti kita harus berganti-ganti membawanya ke atas. Papan yang lebih kecil tidak ada gunanya — karena jangan-jangan terlalu pendek nanti!" Saat itu Dinah dan Lucy-Ann datang, lalu ditunjukkan pada mereka papan yang ditemukan. Malam sebelumnya Lucy-Ann sudah memutuskan tidak. akan ikut meniti papan atau menjelajah ke dalam puri. Tapi kini, pada saat pagi yang cerah, pikirannya berubah lagi. la kini tidak mau ditinggal apabila anak-anak mengalami petualangan. Biar hanya petualangan kecil saja! "Bu, bolehkah kami sekali ini pergi seharian?"kata Philip. "Jack sudah siap dengan kameranya. Kini kami merasa pasti di mana tempat rajawali itu. Mungkin saja kami bisa berhasil memotretnya!" "Cuaca sedang cerah sekarang, jadi memang ada baiknya jika kalian berpiknik di luar," kata ibunya. "Jack! Cegah Kiki, jangan sampai dia mengudap selai! Aduh, burung itu memang keterlaluan. Kalau kau tidak bisa mendidiknya, aku tidak mau dia ada lagi pada saat makan." "Jangan suka mengudap selai, Kiki," kata Jack dengan nada keras. Kiki cepat-cepat kembali ke pundaknya. Kelihatannya burung itu agak tersinggung. Kini ia menirukan cara Bu Mannering mengunyah roti panggang. Kemeretuk bunyinya. Sambil berbuat begitu, diliriknya Bu Mannering dengan masam. Mau tidak mau, Bu Mannering tertawa juga. "Kalian kan tidak bermaksud pergi melewati tanah longsor?" katanya. Anak-anak menggeleng. "Tidak, Bu. Tassie kemarin menunjukkan jalan lain. Hah, itu dia sudah datang. Kau sudah sarapan, Tassie?” Tassie mengintip dari luar, lewat jendela Kelihatan matanya bersinar-sinar, di bawah rambut ikalnya yang kusut. "Percuma saja aku memandikannya," kata Bu Mannering sambil mengeluh. "Sekarang ia sudah dekil lagi. Mestinya kan enak, kalau tubuh bersih!" "Tapi Tassie tidak senang, Bu," kata Dinah. "Yang disenanginya cuma bau sabun karbol. Tapi bersihnya, tidak! Kalau ibu ingin agar Tassie mau mandi sendiri, ibu harus menghadiahinya sabun karbol yang keras baunya!" Ternyata Tassie sudah sarapan. Tapi walau begitu ia mau diajak sarapan lagi. la masuk lewat jendela. Diterimanya roti bersemir selai yang diberikan Philip padanya. Kiki langsung datang mendekat, dengan harapan akan mendapat bagian. Burung kakaktua itu suka sekali pada roti panggang yang dilumuri selai. Tassie baik hati. Dibaginya roti itu dengan Kiki. Selesai sarapan, anak-anak langsung berangkat. Dinah memanggul ransel berisi makanan. Lucy-Ann membawakan kamera Jack. Tassie, memanggul Kiki di pundaknya. Sedang Jack dan Philip bersama—sama menggotong papan. "Kita lewat jalan terpendek yang kaukenal, Tassie," kata Jack "Kikuk sekali rasanya menggotong-gotong papan ini. He, Philip! Kau tidak lupa membawa tali? Aku lupa tadi!" "Aku tidak lupa! Sudah kuikatkan ke pinggangku," kata Philip. "Kurasa taliku cukup panjang. Aduh, Button! Kalau berjalan jangan di sela kaki begitu - nanti aku tersandung! Dan nanti jangan merengek minta digendong, ya! Aku harus membawa papan sialan ini ke atas bukit!" Sambil beristirahat beberapa kali, rombongan itu terus mendaki lereng bukit terjal, menuju ke puri. Jack berulang kali mendongak mencari-cari rajawali. Tapi kedua burung besar itu tidak nampak. Kiki terbang untuk mengobrol sebentar dengan sekawanan gagak yang dijumpai di tengah jalan. Setelah itu kembali hinggap lagi di atas bahu Tassie. Burung itu heran, apa sebabnya anak perempuan itu membawa-bawa sepatu yang dikalungkan ke leher. Dipatuk-patuknya tali sepatu itu. Mungkin dikira cacing! Akhirnya mereka tiba di puri, lalu menyusur tembok ke arah belakang, di mana dinding puri sejajar dengan sisi tebing. "Nah, akhirnya kita sampai juga," kata Jack, sambil meletakkan papan ke tanah. Napasnya terengah-engah karena payah. "Kalian berdua ingin ikut melihat kami memasang papan ini, atau tidak?" tanyanya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Tentu saja, dong," kata Dinah. Mereka lantas memasuki lorong yang mirip terowongan. Bau di situ pengap sekali, jauh berbeda dengan kesegaran yang tercium di luar. Mereka sampai di tempat mereka mencoba memanjat kemarin. "Kau yang naik dulu, Tassie! Nanti ikatkan tali ini ke sulur tanaman yang cukup kokoh," kata Philip. Diserahkannya tali yang semula terikat ke pinggang pada Tassie. "Nanti kami bisa memanjat ke atas, tanpa takut terpeleset lagi seperti kemarin." Tassie memanjat sisi tebing yang ditumbuhi tanaman menjalar itu dengan cekatan. Sesampai di seberang jendela ia berhenti. Tali diikatkannya pada sulur yang kelihatannya kokoh. Diujinya kekokohan sulur itu, dengan jalan bergantung ke situ sambil menjulurkan tubuh ke depan. "Hati-hati, Goblok!" seru Philip dari bawah. “Kalau tali itu terlepas, kau akan menimpa kami!" Tapi tali itu tidak terlepas. Ikatannya cukup kokoh. Tassie memandang ke bawah sambil nyengir, lalu melorot turun lewat tali. la meloncat ke tanah dengan gerakan enteng. "Kau ini pantasnya main di sirkus," kata Jack. Tapi Tassie hanya memandangnya dengan bingung. Rupanya anak itu tidak tahu, sirkus itu apa! Philip masih mempunyai seutas tali lagi, yang lebih pendek dari yang tadi. “Ini gunanya untuk menarik papan ke atas," katanya. "Sekarang kita ikat papan kuat-kuat, lalu kuseret naik sambil memanjat" Philip mulai memanjat. Tangannya yang satu berpegang pada tali yang tergantung dari atas, sedang tangannya yang lain memegang tali pengikat papan. Ternyata dengan begitu tidak bisa. Untuk memanjat, ia memerlukan kedua tangannya! "Ah, begini saja!" katanya pada Jack. "Papan kuikatkan ke pinggang. Dengan begitu kedua tanganku bebas untuk memanjat, dan papan dengan sendirinya akan ikut terseret ke atas." Tali pengikat papan diikatkan ke pinggangnya. Lalu Philip memanjat lagi, sekali ini dengan kedua tangannya. Kakinya terpeleset-peleset. Tapi ia memanjat terus, walau beban papan yang tergantung terasa berat. Akhirnya ia sampai di seberang jendela puri. Ia tidak bisa melihat apa-apa di belakangnya, karena ruangan di situ gelap - gulita. Philip mulai melapangkan tempat di sisi tebing, sebagai tempat meletakkan papan. "Tunggu! Aku akan naik untuk membantumu," seru Jack dari bawah. Anak itu memanjat lewat tali yang dipasang oleh Tassie. Dengan bantuannya, Philip berhasil menarik papan ke atas dan mengangkatnya ke seberang, sehingga hampir mencapai ambang jendela puri. "Ya, maju lagi sedikit— nah, begitu! — sekarang agak ke kanan sedikit!" kata Jack dengan napas terengah-engah. Akhirnya papan berhasil juga disandarkan ke ambang jendela sempit di seberang. Sedang di sebelah sini papan itu bertumpu kokoh pada tanaman menjalar yang rimbun. Jack menguji kekokohan letaknya. Setelah puas, Philip berganti mencobanya pula. Ya, kelihatannya cukup kokoh pasangan mereka. "Kalian sudah selesai memasangnya?" seru Dinah dari bawah dengan bersemangat. "Sudah? Bagus! Sekarang Kiki menyusul naik!" Benarlah! Kiki yang selama itu memperhatikan kesibukan mereka sambil tercengang-cengang, ternyata tidak mau menunggu lebih lama lagi. Ia terbang ke atas, lalu hinggap di atas papan. Di situ ia berbunyi seakan-akan tertawa, sambil mengangkat-angkat jambulnya. Setelah itu ia berjalan dengan langkah-langkah kikuk ke seberang, lalu meloncat ke ambang jendela. Jendela itu buatan kuno, jadi tentu saja tidak berkaca. "Kiki memang paling senang ikut campur urusan orang lain," kata Lucy-Ann. "Kami sudah bisa ikut naik sekarang, Philip?" "Kami sedang meratakan tempat di tengah-tengah akar dan sulur di sini, supaya ada tempat bagi kalian sambil menunggu giliran menyeberang," kata Philip sambil menghentak-hentakkan kaki untuk meratakan tumbuhan menjalar di situ. "Di tempat ini tebing agak menjorok ke dalam. Kalau tumbuhan ini lebih kuratakan sedikit lagi, kalian bisa duduk di sini." "Aku menyeberang sekarang," kata Jack. Tapi kata-katanya itu didengar adiknya, yang langsung berseru-seru dari bawah. "Jangan, Jack!" seru Lucy-Ann. "Tunggu sampai aku sudah ada di atas. Aku ingin melihatmu dengan jelas. Dari sini cuma kakimu saja yang kelihatan." Tidak lama setelah itu anak—anak yang lain sudah menyusul naik ke atas pula. Tidak begitu sulit memanjat tebing itu, karena ada tali yang dijadikan pegangan. Sesampai di atas mereka memperhatikan betapa Jack duduk di atas papan sambil mengangkang, lalu beringsut-ingsut maju. Papan itu ternyata sangat kokoh letaknya. Jack merasa aman di atasnya. Ia sampai di ambang jendela, lalu berdiri. Ia berpegangan pada sisi jendela yang terbuat dari batu. "Aduh, sempitnya celah ini!" serunya pada anak-anak yang menunggu di seberang. "Kurasa aku tidak bisa menyusup ke dalam." "Kalau kau tidak bisa, apalagi aku," kata Philip. "Tapi cobalah terus. Kau kan tidak begitu gemuk!" Kini Jack benar-benar berusaha masuk. Memang celah itu sempit sekali. Ia menarik perutnya ke belakang, sambil menahan napas. Ia beringsut-ingsut sambil memiringkan tubuh. Berhasil. Sambil menghembuskan napas lega, ia meloncat ke dalam mangan yang gelap, lalu berseru pada anak-anak yang lain. "Hore, berhasil! Ayo, semuanya kemari! Aku sekarang berada dalam suatu ruangan yang gelap. Lain kali kita harus membawa senter." Dinah mendapat giliran berikut, dengan dibantu oleh Philip. Jack menerimanya di seberang. Dinah sama sekali tidak mengalami kesulitan masuk lewat celah jendela yang sempit itu. Kemudian menyusul Tassie, Lucy-Ann. Philip yang paling akhir. Ia pun agak repot ketika menyusup masuk. Tapi akhirnya berhasil juga. "Nah! Sekarang kita sudah ada di dalam puri!" katanya senang. "Ini Puri Petualangan!" Bab 8 DALAM MENARA "Puri Petualangan?" kata Lucy-Ann. "Kenapa kaukatakan begitu? Menurutmu, kita akan mengalami petualangan di sini?" "Entah, aku tidak tahu," jawab Philip. "Aku tadi cuma berkata begitu saja! Tapi aneh perasaan dalam tempat ini, ya? Bukan main gelapnya di sini!" Dari bawah terdengar suara Button. Kedengarannya sedih, karena ditinggal sendiri. Philip menjulurkan kepala ke luar. "Jangan takut, Button! Sebentar lagi kami kembali!" Kiki ikut-ikut menjulurkan kepala ke luar, lalu berteriak keras-keras. Kedengarannya persis bunyi lokomotif. "Ia hendak mengatakan pada Button bahwa ia ada di atas, sedang Button tidak!" kata Dinah. "Kau ini senang sekali menyombongkan diri terhadap Button, ya?" Ruangan yang mereka masuki gelap sekali. Tapi setelah mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan, mereka bisa melihat agak lebih jelas. "Ah, ternyata cuma ruangan besar yang kosong," kata Jack dengan nada kecewa. Tapi ia sendiri tidak tahu, apa yang sebetulnya diharapkannya akan ditemui di situ. "Kurasa seluruh puri kayak begini semuanya. Penuh dengan kamar-kamar lapang tapi kosong dan dingin. Yuk — kita melihat-lihat sebentar." Mereka menuju ke pintu. Di belakangnya ada gang yang panjang. Mereka menyusur lorong itu dan sampai di sebuah ruangan lain. Ruangan itu lebih terang dari yang pertama. Di situ ada dua jendela. Yang satu sempit seperti yang tadi. Sedang yang kedua lebar. Kelihatannya baru ditambahkan kemudian. Di ruangan itu juga ada pediangan yang besar. Dalam pediangan itu masih ada abu yang sudah dingin. "Bayangkan, dulu di sini orang-orang duduk di depan pediangan itu!" kata Dinah. Kemudian mereka memasuki ruangan berikut. Kamar itu juga sangat gelap, karena hanya ada sebuah jendela sempit model kuno. Dinah pergi ke jendela itu. Tapi tiba-tiba anak-anak kaget, karena tahu-tahu Dinah menjerit keras sekali. ”Ada apa, Dinah?" seru Philip. Dinah bergegas lari menghampiri abangnya, sehingga keduanya bertubrukan. "Ada sesuatu dalam kamar ini!" jerit Dinah. "Rambutku tadi disentuh olehnya. Cepat — kita keluar dari sini!" "Jangan konyol," kata Philip. Tapi tiba-tiba dirasakannya ada sesuatu menyentuh rambutnya. Dengan cepat Philip berpaling. Tapi ia tidak melihat apa-apa. Jantung Philip berdebar keras. Mungkinkah benar-benar ada sesuatu dalam kamar itu. Sesuatu yang tidak nampak — tapi bisa terasa? Saat itu seberkas cahaya matahari masuk lewat celah jendela. Dan saat itu pula Philip tertawa geli. "Kita ini memang konyol!" katanya. "Kita tadi menyentuh sarang labah-labah! Itu dia tergantung dari langit—langit kamar! Kelihatannya sudah tua sekali!” Anak-anak merasa lega mendengarnya. Tapi Dinah tidak mau lebih lama tinggal di situ. Tadi ia ketakutan. Tapi kini ketakutannya semakin bertambah, membayangkan tersentuh sarang labah-labah. la bergidik Bayangkan, tahu-tahu seekor labah-labah besar menimpanya dari atas. Hih! "Kita pergi saja ke tempat terang," katanya. Anak-anak lantas memasuki sebuah lorong yang lebar. Di tempat itu sinar matahari masuk lewat jendela yang banyak jumlahnya. Tassie berjalan merapatkan diri pada Philip. Matanya dipejamkan, karena takut. Ia percaya sekali pada cerita-cerita lama yang tersiar di desa. Menurut perasaannya, mungkin saja tahu-tahu lelaki jahat itu muncul di depan mereka, dan mereka kemudian ditawan olehnya! Tapi walau begitu ke mana saja Philip pergi, ia harus ikut. "Lihatlah — lorong ini ternyata menyusur tembok penahanan dan menuju ke menara sebelah timur!" seru Jack. "Kita ke sana yuk! Dari sana, pemandangan pasti bagus sekali!" "Aku rasanya kayak prajurit jaman dulu, yang berpatroli sepanjang tembok puri," kata Philip sambil berjalan. "Nah, kita sudah sampai sekarang! Wah -— besar juga tempat ini! Lihatlah, di dasar menara ada ruangan. Dan di situ ada tangga putar menuju puncak menara. Yuk, kita naik ke atas!" Anak-anak mendaki tangga putar. Mereka tidak mau memandang berkeliling. Mereka baru akan melakukannya, apabila sudah sampai di tempat yang paling tinggi. Lewat tangga putar mereka sampai di suatu ruangan lain. Dan dari situ ada tangga yang sangat sempit, menuju bagian atap menara. Bagian atap itu dibatasi tembok setinggi dada. Di balik tembok itulah para prajurit dulu bertahan jika diserang musuh. Anak-anak memandang ke bawah dengan napas tertahan. Mereka belum pernah naik ke tempat setinggi itu. Mereka juga belum pernah melihat pemandangan seluas dan sehebat saat itu. Seluruh dunia seakan-akan terbentang di bawah mereka, berkilauan kena sinar matahari. Jauh sekali di bawah nampak lembah dengan sungai berkelok-kelok. Kelihatannya seperti ular besar bersisik perak. Dari tempat setinggi itu, rumah-rumah di bawah kelihatannya seperti rumah boneka yang kecil sekali. "Lihatlah bukit-bukit yang di seberang," kata Jack. "Bukit disusul bukit, sejauh mata memandang!" Tassie kagum sekali. Tak disangkanya bumi begitu besar. Dari tempatnya memandang di puncak menara tinggi, seluruh daerah kediamannya terhampar di bawah kaki. Tanpa alasan tertentu, Lucy-Ann merasa seperti akan menangis. Habis, begitu indah pemandangan di depan mata! "Tempat ini sangat baik untuk pengamatan!" kata Philip. "Orang yang menjaga di sini sudah bisa melihat musuh datang, ketika masih jauh sekali. Lihatlah! Itu kan tempat tinggal kita, yang terselip di antara pepohonan itu?" Pondok Musim Bunga kelihatannya seperti rumah boneka, terletak di lereng bukit. "Coba ibu bisa kita ajak kemari," kata Dinah. "Ia pasti menyenangi pemandangan ini!" "Itu! Itu — rajawali yang kemarin muncul lagi!" seru Jack. la menuding ke atas. di mana nampak dua ekor rajawali terbang menuju awan. "He — bagaimana jika kita makan di sini saja, di atas menara ini! Dengan begitu kita bisa terus menikmati pemandangan indah dan memperhatikan kedua rajawali itu." "Ya, ya!" seru anak—anak yang lain. Kiki pun tidak mau ketinggalan. Kalau ada yang ramai-ramai, burung iseng itu pasti ikut menjerit-jerit. "Kasihan Button," kata Philip. "Aku sebetulnya ingin membawanya ke atas. Tapi risikonya terlalu besar, karena harus meniti papan. Pasti ia sekarang kesepian. Asal jangan minggat saja!" “Ah kau kan tahu dia pasti tidak lari," kata Dinah. “Belum pernah ada binatang piaraanmu yang mau minggat — sialan! Philip, kau kan tidak membawa kodokmu itu sekarang? Jangan bohong, kau membawanya! itu dia, mengintip dari balik bajumu! Aku tidak mau duduk di sini, kalau kodok itu ada." "Sudahlah, jangan bertengkar di sini," kata Jack cemas. "Tembok rendah ini berbahaya. Ayo duduk, Dinah! Nanti kau jatuh." "Jangan seenaknya saja menyuruh-nyuruh,"kata Dinah. Sifat pemarahnya mulai kambuh. "Mana bekal kita?" kata Lucy-Ann. la berusaha mengalihkan perhatian. "Kau yang membawanya, Dinah. Keluarkanlah, karena aku sudah lapar sekali!" Sambil duduk sejauh mungkin dari abangnya, Dinah mengeluarkan isi ransel. Di dalamnya ada dua bungkusan besar. Yang satu ada tulisan ’Makan siang’, sedang bungkusan kedua untuk sore nanti. "Kembalikan bungkusan yang kedua ke dalam ransel," kata Jack. "Kalau tidak, nanti tahu-tahu sudah habis. Perutku lapar sekali — rasanya aku mampu menyikat habis apa saja yang ada!" Dinah membagi-bagikan sandwich, kue, biskuit, buah-buahan dan coklat yang dibawa. Minuman mereka limun, yang dihidangkan dalam gelas kardus. "Kita sudah sering piknik," kata Philip, sambil menghunjamkan gigi ke roti tebal berisi telur dan daging asap, "tapi belum pernah di tempat seluar biasa sekarang ini. Merinding rasanya memandang alam yang begini luas." "Indah sekali rasanya makan sambil duduk-duduk di sini, memandang bukit—bukit serta sungai yang berkelok-kelok dalam lembah," kata Lucy-Ann dengan puas. "Kurasa orang yang diceritakan Tassie membeli puri ini karena pemandangannya! Aku juga mau, jika aku banyak uang." Mereka makan dan minum di situ sepuas-puasnya. Kiki mendapat bagian sandwich, yang dimakannya dengan lahap. Setelah itu ia berjalan-jalan di atas sandaran batu di tepi menara. Macam-macam saja tingkahnya, kadang-kadang ia jungkir balik di situ. Sedang anak—anak terus makan dan minum, sambil memperhatikan Kiki. Tiba-tiba burung kakaktua itu berteriak keras, lalu lenyap dari penglihatan. Jangan—jangan terjatuh ke bawah. Anak-anak kaget, lalu berlompatan bangkit. Tapi saat berikutnya duduk lagi. Semua tersenyum malu — karena teringat bahwa Kiki itu kan burung! Mana mungkin ia terjatuh. "Kau konyol, Kiki!" kata Dinah. "Kaget aku karena perbuatanmu! Nah — semua sudah selesai makan? Kalau sudah, akan kukemaskan barang-barang kita, dan kumasukkan kembali ke dalam ransel." Jack masih terus memandang kedua rajawali, yang selama anak-anak makan terbang tinggi sekali di udara. Kelihatannya seperti dua bintik hitam di tengah bentangan langit biru. Kini mereka turun lagi, melayang sambil berputar-putar. Sayap yang lebar terbentang, untuk mengapungkan diri di atas arus angin. Di atas bukit banyak angin. Terasa hembusannya terus-menerus di atas menara. Rambut anak-anak beterbangan, sementara mereka duduk menghadap arah angin sambil memperhatikan kedua rajawali yang semakin merendah. Halaman dalam puri terhampar di bawah menara, di belakang anak-anak. Tempat itu penuh dengan semak dan rumput liar. Bahkan ada pula beberapa pohon yang masih kecil. Halaman itu sudah kembali ke wujud semula, sama seperti lereng bukit di luar. Batu ubin yang besar-besar bertonjolan, terdorong ke atas oleh semak-semak yang tumbuh dengan cepat di sela-selanya. "Kurasa rajawali itu bersarang di tengah pepohonan yang di sana itu, di pojok halaman," kata Jack bersemangat. "Tempat itu cocok sekali karena mirip tebing yang kasar. Kita melihat ke sana yuk?" "Kau yakin tidak berbahaya?" kata Philip agak sangsi. “Kedua rajawali itu besar sekali — dan aku pernah mendengar cerita tentang rajawali yang menyerang manusia." "Memang betul," kata Jack. "Yah —— nanti kalau mereka sudah pergi lagi, aku akan melihat sebentar ke sana. Tapi kita turun saja sekarang, sambil melihat-lihat keadaan puri. Sini, Kiki!" Kiki hinggap ke pundaknya, lalu menggigit-gigit cuping telinga Jack dengan pelan sambil mengoceh. Anak-anak bangkit, lalu menuruni tangga batu, mula-mula yang sempit dan kemudian tangga putar. Kedua ruangan di sebelah atas dan bawah menara kosong sama sekali. Di pojok-pojok bergantungan sarang laba-laba. Lantai berlapis debu tebal, kecuali di bagian-bagian yang tertiup angin. "Bagaimana cara kita turun ke halaman dalam?" kata Philip. "Kurasa kita harus kembali dulu dengan menyusur tembok, lalu masuk ke dalam bangunan utama puri. Mestinya di satu tempat ada tangga menuju ke ruangan-ruangan bawah." Mereka kembali melewati jalan tadi, lalu sampai di bangunan utama puri. Ruangan demi ruangan mereka masuki. Semuanya kosong, tak ada isinya sama sekali. Akhirnya mereka sampai di sebuah tangga batu yang lebar, yang menuju ke bawah. Tangga itu mereka lalui, sampai di sebuah serambi yang luas. Serambi itu gelap. Tiba-tiba Philip merasa ada sesuatu menubruk kakinya. Anak itu terlompat ketakutan, sambil berseru. Anak-anak yang lain tertegun, tidak berani berkutik "Ada apa?" bisik Lucy-Ann. Ternyata yang menubruk itu Button. "Bagaimana caranya bisa masuk ke sini!" kata Philip dengan heran. Dijunjungnya anak rubah itu. “Ah, rupanya ia menemukan sebuah lubang, dan lewat lubang itu ia menyusup ke sini untuk mencari kita. Kau hebat, Button! Tapi aku tadi kaget setengah mati, karena kau tiba-tiba menubrukku!" Sambil melolong. pelan, Button meringkuk sambil merapatkan diri ke dada Philip. Kiki menyuruhnya menutup pintu. Hanya burung kakaktua saja yang tidak senang melihat Button muncul. "Sekarang kita ke halaman dalam dan melihat-lihat sebentar di situ," kata Jack. "Tapi hati-hati, jangan sampai diserang rajawali!" Bab 9 SARANG RAJAWALI Anak—anak berjalan dengan hati-hati, menyusur halaman luas yang penuh dengan semak itu. Tempat itu sudah kelihatan liar sekali, karena tidak terawat. Tapi anak-anak bisa membayangkan betapa keadaannya pada jaman dulu. Halaman luas dengan ubin batu yang besar-besar. Batu-batu itu diambil dari lereng bukit situ. Di ujung halaman nampak bongkah-bongkah batu yang merupakan tebing bukit itu sendiri. "Di tempat begitulah kurasa letak sarang rajawali," kata Jack, sementara mereka berjalan terus. "Tolong panggulkan Kiki untukku, Tassie — dan juga jangan sampai pergi. Saat ini aku tidak mau diganggu keisengannya." Dengan bangga Tassie mengambil Kiki. Ia tetap berdiri sementara anak-anak yang lain pergi menuju sebongkah batu yang menjulang tinggi, di sana-sini ditumbuhi semak padang. Batu itu terletak di ujung halaman dalam. Lucy-Ann sebenarnya agak enggan mendekati tempat rajawali bersarang. Tapi ia juga tidak mau ditinggal. la ingin selalu berada di dekat Jack. "Kau dan Dinah, kalian menunggu saja di kaki batu ini," kata Jack. "Aku akan memanjat ke atas, bersama Philip. Kurasa rajawali itu takkan menyerang kita, Philip. Tapi walau begitu, kita perlu berhati—hati." Baru saja Philip dan Jack mulai memanjat, tahu-tahu terdengar suara serak melengking tinggi. Keduanya berhenti dan saling berpegangan, karena takut. Button cepat-cepat lari ke sebuah liang kelinci dan bersembunyi di situ. Hanya Kiki saja yang kelihatannya tidak takut. Tassie langsung menyangka yang menjerit itu pasti salah seorang tawanan laki-laki jahat pemilik puri itu. Mungkin tawanan itu belum mati, dan masih terkurung di salah satu tempat tersembunyi. Anak-anak yang lain tidak sebodoh Tassie. Tapi walau begitu bulu roma mereka tetap merinding, mendengar teriakan menyeramkan itu. "Suara apa itu tadi, Jack?'" bisik Lucy-Ann. "Cepat, turunlah kembali. Jangan naik ke atas. Teriakan itu kedengarannya seperti datang dari arah sana." Saat itu terdengar kembali teriakan yang sama. Bunyinya aneh — nyaring seperti dengkingan. Kiki mendehem-dehem, siap untuk menirukan. Suara itu asyik sekali kalau bisa ditirukannya! Ternyata Kiki berhasil, sehingga anak-anak terlompat lagi. Tassie nyaris saja terjungkir, karena ketika berteriak Kiki masih bertengger di atas pundaknya. "Burung nakal! Bandel!" umpat Jack dengan suara pelan. Kiki menatapnya, lalu kembali menirukan suara itu. Tapi saat itu pula muncul seekor rajawali yang besar. Rupanya burung itu tadi hinggap di atas batu yang hendak dipanjat oleh Jack dan Philip. Burung itu membubung tinggi, sambil memandang ke bawah dengan heran. Ia ingin melihat, siapa yang tadi berteriak. Lalu ia sendiri menjerit. "Astaga! Rupanya yang menjerit tadi rajawali itu!" kata Jack dengan perasaan lega. "Kenapa tak terpikir olehku? Tapi aku belum pernah mendengar bunyi rajawali berteriak. Kalau begitu, sarangnya mesti ada di atas situ. Yuk, Philip!" Rajawali itu tidak menukik ke bawah, tapi melayang-layang terus di atas kepala kedua anak sambil memandang mereka. Tapi perhatiannya tertatap pada Kiki. Dan burung iseng itu berteriak karena asyik bisa menemukan bunyi baru yang menarik. Rajawali itu menjawab teriakannya, lalu terbang merendah. Kiki menyongsongnya ke atas. Kelihatannya kecil sekali, dibandingkan dengan rajawali yang bertubuh besar. Anak-anak bisa melihat dengan jelas bulu panjang berwarna kuning keemasan di tengkuknya, berkilauan kena sinar matahari. "Itu memang rajawali emas," kata Lucy-Ann. "Ternyata Jack benar! Lihatlah bulunya yang kemilau seperti emas. Aduh — mudah-mudahan saja ia tidak datang lebih rendah lagi." Anak-anak semua memperhatikan Kiki serta rajawali itu. Burung-burung kalau berhadapan dengan kakaktua itu biasanya bingung atau takut, atau marah. Tapi rajawali itu sama sekali tidak demikian. Kelihatannya sangat tertarik. Seakan-akan heran, apa sebabnya burung kecil aneh yang sama sekali tidak menyerupai rajawali, suaranya bisa persis seperti rajawali! Kiki asyik sendiri. Ia terbang mengeliling rajawali sambil berteriak-teriak menirukannya. Tapi tiba-tiba ia menyuruh rajawali itu membersihkan hidung. Burung besar itu agak kaget ketika tahu-tahu terdengar suara manusia. Tapi ia masih tetap memperhatikan Kiki dengan penuh minat. Kemudian ia membubung, lalu hinggap di atas sebongkah batu besar di tebing. ia memandang ke bawah dengan sikap anggun, tanpa mengacuhkan anak-anak sama sekali. "Hebat sekali dia, ya!" kata Jack terkagum-kagum. "Bayangkan, kita berhasil melihat rajawali dari jarak sedekat ini. Lihatlah pandangannya yang tajam itu! Aku tidak heran, bahwa dia disebut raja semua burung." Rajawali itu benar-benar mengagumkan, dengan sikapnya yang gagah. Bulunya cokelat tua, kecuali bagian tengkuk yang keemasan. Kakinya terbalut bulu semua, nyaris sampai ke cakar. Burung itu menatap Kiki tanpa berkedip. "Yang satu lagi datang!" kata Lucy-Ann tiba-tiba dengan suara pelan. Anak-anak melihat rajawali yang kedua menjulang terbang dari celah tebing. Rupanya ia ingin melihat apa yang sedang diperhatikan kawannya. Burung yang kedua itu membubung tinggi, dengan cakar terbentang seperti jari-jari yang hendak mencengkeram. Ia terbang dengan ujung sayap tertekuk ke atas. Kemudian dengan tiba-tiba saja rajawali pertama bosan memperhatikan Kiki. Dikepak-kepakkannya sayap, lalu terbang menyusul kawannya. "Rajawali yang pertama jantan, sedang yang kedua betina," kata Jack “Dari mana kau mengetahuinya?" tanya Dinah dengan nada tidak percaya. Soalnya, ia sendiri tidak melihat perbedaan antara keduanya. “Burung yang kedua lebih besar," kata Jack Menjelaskan. "Rajawali emas betina selalu lebih besar dari yang jantan. Bentangan sayapnya juga lebih lebar. Aduh, asyik sekali rasanya." “Kau tadi seharusnya memotret, ketika rajawali itu duduk di atas batu," kata Philip. Jack mengumpat kesal. "Sialan, aku begitu tertarik memperhatikan mereka, sampai melupakan kameraku. Padahal bagus-bagus foto yang bisa kuambil tadi!" Sementara itu kedua rajawali sudah terbang begitu tinggi, sehingga kelihatannya tinggal berupa dua bintik kecil. "Sementara mereka ada di atas, ada kesempatan baik bagi kita untuk mencari sarang mereka di tebing terjal ini," kata Jack. "Aneh, mereka kelihatannya sama sekali tidak takut pada kita. Kurasa mereka jarang melihat manusia dari dekat, karena hidupnya selalu di atas puncak bukit ini." "Apa yang terjadi dengan Button?" kata Philip cemas. "Tadi kulihat ia menyusup masuk ke dalam liang kelinci itu. Tapi sampai sekarang belum keluar lagi." "Mungkin sedang menakut-nakuti keluarga kelinci yang tinggal di situ!" kata Jack. "Ah, nanti akan dia keluar juga! Aku tidak heran bahwa ia langsung menghilang ke dalam liang itu, ketika terdengar teriakan tadi. Aku pun, kalau bisa pasti ikut menyusui ke situ! Habis, seram sih kedengarannya!" Kedua anak itu meneruskan pendakian. Tebing itu terjal, jadi agak sulit juga mereka memanjat. Puncak tebing itu tingginya hampir sama dengan puncak menara. Jack menemukan sarang yang dicari di sisi barat, tersembunyi dalam lekukan kecil. "Lihat!" serunya, "Lihatlah! Kau pernah melihat sarang sebesar itu, Philip! Dasarnya mungkin hampir dua meter!" Kedua anak itu mengamat-amati sarang yang dibangun di landasan batu yang cukup lebar. Tingginya sekitar setengah meter, terbuat dari dahan kayu yang kecil serta ranting-ranting, dan . diisi dengan semak padang. Garis tengah bagian dalam sarang ukurannya kira-kira setengah meter pula. Kelihatannya empuk, karena dilapisi lumut, rumput serta semak—semak kecil. . "Di dalamnya ada anak rajawali!" kata Jack senang. "Sudah agak besar. Umurnya pasti sudah lebih dari tiga bulan. Sebentar lagi sudah harus belajar terbang!" Anak burung itu meringkuk dalam sarang, ketika terdengar suara Jack. Kalau dilihat dari ukuran tubuhnya, menurut Philip takkan mungkin dikira burung itu masih anak-anak. Tapi Jack yang lebih berpengalaman langsung melihat bulu-bulu halus berwarna putih pangkalnya, tanda itu burung yang masih muda. Kiki yang selalu ingin tahu, terbang menghampiri sarang itu sambil menjerit seperti suara rajawali. Anak burung yang di dalam sarang mendongak. la mengenali suara yang terdengar. Tapi yang menyuarakannya seekor burung yang belum pernah dilihatnya. Aneh! "Cepat, kameramu!" bisik Philip. Jack mulai mengatur lensa dengan gerak cekatan. "Cepatlah sedikit, induknya datang lagi," bisik Philip. Jack memandang sebentar ke atas. Ternyata kedua rajawali tadi terbang merendah kembali, karena melihat kedua anak laki-laki itu berada di dekat sarang mereka. Jack cepat-cepat menjepretkan kameranya. Ternyata tepat pada waktunya, karena saat berikut Kiki terbang lagi menyongsong kedua rajawali yang datang, sambil berteriak-teriak seperti mereka. "Kita turun saja sekarang," kata Philip. Ia agak cemas, karena kedua rajawali dewasa itu kelihatannya galak-galak. "Wah, coba kita bisa mengambil foto anak rajawali ini, pada saat sedang belajar terbang. Kelihatannya ia akan melakukannya dalam hari-hari ini juga." Jack dan Philip bergegas turun, karena kedua rajawali melayang-layang di atas kepala mereka. "Bagaimana, kau berhasil memotret?" tanya Lucy-Ann bersemangat. Jack mengangguk dengan gembira. "Tapi aku harus ke atas lagi nanti," katanya. "Siapa tahu, barangkali aku bisa berhasil mengambil foto rajawali yang lebih dekat daripada siapa pun! Bayangkan! Kalau kemudian kujual, aku pasti akan mendapat banyak uang — dan foto-fotoku akan dimuat di berbagai majalah bergambar." "Aduh, Jack! Kalau begitu kau harus membuat foto lebih banyak lagi," kata Lucy-Ann dengan mata bersinar-sinar. "Kalau ingin membuat foto-foto yang bagus, aku harus sering ada di atas! Kalau bisa bahkan tinggal di situ selama beberapa waktu," kata Jack. “Kalau hanya sekali-sekali saja datang, takkan ada gunanya. Coba aku bisa tinggal beberapa hari di sini!" "Kenapa tidak bisa, jika kau mau," kata Philip. "Kurasa Ibu pasti mau mengizinkan, jika kau ceritakan padanya tentang sarang rajawali yang di atas itu. Kau aman di atas, dan kami akan mengantarkan makanan untukmu selama kau di sini." "Kenapa tidak kita semua saja tinggal di sini selama beberapa hari?" kata Lucy-Ann. Ia tidak ingin lama-lama terpisah dari abangnya. "Bisa saja, kan?" "Yah, bisa sih bisa saja — tapi masa ibuku ditinggal sendiri di bawah," kata Philip. "Kasihan dia!" “Ah ya — tentu saja, tak terpikir tadi olehku," kata Lucy-Ann. Mukanya merah, karena malu. "Walau begitu, aku kan bisa saja datang sendiri ke sini untuk beberapa hari," kata Jack. Semakin dipikirkan, semakin tertarik rasanya pada gagasan itu. "Aku akan membuat tempat persembunyian, lalu..;" "Tempat persembunyian? Untuk apa?" kata Tassie, yang baru saat itu ikut berbicara. "Untuk apa — untukku bersembunyi tentunya, bersama kameraku ini," kata Jack tidak sabaran. "Lalu apabila rajawali itu sudah terbiasa bahwa aku ada di dekat mereka, aku akan bisa membuat foto mereka sebanyak yang kuingini — tapi tanpa keluar sehingga mereka mengambil sikap waspada. Tempat persembunyian itu bisa kubuat di salah satu tempat di sisi tebing ini, dari mana aku bisa melihat sarang dengan jelas. Wah, mungkin aku berhasil membuat serangkaian foto yang menunjukkan anak rajawali sedang belajar terbang!" "Kalau begitu kita tanyakan saja pada ibu, apakah kau boleh tinggal di atas sini selama beberapa hari." kata Philip. "Aku sebetulnya kepingin ikut, tapi kurasa seorang anak laki-laki harus ada di rumah, untuk membantu mengambil kayu bakar dan melakukan tugas-tugas lain semacam itu.” "Itu kan bisa saja aku yang melakukan," kata Dinah. Ia sudah senang saja, jika kodok yang menjijikkan baginya itu tidak ada di dekatnya selama beberapa hari. "Jangan," kata Philip. "Jack kan bisa ditemani Kiki di sini, dan kita nanti mendatanginya setiap hari. Sekarang kita lanjutkan saja melihat-lihat bagian bawah puri. Yuk!" Mereka kembali melintasi halaman dalam, lalu masuk ke dalam puri yang sebelah bawah. Mereka menduga akan melihat ruangan-ruangan besar tapi kosong, seperti yang sudah dijumpai di tingkat atas. Tapi ternyata dugaan mereka meleset sama sekali! Bab 10 TEMUAN YANG MENGAGET KAN Mereka melewati ambang pintu yang besar, lalu berjalan menyusur serambi gelap itu. Langkah kaki menggema di dalamnya. Di luar terdengar kembali teriakan-teriakan kedua rajawali. "Kurasa teriakan burung-burung itulah yang didengar orang-orang desa sejak bertahun-tahun," kata Jack. Ia menuju ke sebuah pintu yang kokoh, di ujung serambi. Dibukanya pintu itu — lalu tertegun karena heran! Ternyata ruangan yang ada di belakang pintu tidak kosong. Tampak berbagai jenis perabot yang sudah tua di situ menunjukkan bahwa dulu itu merupakan ruang duduk. Anak—anak tidak mengerti, apa sebabnya perabot itu ditinggalkan di situ! Mereka berdiri membisu, sambil memandang ke dalam ruangan tua yang terlupakan itu. Aneh rasanya melihat kamar yang sunyi senyap berbau pengap, yang diterangi sinar matahari yang masuk lewat empat jendela sempit dan sebuah jendela yang lebar. Cahayanya menimpa lapisan debu yang menutupi sofa-sofa serta meja besar, menerangi sarang labah-labah yang banyak sekali di situ. ` Dinah bergidik. la tidak ikut, ketika anak-anak yang lain meneruskan langkah, masuk ke dalam kamar sambil berjingkat-jingkat dan berbisik-bisik. Lucy-Ann menepuk sebuah kursi. Seketika itu juga debu berhamburan, sampai anak itu terbatuk-batuk. Philip menarik selubung sebuah sofa. Selubung itu langsung hancur berantakan. Ternyata sudah rapuh sekali! "Hii, kamar tua ini aneh rasanya," kata Philip."Aku di sini merasa seperti kembali ke abad silam. Waktu seolah-olah terhenti dalam ruangan ini. Tapi aku kepingin tahu, apa sebabnya kamar ini dibiarkan tetap seperti begini." Mereka berpindah, masuk ke ruangan berikutnya, yang ternyata kosong. Tapi kamar ketiga yang mereka masuki masih diperlengkapi dengan perabotan. Ruangan ini ukurannya lebih kecil, dan kelihatannya dulu merupakan kamar makan. Di situ pun nampak sarang labah-labah di mana—mana, bergantungan dari langit-langit Di situ ada sebuah lemari besar. Ketika anak-anak membuka salah satu pintunya, nampak perlengkapan makan terbuat dari porselen dan perak Tapi barang-barang yang terbuat dari perak sudah berkarat, sehingga tidak kelihatan lagi aslinya. "Makin lama makin aneh," kata Lucy-Ann. "Apa sebabnya kamar-kamar ini dibiarkan tetap seperti semula?" "Kurasa laki-laki jahat yang diceritakan Tassie pada kita itu dulu hanya menempati beberapa ruangan saja, yaitu kamar-kamar ini," kata Jack. "Mungkin kemudian ia pergi pada suatu hari, dengan maksud akan kembali lagi ke sini. Tapi ternyata tidak pernah kembali! Sedang orang-orang tidak ada yang berani kemari. Mungkin pula sama sekali tidak ada yang tahu bahwa ruangan-ruangan ini masih lengkap perabotnya. Aneh!" Button si rubah cilik ikut memeriksa ruangan sambil mengendus-endus. Berulang kali ia bersin, karena ada debu masuk ke hidung dan tenggorokkan. Kiki kelihatannya merasa tidak enak berada di situ. Burung yang biasanya selalu mengoceh itu membisu dalam seribu bahasa. Ia tetap bertengger di atas pundak Jack. Kemudian mereka sampai di dapur. Ruangan itu sangat luas, dengan tempat masak yang besar di bagian belakang. Di situ masih ada panci-panci serta sebuah tempat memasak air. Semua terbuat dari besi. Philip mencoba mengangkat sebuah panci, tqpi tidak bisa karena berat sekali. "Juru masak jaman dulu mestinya kuat sekali lengannya," katanya. "Lihatlah — itu kan pompa air, yang di dekat tempat cuci? Kurasa air di tempat ini harus dipompa ke atas dulu." Mereka menghampiri tempat cuci. Mereka memperhatikan pompa model kuno yang bertangkai. Tangkai itu harus digerakkan naik turun, supaya air yang ada dalam sumur di bawah tertarik dan naik ke atas. Philip memandang pompa dengan sikap heran. Perhatiannya tertuju pada genangan air di lantai, tepat di bawah corong pompa. "Ada apa, Philip?" tanya Jack "Ah, tidak apa-apa! Aku cuma heran, dari mana datangnya genangan air itu?" kata Philip. "Kelihatannya masih baru, karena kalau sudah lama pasti sekarang tidak kelihatan lagi." Jack mendongak. Dikiranya pasti ada atap yang bocor. Tapi ternyata tidak! Perhatiannya kembali ke genangan air. Sekarang ia ikut merasa heran. "Coba kita gerakkan pompa ini, untuk memeriksa apakah airnya keluar atau tidak," katanya. Tangannya terulur, hendak memegang tangkai pompa. "Mungkin juga pompa ini sudah rusak." Sebelum sempat memegang tangkai, tangannya sudah ditepiskan oleh Philip. Jack memandangnya dengan heran. "Coba kaulihat, Bintik," kata Philip. Keningnya berkerut, seperti sedang bingung. "Tangkai pompa ini bersih, tidak diselimuti debu seperti barang—barang lainnya yang ada di sini. Kelihatan licin pada bagian yang selalu dipegang pada saat memompa." Dinah merasa tubuhnya merinding karena seram. Apakah maksud Philip sebenarnya? Siapakah yang memompa air ke atas, dalam puri yang sudah diketahui tidak ada penghuninya? Semua menatap tangkai pompa itu. Kata-kata Philip memang benar. Button meminum air yang tergenang di lantai batu. Anak rubah itu merasa haus. "Tunggu, Button — akan kupompakan air segar untukmu," kata Philip. Ia memompa beberapa kali. Air yang jernih dan segar mengucur ke tempat cuci. Sebagian memercik ke lantai di tempat yang sudah digenangi air. "Rupanya genangan itu terjadi karena percikkan dari tempat cuci," kata Jack yang memperhatikan dengan seksama. "Tapi itu berarti ada orang memompa air di sini, belum lama berselang." Mata Tassie langsung terbelalak la ketakutan. "Lelaki jahat itu masih ada di sini!" katanya. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan mengira orang itu akan masuk ke dapur. "Jangan konyol, Tassie," tukas Philip. "Orang itu kan sudah lama mati. Mungkin kau tahu, ada orang desa yang pernah datang ke sini?" "Wah, tidak! Tidak ada!" kata Tassie. "Semua takut pada puri ini. Kata mereka, tempat ini angker." Anak-anak memang merasa agak aneh di tempat suram itu. Mereka ingin berada kembali di luar, di tempat terang. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh Kiki, karena tahu-tahu burung itu mengerang. Bunyinya seram! "Aduh, jangan begitu, Kiki!" kata Jack dengan jengkel. "Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Philip? Siapakah yang memompa di sini? Mungkinkah saat ini ada orang lain di puri?" “Kita kan tidak melihat tanda-tanda bahwa di sini ada orang," jawab Philip. "Lagi pula, untuk apa ada orang ke sini? Di sini kan tidak ada apa-apa. makanan juga tidak ada! Kurasa ada seseorang iseng ke sini untuk melihat-lihat, lalu mengambil air untuk minum dari sumur ini." Kedengarannya keterangan itu masuk akal. "Tapi bagaimana caranya masuk?" tanya Dinah setelah beberapa saat berpikir. Nah! "Mestinya ada jalan lain," kata Jack. "Tidak ada," jawab Tassie. "Aku tahu pasti, karena aku sudah memeriksa sekeliling puri ini. Tidak ada jalan masuk ke sini, kecuali lewat jalan yang kita lalui tadi," • “Ah, mesti ada," kata Philip singkat. Ia tidak mau melanjutkan persoalan itu, karena merasa saat itu sudah waktunya mereka makan sore. "Yuk, kita makan di luar. Perutku sudah keroncongan sedari tadi." Anak-anak ke luar lagi, menuju halaman yang cerah. Angin bertiup pelan di situ, karena tempatnya terkurung dinding yang tinggi. Mereka duduk, sementara Dinah membuka bungkusan bekal makan sore. Makanan masih banyak, cukup untuk semua. Tapi limun sudah habis terminum siang itu. "Aduh, aku haus sekali! Takkan bisa makan, kalau sebelumnya tidak minum dulu," keluh Lucy-Ann. Anak—anak yang lain juga merasa haus. Tapi tidak seorang pun mau masuk kembali ke dapur besar yang sunyi dan gelap, untuk mengambil air minum di situ. “Ah, aku tahu — kita periksa apakah mata air sungai yang mengalir di belakang rumah ada di sekitar sini," kata Philip. "Katanya, sumbernya kan ada di halaman dalam puri! Mestinya tempat itu di ujung halaman." Ia pergi ke tempat itu, diikuti oleh Button. Dan Button yang kemudian menemukan mata air itu yang memancar ke luar dekat dinding, tidak jauh dari kaki menara di mana mereka tadi makan siang. Mata air itu tidak besar, tapi airnya jernih dan sejuk. Button minum sepuas-puasnya. Philip mengisi kedua mangkuk yang dibawanya. Ia memanggil Jack, menyuruhnya membawa mangkuk-mangkuk lainnya. Jack datang bersama Tassie, lalu mengisi mangkuk yang mereka bawa. Sementara itu Jack memperhatikan air yang menggelembung-gelembung keluar dari lubang, lalu menghilang lagi ke dalam semacam liang yang menembus dasar menara. "Kelihatannya dari sini air mengalir di bawah menara, lalu muncul lagi di permukaan lereng agak di sebelah bawah," pikir Jack. Anak-anak menikmati air yang sejuk itu. Selesai makan mereka berbaring—baring sambil memperhatikan kedua rajawali yang sudah terbang tinggi lagi di atas mereka. "Hari ini sangat mengasyikkan," kata Philip dengan perasaan malas. "Bagaimana perasaanmu jika tinggal beberapa hari di sini, Jack? Apakah tidak kesepian nanti?" "Kan ada Kiki, serta kedua rajawali itu,” kata Jack. "Belum lagi kelinci yang banyak berkeliaran di sini!" "Kalau aku, aku tidak mau tinggal sendiri di sini sekarang," kata Dinah. "Seram rasanya, selama belum tahu siapa sebenarnya yang memompa air itu!" “Ah, itu kan cerita kuno," tukas Philip. "Melihat buntut cacing merayap keluar dari lubang saja, kau sudah merasa seram. Bagimu, kurasa hidup ini penuh dengan berbagai hal yang menyeramkan! Cobalah kau membiasakan diri dan membiarkan kodok meloncat-loncat di atas tubuhmu, atau mengantongi landak, atau beberapa kumbang —pasti dengan segera kau takkan merasa seram lagi!" "Sudah, sudah!" kata Dinah. la bergidik, membayangkan ada kumbang merayapi tubuhnya. "Kau memang anak jahat! Tapi kau kan tidak benar-benar bermaksud hendak tinggal sendiri di sini, Jack?" "Kenapa tidak?" jawab Jack sambil tertawa. "Aku tidak takut. Kurasa Philip tadi benar, ketika mengatakan bahwa yang menumpahkan air itu seseorang yang ingin melihat-lihat di dalam puri. Kenapa tidak mungkin? Bukankah kita pun ingin tahu, lalu mencari jalan masuk ke sini." "Ya, tapi orang itu — masuknya lewat mana?" tanya Dinah berkeras. "Melalui jalan yang dilewati Button, mungkin,"kata Philip. Dinah menatap abangnya. "Lalu — Button tadi masuk lewat mana?" katanya. ”'Kalau kita berhasil mengetahuinya, tidak perlu lagi kita repot-repot meniti papan." “Ah, kurasa masuk liang kelinci di luar, lalu keluar lewat lubang kelinci lagi di sini," kata Philip. Ia menanggapi pertanyaan Dinah dengan main-main. Dinah langsung marah. "Kalau ngomong jangan seenaknya!" tukas anak itu. "Kalau Button memang bisa – tapi manusia, tidak mungkin!" "Astaga - kenapa tak terpikir olehku tadi?" kata Philip dengan nada menggoda. Dinah membungkuk. Diambilnya tanah segenggam, lalu dilemparkannya ke arah Philip. "Aduh! Mataku kemasukan tanah!" seru Jack. Ia terduduk, lalu mengusap-ngusap mata. "Tenang sajalah, Dinah. Aku tahu apa yang harus kita lakukan sekarang. Kita tinggalkan Button di sini kalau kita nanti keluar lewat papan lagi. Lalu kita perhatikan. lewat mana ia muncul di luar. Dengan begitu kita akan bisa lewat di situ pula, kalau mungkin. Maksudku, lain kali kalau kita kemari lagi!" "Ya, betul — itu pikiran yang baik," kata Lucy-Ann. Tassie juga berpendapat begitu. Anak itu bingung, bagaimana caranya Button bisa masuk ke dalam puri. Padahal ia begitu yakin bahwa kecuali kedua pintu santa jendela sempit yang mereka lalui tadi, tidak ada lagi jalan masuk yang lain. "Yuk - sudah waktunya kita pulang sekarang," kata Jack. "Mudah-mudahan saja aku besok bisa kembali lagi ke sini." Bab 11 PERJUMPAAN YANG TAK DISANGKA Mereka kembali ke dalam puri, lalu mendaki tangga batu yang lebar ke tingkat atas. Dinah berjalan sambil merapatkan diri pada anak—anak yang lain. la merasa kurang enak. Tassie sama saja. Ia juga merasa agak seram. Anak-anak menyusur gang yang panjang. Ruangan demi ruangan mereka jenguk, untuk menemukan ruangan yang ada papannya di ambang jendela. "Wah — jangan-jangan papan itu tidak ada lagi di tempatnya!" kata Jack, setelah enam ruangan mereka tengok dengan sia-sia. "Aneh — tadi gang yang kita lewati setelah keluar dari kamar itu, tidak sepanjang sekarang." Tapi itu cuma perasaannya saja. Karena ternyata papan mereka terpasang dalam ruangan berikut. Mereka bergegas-gegas ke jendela. Ruangan itu gelap. Mereka menyesal, kenapa tadi tidak membawa senter. Lain kali pasti tidak lupa. Mereka akan membawa senter, dan juga lilin! Jack yang menyeberang paling dulu, dengan Kiki di pundaknya. Burung itu berbisik-bisik. Kedengarannya seperti menyuruh jerangkan air! Jack sampai di seberang dengan selamat, lalu memegang tali yang tergantung di sana. Ia membantu Lucy-Ann menyeberang. Setelah itu Dinah, disusul oleh Tassie. Lucy-Ann merosot turun lewat tali. Ia bergegas-gegas, disusul oleh Dinah. Sedang Tassie turun tanpa bantuan tali sama sekali. Dengan cara begitu pun, geraknya tetap cepat. Akhirnya Philip juga menyeberang. Button ditinggalnya dalam pun. Kasihan, rubah cilik itu mendengking-dengking ingin ikut. "Ayo, cari jalanmu —sendiri dan susul kami keluar," seru Philip. Button berusaha meloncat ke ambang jendela. Tapi ia terlalu kecil. Selalu jatuh kembali ke lantai. Anak-anak mendengarnya mendengking-dengking sendiri, sementara mereka menyusur lorong yang gelap menuju tempat yang terang di samping puri. "Kalau Button ternyata tidak muncul nanti akan kujemput," kata Philip. "Aku tak sampai hati sungguh-sungguh meninggalkannya sendiri di sini. Tapi rubah biasanya sangat pintar! Pasti sebentar lagi ia sudah menyusul." "Kalau begitu perhatikan dari mana dia muncul," kata Jack. "Kita kan ingin tahu ia lewat mana tadi, karena siapa tahu jalan itu bisa kita pakai pula." Mereka pun berjaga-jaga. Tapi percuma, karena tahu-tahu Button sudah ada di depan mereka, melonjak-lonjak di kaki Philip sambil mendengking-dengking gembira. Tidak ada yang melihatnya datang. Jadi tidak ada yang tahu, bagaimana caranya keluar dari puri! "Konyol!" kata Jack sambil tertawa. "Bagaimana caramu keluar tadi, Button?" Button tidak bisa mengatakannya. Tapi dalam perjalanan pulang ia tidak mau beranjak dari sisi Philip. Anak itu merasakan hidung rubah yang basah menempel ke betisnya. Button mengikutinya dengan ketat. Persis bayangan! Sesampai di rumah anak-anak begitu capek, sehingga bercerita mengenai pengalaman mereka pun dilakukan dengan malas. Bu Mannering tertawa, ketika Philip menceritakan tentang air yang tergenang di bawah pompa. "Kalian ini macam-macam saja — menakut-nakuti diri sendiri," katanya. "Mungkin pompa itu yang bocor. Tapi soal kamar-kamar yang masih lengkap perabotannya, aneh juga ya! Dengan begitu ternyata penduduk desa memang benar-benar takut pada puri itu, karena tidak ada yang berani mengapa-apakan perabot yang ada di dalamnya. Kurasa bahkan pencuri pun tidak ada yang berani ke situ!" Bu Mannering sangat tertarik mendengar cerita tentang rajawali emas. Ia mengobrol dengan Philip dan Jack mengenainya, sampai hari sudah gelap. Bu Mannering menyetujui niat Jack untuk mencoba memotret anak rajawali dengan pasangan induk dan bapaknya. "Kalau kau berhasil membuat tempat persembunyian yang baik, dan burung-burung itu kemudian sudah terbiasa padanya, kau akan bisa membuat foto—foto dari situ, Jack. Kalau kau berhasil, hebat!" katanya. "Ayah Philip dulu sering melakukannya." "Bolehkah aku ikut dengan Jack, Bibi Allie?" kata Lucy-Ann. Ia tidak mau terpisah dari abangnya, biarpun hanya untuk sehari dua. "Tidak, tidak bisa, Lucy-Ann," kata Jack dengan tegas. "Hanya aku saja yang boleh ada di sana! Karena kalau kau atau yang lain-lain ikut, nanti burung-burung itu takut dan aku tidak bisa membuat foto yang baik Aku takkan lama-lama pergi. Masa selama liburan ini kau ingin terus-menerus ikut dengan aku. Tidak bisa dong!" Lucy-Ann tidak mengatakan apa-apa lagi. Kalau Jack tidak ingin dia ikut, Lucy-Ann takkan ikut. "Kalau mau, kau bisa ke sana setiap hari untuk mengantar makanan," kata Jack cepat-cepat, ketika dilihatnya Lucy-Ann kecewa. "Dan aku juga bisa memberi isyarat pada kalian, dari atas menara. Kalian masih ingat kan, rumah ini bisa kelihatan dari sana. Jadi tentunya dari sini pun kalian bisa melihat menara itu." "O ya — setiap malam kau memberi isyarat pada kami, sebelum tidur," kata Lucy-Ann. Ia sudah gembira lagi. "Asyik! Dari kamar mana ya, kita bisa paling jelas melihat menara?" Ternyata dari kamar tidurnya sendiri! Lucy-Ann bahkan bisa melihat menara puri itu dari tempat tidurnya. "Jack, maukah kau tidur di menara itu?" tanya Lucy-Ann. "Supaya apabila aku bangun dan melihat ke menara, aku akan langsung tahu bahwa kau ada di situ. Aku akan melambai-lambai dengan sapu tangan putih dari jendelaku, apabila kulihat kau melambai-lambai." "Wah — aku belum tahu di mana aku tidur nanti," kata Jack. "Kalau di menara, rasanya terlalu banyak angin di situ. Mungkin aku akan berbaring di salah satu sudut yang hangat dengan selimut tebal. Atau mungkin juga salah satu dipan yang ada di sana akan kujadikan tempat berbaring, apabila debu yang menempel di situ berhasil kubersihkan!" Tassie tidak membayangkan, bahwa ada yang berani tidur sendiri dalam puri tua itu. Menurut perasaannya, Jack mestinya anak yang paling berani di dunia! "Hari sudah malam, Tassie — kau harus pulang," kata Bu Mannering. "Besok kau bisa datang lagi." Tassie cepat-cepat pulang, karena takut dimarahi ibunya. Sedang anak-anak yang lain membantu Bu Mannering membereskan bekas makan malam dan mencuci piring serta gelas. Setelah itu mereka pergi tidur, memimpikan puri kuno yang tidak dihuni lagi, serta kamar-kamar aneh penuh dengan sarang labah-labah, menara-menara menjulang tinggi, burung rajawali yang menjerit melengking tinggi -- dan air yang menggenang di bawah pompa! "Benar-benar aneh!" kata Philip pada dirinya sendiri, sebelum terlelap. "Tapi aku tidak mau berpikir tentang hai itu sekarang. Aku terlalu capek!" Keesokan harinya hujan turun. Awan mendung berarak-arak, menyebabkan lembah berkabut dan lembab. Sepanjang hari matahari bersembunyi terus di balik awan gelap. Sungai kecil di belakang rumah tahu-tahu berlipat dua airnya. Bunyinya berisik, mengalir dengan deras. "Sialan!" kata Jack mengomel. "Padahal aku ingin sekali pergi ke puri hari ini. Kurasa setiap waktu anak rajawali itu akan belajar terbang, dan aku ingin bisa mengabadikan percobaannya yang pertama kali." "Filmmu cukup banyak, Jack'?" tanya Philip. "Kau kan biasanya kehabisan film,tepat pada saat sangat memerlukannya!" "Yah — kalau benar begitu, apa boleh buat,” kata Jack. "Di desa kecil yang ada di sini, aku takkan bisa membelinya. Tokonya kan cuma satu." "Kau bisa saja naik kereta api ke kota terdekat," kata Bu Mannering. "Kenapa kailan tidak berangkat saja ke sana, daripada terkurung terus sehari ini di sini? Kulihat Dinah sudah gatal-gatal saja mulutnya, ingin bertengkar karena bosan duduk terus!" Dinah tertawa. Ia memang tidak suka terkurung terus, seperti dikatakan oleh ibunya. Dan ia memang menjadi kesal, karena bosan. Tapi Dinah sudah mulai bisa menguasai dirinya, karena ia kan bukan anak kecil lagi. "Ya, asyik juga jika kita naik kereta api lalu berbelanja di kota,” katanya. "Yuk, kita berangkat! Kita masih ada waktu untuk mengejar satu-satunya kereta yang singgah di stasiun desa hari ini! Kembalinya juga begitu, dengan satu-satunya kereta yang berangkat dan mampir di sini!" Anak-anak bergegas mengenakan mantel dan topi hujan, lalu berangkat mengejar kereta api itu. Ternyata mereka tidak perlu tergesa-gesa karena kereta lambat yang singgah di stasiun selalu menunggu calon penumpang yang nampak datang. Dari desa ke kota, jaraknya dua puluh mil. Dengan kereta lambat itu, memakan waktu satu jam penuh. Anak-anak menikmati perjalanan itu, menyusur lembah-lembah yang terkurung di sela bukit-bukit tinggi. Sekali mereka melihat puri lain di lereng sebuah bukit. Tapi semua sependapat - puri itu tak setanding dengan puri mereka. Button ditinggal bersama Tassie. Tassie sebenarnya diajak, tapi anak itu takut pada kereta api. Ia kaget sekali ketika anak-anak mengajaknya. Dan ia berkeras, tidak mau ikut. Akhirnya Button dititipkan padanya, dengan pesan agar jangan sampai Bu Mannering terganggu. Button mendengking-dengking, karena ingin ikut dengan Philip. Kalau Kiki — ia tentu saja ikut dengan Jack Kiki memang selalu ikut ke mana saja Jack pergi, sambil mengocehkan kata-kata kocak yang membuat tertawa. Kalau ada banyak orang, burung iseng itu selalu senang memamerkan kepandaiannya. Bukan itu saja, kadang-kadang ia pun suka kurang ajar! Sesampai di kota, anak-anak turun dari kereta. Ketika mereka sedang berjalan menuju ke tempat belanja, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seseorang yang memanggil-manggil. "Halo! Siapa mengira, akan berjumpa dengan kalian di sini!" Anak-anak berpaling dengan segera. Kiki langsung menjerit dengan gembira. "Bill Smugs!" seru anak-anak serempak, lalu lari menghampiri laki-laki berwajah segar yang memanggil mereka. Lucy-Ann memeluknya, Dinah tersenyum senang, sedang Jack dan Philip menepuk-nepuk punggung Bill Smugs. Itu bukan namanya yang sebenarnya, melainkan nama samaran. Dengan nama itu ia memperkenalkan diri pada anak-anak setahun sebelumnya, ketika mereka berjumpa dengan dia pada saat Bill sedang mengusut jejak kawanan pemalsu uang yang licik. Waktu itu ia tidak menghendaki anak-anak tahu siapa dia sebenarnya dan apa yang dilakukan olehnya. Tapi setelah itu, sesudah mereka mengetahui namanya yang sesungguhnya, bagi anak-anak dia tetap Bill Smugs. _ "Yuk, makan siang bersamaku," kata Bill. "Atau kalian sudah punya rencana lain, barangkali? Aku sungguh-sungguh ingin tahu, apa yang kalian perbuat di sini. Kusangka kalian semua pulang berlibur ke rumah." "Anda sendiri, sedang apa di sini?" tanya Philip dengan mata bersinar-sinar. "Mengusut jejak pemalsu lagi? Anda pasti sedang melakukan tugas menarik." "Mungkin, tapi mungkin juga tidak," kata Bill sambil tersenyum. "Apakah aku perlu mengatakannya pada kalian? Mungkin aku juga sedang berlibur di sini, seperti kalian. Yuk— kita ke hotel ini saja! Kelihatannya tempat inilah yang paling baik di kota ini." Mereka makan siang bersama dengan gembira. Bill Smugs sangat mengasyikkan. Anak-anak mengobrol dengan dia tentang pengalaman seru yang mereka alami bersama—sama satu tahun sebelum itu. Waktu itu mereka berurusan dengan tambang tembaga serta kawanan pemalsu uang, lalu terjerumus dalam bahaya besar. Mereka saling mengingatkan, betapa mereka menggigil dan ketakutan waktu itu! "Ya, itu memang pengalaman seru," kata Bill, sambil mengambil kue apel yang dilumurinya dengan krem. "Dan sekarang, seperti sudah kukatakan tadi — kalian harus menceritakan padaku, apa yang kalian lakukan di sini.” Anak-anak berebut-rebutan bercerita dengan bersemangat Apalagi Jack, yang tidak sabar menunggu giliran untuk menceritakan segala-galanya tentang burung rajawali. Sambil mendengarkan Bill makan terus. Sekali-sekali diberinya sepotong makanan pada Kiki. Burung kakaktua itu kelihatannya juga senang berjumpa kembali dengan kawan lama. Mungkin lebih dari sepuluh kali ia menyuruh Bill membuka bukunya pada halaman enam, serta memperhatikan baik-baik. "Sayang tempat kalian jauh dari sini," kata Bill kemudian. "Untuk sementara waktu aku harus tetap berada di daerah sini, dan tidak bisa pergi-pergi. Tapi kalau ada waktu luang, aku pasti akan datang menjenguk kalian di sana. Mungkin ibu kalian mau menampungku untuk sehari dua, lalu kita bersama-sama akan pergi ke puri kalian yang hebat itu dan melihat kawanan rajawali di sana." "O ya, datang dong!" seru anak-anak "Di rumah tidak ada telepon," kata Philip. "Tapi itu tidak menjadi soal pokoknya datang saja, kami pasti ada di sana. Datang saja kapan Anda mau! Kami akan senang sekali." "Baiklah kalau begitu," kata Bill. "Mungkin aku bisa datang minggu depan, karena kelihatannya aku toh tidak bisa berbuat banyak di sini. Sayang aku tidak bisa menceritakan lebih banyak — tapi jika tugas yang harus kutangani tidak lancar perkembangannya, aku akan mengaso sebentar dan menjenguk kalian serta ibu kalian yang baik hati. Tolong sampaikan salamku padanya, dan katakan Bill Smugs akan datang bertamu begitu ada kesempatan baik untuk itu." "Wah — kami harus pergi sekarang," kata Jack menyesal, setelah melirik arlojinya. "Kereta pulang ke desa itu cuma ada satu, sedang kami masih harus berbelanja. Sampai jumpa lagi, Bill. Senang rasanya, tahu-tahu berjumpa dengan Anda di sini." "Selamat jalan. Sampai jumpa lagi, dan mudah-mudahan dalam waktu dekat." kata Bill, dengan senyum khasnya yang sudah dikenal baik oleh anak-anak Bab 12 JACK MENGINAP DI PURI Bu Mannering senang sekali ketika mendengar bahwa anak-anak secara kebetulan berjumpa lagi dengan Bill Smugs. la merasa berutang budi pada orang itu, karena bantuannya pada anak-anak dalam petualangan mereka setahun yang silam. "Jika jadi datang, ia bisa tidur di kamarku, sedang aku tidur di kamar kalian," katanya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Senang rasanya bertemu lagi dengan dia. Bill mestinya menarik hidupnya, selalu melacak jejak penjahat." "Dia pasti mau diajak melihat-lihat puri tua kita," kata Lucy-Ann. "Mudah-mudahan hujan tidak turun besok, Jack." Tapi ternyata hujan turun lagi keesokan harinya. Jack merasa kecewa. Ia sudah khawatir saja, jangan-jangan kedua rajawali dewasa sudah mengajar anak mereka terbang. Tapi apa boleh buat! Ia tidak bisa naik ke bukit di tengah hujan. Awan mendung tergantung begitu rendah, sehingga menyelubungi lereng seperti kabut tebal. Kalau Jack nekat naik, ada kemungkinan ia akan tersesat. "Tapi kalau Tassie, dalam keadaan berkabut begini pun ia masih bisa menemukan jalan ke atas," katanya. Tassie yang saat itu ada di situ, mengangguk sambil memandang Jack. "Memang," kata anak itu. "Kalau kau mau, aku bisa mengantarmu." . "Jangan!" kata Bu Mannering dengan tegas. "Tunggu saja sampai besok. Kurasa besok cuaca akan cerah kembali. Aku tidak ingin nanti harus mengerahkan regu penolong mencarimu serta Tassie!" "Tapi, Bu — aku yakin Tassie dengan mata tertutup pun masih bisa naik ke atas bukit dengan selamat," kata Philip. Tapi ibunya tidak begitu meyakini kemampuan Tassie, seperti anak—anak. Jadi Jack terpaksa menunggu satu hari lagi. Keesokan harinya untung cuaca cerah. Matahari bersinar di langit biru. Sedikit pun tidak kelihatan awan yang menggelapi. Daerah bukit nampak kemilau, sementara sinar matahari mengeringkan tetesan air yang menempel di pepohonan. Cuaca hari itu benar-benar indah. "Kita berangkat beramai-ramai ke atas, Jack," kata Philip, "untuk membantumu mengangkut barang-barang yang kauperlukan. Kau pasti memerlukan selimut tebal, begitu pula makanan. Lalu lilin dan senter. Tak boleh dilupakan pula kamera serta film." Anak-anak memutuskan untuk main—main sepanjang hari lagi di puri, sampai petang. Sekitar pukul sebelas mereka berangkat. Button dan Kiki tentu saja diajak ikut. Kiki kemudian akan tinggal di atas, bersama Jack Burung-burung rajawali itu kelihatannya tidak merasa terganggu oleh Kiki. Bahkan ada kemungkinan mereka akan berteman dengan kakaktua itu, sehingga Jack bisa membuat foto-foto menarik dari mereka. Anak-anak itu membawa berbagai bekal. Dinah merasa lega. Di kantongnya ada senter. Dengan begitu ia tidak perlu lagi merasa seram apabila nanti berada dalam ruangan gelap, dan tiba-tiba merasa rambutnya disentuh sesuatu — yang ternyata hanya sarang labah-labah! Mereka masuk ke puri lewat jalan biasa, meniti papan dan menyusup lewat jendela sempit Dan Button kembali muncul dengan tiba-tiba di halaman dalam. Anak-anak masih tetap tidak tahu, lewat mana anak rubah itu bisa masuk. Kiki langsung terbang menghampiri sarang rajawali, sambil meneriakkan jeritan rajawali. Rupanya ia hendak menyampaikan salam pada mereka. Kedua rajawali itu kaget Begitu melihat burung aneh tukang mengoceh itu, mereka lantas terbang dan mengitarinya. Nampak jelas bahwa mereka tidak marah. Mungkin Kiki dikira masih termasuk kerabat mereka, walau kerabat yang aneh. Soalnya, suara Kiki sama dengan teriakan mereka! Jack pun dengan segera mendaki tebing, untuk melihat apakah anak rajawali itu masih ada di sarangnya. Ternyata masih ada. Induknya baru saja membawakan kelinci yang sudah mati, dan anak burung itu sedang asyik makan. Begitu melihat Jack muncul, anak burung itu langsung berdiri sambil menaungi kelinci dengan sayapnya. Seolah-olah takut direbut oleh Jack. "Jangan khawatir, makan saja terus," kata Jack dengan lembut. "Aku tidak bermaksud merebut makananmu. Aku cuma hendak memotretmu." Kemudian Jack memandang berkeliling, mencari-cari tempat yang baik untuk bersembunyi. Ada satu tempat yang kelihatannya cocok sekali, yaitu dalam suatu semak lebat yang letaknya hampir sama tinggi dengan tepi tebing tempat sarang. Menurut perasaan Jack, mungkin ia bisa menyusup ke dalam semak itu. Dari situ ia bisa memotret. Tapi sulitnya, semak itu berduri. "Bisa habis badanku nanti, tertusuk duri,"pikirnya. "Tapi biarlah —— yang penting, aku bisa membuat foto yang bagus-bagus. Pasti kedua rajawali dewasa itu takkan tahu bahwa aku bersembunyi dalam semak itu!" Diceritakannya rencana itu pada anak-anak yang lain. Semua sependapat, Tempat itu memang bagus sekali, walau agak kurang anak. Bagian tengah semak itu agak lapang, dan kalau sudah berada di situ Jack bisa mengusahakan agar tidak tertusuk duri. Hanya keluar - masuk samak itu saja yang pasti agak menyakitkan. "Sebaiknya kaubungkus tubuhmu dengan selimut ini," kata Lucy-Ann. Ia mengacungkan selimut tebal yang dibawanya. "Kalau kau masuk dengan terbungkus selimut, pasti tidak apa—apa." "Wah, itu akal baik," kata Jack senang. Mereka makan siang di atas menara lagi, sambil menikmati pemandangan luas yang terhampar begitu indah di bawah. "Bill Smugs harus melihat ini," kata Jack. "Jika ia datang nanti, kita ajak dia ke sini." "Di mana rencanamu tidur nanti malam, Jack?" tanya Lucy-Ann dengan nada gelisah. "Dan apakah kau akan melambaikan sapu tanganmu dari sini sebelum tidur? Akan kutunggu sampai kelihatan." "Aku akan melambai dengan kemejaku yang putih," kata Jack "Kalau dengan sapu tangan kurasa takkan kelihatan, karena terlalu kecil! Tapi kalau mau, kau bisa memakai teropongku untuk melihat. Barang itu ada di kamarku." "O ya, dengan begitu aku akan bisa melihat kemejamu dengan jelas," kata Lucy-Ann. "Mudah-mudahan saja kau tidak kesepian di sini, Jack." "Kenapa kesepian? Kan ada Kiki! Kalau ditemani pengoceh itu, takkan mungkin merasa sepi," kata Jack, sambil menggaruk-garuk tengkuk Kiki. "Hidup ratu," kata Kiki, sambil menggigit-gigit telinga Jack dengan sayang. "Kau belum mengatakan di mana kau akan tidur nanti, Jack," kata Lucy-Ann lagi. "Kau kan tidak berniat tidur di sofa?" "Kurasa tidak, tapi mungkin di pojok halaman dalam yang berpasir itu," kata Jack "Itu — di sana! Tempat itu pasti hangat, karena disinari matahari. Pasti enak tidur di situ, terbungkus selimut tebal.” "Aku lebih senang jika 'kau tidur di situ, daripada dalam puri," kata adiknya. "Aku tidak suka pada ruangan-ruangan gelap, pengap dan kedap itu "Gelap, pengap, kedap!" teriak Kiki. Burung itu senang, karena mendengar kata-kata baru. "Gelap, pengap, kedap. Gelap, pengap, kedap ..." "Kiki! Diam!" seru anak-anak serempak. Tapi Kiki sedang asyik dengan ketiga kata baru itu. Ia mengulanginya terus, tapi dengan berbisik-bisik pada Button. Anak rubah itu mendengarkan dengan telinga menegak dan kepala ditelengkan. "Kita harus pulang sekarang," kata Philip, ketika hari sudah sore. Mereka sebelumnya sudah berusaha melihat dari mana Button keluar – masuk. Tapi sia-sia. Mereka juga sudah melihat-lihat lagi dalam puri, kali ini lebih seksama karena membawa senter. Ternyata hanya ketiga ruangan yang sudah mereka masuki pada kesempatan pertama saja yang ada perabotnya. Jadi hanya kamar duduk, kamar makan dan dapur. Mereka tidak menemukan kamar tidur. Philip menyayangkan hal itu. Coba ada, kan bisa dipakai oleh Jack Jack mengantarkan mereka sampai ke papan jembatan. Ia menggendong Button. Maksudnya hendak menyelidiki, lewat mana anak rubah itu nanti keluar. Button takkan dilepaskannya sampai anak-anak sudah pergi semua. Dan anak—anak itu menyeberang satu per satu, lalu merosot ke bawah. Suara mereka bercakap-cakap terdengar makin lama makin lemah, dan akhirnya lenyap. Jack ditinggal sendiri dalam puri. Ia kembali ke halaman dalam. Matahari senja masih meneranginya sedikit Di situ diletakkannya anak rubah itu ke tanah. "Sekarang tunjukkan lewat mana kau akan keluar," katanya. Seketika itu juga Button melesat pergi. Larinya cepat sekali, tak mungkin bisa disusul oleh Jack Baru saja anak itu lari beberapa langkah, Button sudah menghilang tanpa jejak. "Sialan!" umpat Jack jengkel. "Padahal aku sudah bertekat, kali ini pasti bisa mengikuti jejakmu. Tapi kau ternyata sangat cepat, Button! Pasti kau sekarang sudah menggabungkan diri kembali dengan anak-anak." Setelah itu Jack naik ke tebing tempat sarang rajawali, untuk mengatur letak kameranya. Kameranya bagus sekali. Ia memperolehnya sebagai hadiah Natal dari Bill Smugs. Dengan kamera itu Jack merasa pasti akan berhasil membuat serangkaian foto yang bagus-bagus dari ketiga rajawali. Jack membungkus tubuhnya dengan selimut, seperti diusulkan oleh Lucy-Ann. Setelah itu ia berusaha menyusup ke dalam semak. Ternyata duri-duri semak itu masih juga menusuk kulitnya di beberapa tempat. Kiki bertengger di samping semak, sambil memandang kesibukan Jack dengan heran. "Sayang, sayang, sayang," kata burung itu. "Memang sayang, aku toh masih tetap tertusuk duri," keluh Jack. Tapi kegembiraannya bangkit lagi, ketika melihat bahwa dari semak itu ia bisa melihat sarang dengan jelas sekali. Begitu pula nampak jelas tepi tebing, di mana kedua rajawali biasa bertengger sambil memandang berkeliling. Jack puas sekali. Jaraknya juga tepat! Ia menepikan ranting-ranting semak sedikit di sisi yang mengarah ke sarang, sehingga kameranya bisa dipasang di atas kaki tiga dan dibidikkan tepat ke sasaran. Jack mengintip sebentar lewat lensa pembidik, untuk menilai foto yang akan bisa dibuatnya. "Tepat sekali!" pikir anak itu dengan senang. "Tapi sekarang tak perlu kubuat foto, karena cahaya tidak cukup lagi. Tapi besok pagi — itulah saatnya yang tepat! Matahari akan tepat menerangi tempat yang kehendaki." Saat itu anak rajawali yang masih ada dalam sarangnya melihat kamera yang terarah padanya dari tengah semak Burung itu langsung mendekam, karena takut. "Sebentar lagi kau pasti akan terbiasa juga," pikir Jack. "Mudah-mudahan induk dan bapakmu juga! Aduh, Kiki — mestikah kau ikut-ikutan masuk ke sini? Untukku sendiri saja, sempitnya sudah bukan main!" "Gelap, pengap, kedap!" bisik Kiki. Rupanya kakaktua itu menyangka Jack sedang bermain sembunyi-sembunyian, dan tidak boleh sampai ketahuan. Karena itu ia berbisik-bisik. "Gelap, pengap, kedap!" _ "Burung konyol," kata Jack. "Sekarang keluar! Sebentar lagi aku juga akan keluar. Tempat ini memang pengap dan kedap, tapi tidak gelap!" Kiki pergi ke luar. Setelah itu Jack menyusul, sambil berusaha melindungi diri sedapat-dapatnya dari tusukan duri. Sesampai di luar ia meregangkan tubuh yang pegal. Sambil membawa selimut dituruninya tebing dengan cekatan. Sedang kameranya ditinggal dalam semak. Malam itu hujan pasti tidak akan turun! Jack melewatkan waktu sambil membaca buku, sampai hari sudah gelap. Saat itu ia teringat, bahwa ia masih harus melambai ke lembah. Ia pun bergegas naik ke atas menara. Mudah-mudahan saja belum terlambat, pikirnya. Jack berdiri di atas menara. Kemeja putihnya sudah dilepas. Dilambai-lambaikannya kemeja itu dengan gembira, dihembus angin kencang. Ia melambai sambil memandang ke bawah ke arah rumah di mana anak-anak berada. Dari jendela rumah yang letaknya paling tinggi, dilihatnya kilasan warna putih. Ternyata Lucy-Ann membalas lambaiannya. "Jack baru saja melambai," kata anak itu pada Dinah, yang saat itu sedang berganti pakaian. "Aku melihat kemeja putihnya bergerak-gerak Bagus! Jadi aku tahu Jack berada dalam keadaan selamat, dan sebentar lagi pasti sudah tidur." "Aku heran, kau ribut benar memikirkan Jack," kata Dinah, sambil meloncat ke pembaringannya. "Aku tidak pernah begitu, terhadap Philip. Kau ini bertingkah kayak anak kecil, Lucy-Ann!" "Biar!" kata Lucy-Ann dalam hati. Ia naik ke tempat tidur. "Pokoknya aku senang, karena tahu bahwa Jack tidak apa-apa. Aku rasanya tidak enak, membayangkan dia seorang diri dalam puri menyeramkan itu!" Bab 13 BUNYI ANEH DI TENGAH MALAM Jack menuruni tangga menara sambil bersiul-siul pelan. Kiki mengikuti siulannya. Kalau lagu yang disiulkan oleh Jack dikenalnya, ia ikut bersiul sampai habis. Mereka masuk ke halaman dalam. Saat itu kedua rajawali tidak nampak. Mungkin sudah ada dalam sarang. Tapi ketika Jack sampai di halaman, terdengar bunyi gemerisik ramai. "Kelinci!" kata Jack dengan gembira. "Wah, ada beratus-ratus, barangkali! Kurasa mereka biasa berkumpul di sini setiap petang. Nanti kalau aku sudah berbaring di pojok berpasir itu, aku akan memperhatikan mereka. Tapi jangan kaukagetkan mereka ya, Kiki!" Jack pergi ke tempat yang sudah dipilihnya, dengan berbekal selimut-selimut tebal serta biskuit coklat sebungkus. la berbaring di atas pasir, sambil menunggu kelinci-kelinci muncul kembali dari liang mereka. Pemandangan itu mengasyikkan. Kelinci-kelinci itu besar kecil, ada yang berbulu gelap dan ada pula yang nyaris putih!. Tingkahnya bermacam-macam. Ada yang serius seperti kakek-kakek, tapi ada pula yang jenaka dan senang bermain-main. Jack memperhatikan mereka dengan senang, sambil memakan biskuit. Kiki ikut memperhatikan, sambil mencubiti telinga Jack. "Kurasa kawanan rajawali itu pasti biasa mencari mangsa di antara kawanan kelinci ini," pikir Jack. Tahu-tahu ia sudah mengantuk. Dihabiskannya biskuit terakhir, lalu diselubunginya tubuh dengan selimut. Ia agak kedinginan sekarang. Pasir tempatnya berbaring ternyata tidak seempuk bayangannya semula. Mungkin lebih baik jika ia memilih tidur di atas hamparan semak dan rumput liar. "Yah, sudahlah! Aku sekarang sudah terlalu mengantuk," pikirnya. “Minggirlah sedikit, Kiki. Sakit tengkukku kena cakarmu. Lebih baik kau mencari tempat lain untuk bertengger." Tapi sebelum Kiki sempat pindah, Jack sudah terlelap. Jadi Kiki tetap bertengger di tempat semula. Kelinci-kelinci yang berkeliaran menjadi semakin berani. Mereka berloncat-loncatan, sampai dekat sekali pada anak laki-laki yang sedang tidur itu. Bulan separuh muncul dari balik awan senja, menerangi halaman puri dengan cahayanya yang temaram. Jack tidak tahu apa yang menyebabkan dia bangun dengan tiba-tiba. Pokoknya ia kaget, lalu bangun. Dibukanya mata, menatap langit malam. Sesaat itu ia lupa, di mana ia berada. Biasanya kalau bangun, yang nampak langit-langit kamar. Tapi kini ia menatap awan dan bintang-bintang. Kemudian ia teringat. Ya, tentu saja — saat itu ia berada di halaman dalam puri tua. Jack. terduduk Kiki ikut terbangun, sambil menguak kesal. "Apa ya, yang tadi membangunkan aku?" pikir Jack. Ia memandang berkeliling di halaman yang penuh dengan bayangan itu. Saat itu bulan muncul kembali dari balik awan. Jack melihat masih ada beberapa ekor kelinci di situ. Sedang di latar belakang nampak bayangan gelap puri menjulang tinggi dan besar. Jack merasa pasti, tadi ada sesuatu yang menyebabkan ia terbangun. Mungkin bunyi sesuatu? Atau barangkali ada kelinci bandel, yang lari di atas perutnya? Jack memasang telinga baik-baik Tapi kecuali bunyi burung hantu di . kejauhan, ia tidak mendengar apa—apa. Kemudian didengarnya jeritan kelelawar, mencicit-cicit sambil terbang menyambar serangga malam. Jack mendongak ia memandang ke arah menara, di mana ia sore itu berdiri sambil melambai-lambaikan kemeja putih. Tiba—tiba tubuhnya mengejang karena kaget. Dikejapkannya mata beberapa kali. Tidak salah lihatkah ia tadi? Ia merasa seperti melihat sinar terang memancar dari atas menara. Ia memicingkan mata, menatap puncak menara. Ia menunggu cahaya itu nampak lagi. Tadi kelihatannya seperti ada senter yang dinyalakan sekejap. Tapi walau ditunggu sampai beberapa saat, cahaya itu tidak kelihatan lagi. Jack duduk sambil berpikir. Betulkah yang dilihatnya tadi kilatan cahaya? Barangkali ada orang berjalan menyusur tembok pertahanan menuju menara, dan ia terbangun karena bunyi langkah orang itu! Jangan-jangan ada orang dalam puri itu! Tubuh Jack merinding. Ia agak bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Ia tidak begitu kepingin memeriksa apa sebetulnya yang dilihat tadi — apakah betul cahaya terang atau tidak. la mulai menyangsikannya. Jangan-jangan ia cuma mimpi saja. Coba cahaya itu nampak lagi, ia akan mengetahuinya dengan pasti. Akhirnya ia berpendapat, hanya penakut saja yang tetap meringkuk di pembaringan, hanya karena merasa agak seram. Lebih baik ia bangun lalu memeriksa sendiri ke atas menara. Itu perbuatan yang tabah! "Aku tidak merasa tabah," kata Jack dalam hati, "tapi kurasa orang akan paling tabah apabila melakukan sesuatu, walau ia merasa takut. Jadi lebih baik aku berangkat!" Setelah menyuruh Kiki agar jangan berisik, dengan hati-hati Jack melintasi halaman dalam, menuju jalan masuk ke puri. Ia menyelinap di tempat-tempat gelap. Ia agak terhibur, karena terasa cakar Kiki mencengkeram pundak. Sesampai di serambi luas, Jack kembali memasang telinga. Tak terdengar apa-apa di situ. Ia menyalakan senter, tapi dilindunginya dengan sapu tangan. Serambi itu ternyata kosong. Jack menyusur tangga batu yang lebar, menuju tembok pertahanan yang bersambung dengan menara. Ditelusurinya tembok itu. Akhirnya sampai di menara. "Bagaimana sekarang — aku naik atau tidak," pikir Jack. "Sebetulnya aku tidak kepingin. Bagaimana kalau ternyata memang ada orang di atas? Atau cahaya tadi cuma khayalanku belaka?" Jack mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia menyelinap, mendaki tangga putar. Di ruangan atas. tidak ada siapa-siapa. la meneruskan langkah, mendaki tangga terjal yang menuju ke atap menara. Dengan hati-hati sekali ia menjulurkan kepala ke atas. Cahaya bulan cukup terang saat itu. Dilihatnya dengan jelas bahwa di atas menara tidak ada orang. "Nah — ternyata memang cuma khayalanku saja tadi," pikirnya. "Dasar konyol! Sudahlah —lebih baik aku tidur lagi." Jack turun kembali. Kiki masih selalu bertengger di pundaknya. Ketika Jack sampai di serambi besar, tiba-tiba ia tertegun. Ia mendengar sesuatu. Bunyi apakah itu? Kedengarannya seperti dentangan pelan —disusul bunyi seperti air tumpah. "Jangan—jangan ada orang di dapur, dan sekarang sedang memompa air," katanya pada dirinya sendiri. Bulu tengkuknya terasa berdiri. Jack tercengkam rasa ngeri. "Wah —— gawat! Coba anak-anak ada di sini sekarang" Jack berdiri seperti terpaku di tempat. Ia bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Akhirnya ia tidak kuat lagi menahan rasa takut, lalu lari ke halaman dalam yang diterangi sinar bulan. Tapi ia tetap berada di tempat gelap. Tubuhnya menggigil ketakutan. Kiki membisikkan sesuatu di telinganya. Maksud burung itu hendak membesarkan hati Jack, karena merasa bahwa anak itu sedang ketakutan. Sesaat kemudian Jack merasa malu sendiri. "Kenapa aku tadi lari?" pikirnya. "Payah, kalau begini! Untuk membuktikan bahwa aku bukan penakut, sekarang aku akan masuk ke dapur, dan di situ memeriksa siapa yang ada di dalam. Kurasa gelandangan, yang tahu jalan masuk ke sini. Pasti jika aku tiba-tiba muncul di situ, ia akan lebih takut lagi daripada perasaanku sekarang!" Dengan tabah tapi berhati-hati Jack masuk kembali ke dalam puri yang gelap dan suram. Ia menyusur serambi, menuju ke dapur. Sesampai di situ ia menyelinap masuk, lalu pergi ke balik pintu. Ia menunggu sambil memasang telinga. Matanya dinyalangkan., untuk melihat kalau-kalau ada lagi cahaya bersinar. Tapi ia tidak mendengar apa-apa lagi. Tidak terdengar bunyi pompa berdentang digerakkan orang. Tidak terdengar suara air tumpah. Jack menunggu selama beberapa menit sambil membisu. Kiki sekali itu juga diam saja. Tapi ia tetap tidak mendengar apa-apa. Bahkan bunyi napas orang pun tidak terdengar. Mestinya tidak ada siapa-siapa dalam dapur itu. "Kunyalakan senterku cepat-cepat dan kusorotkan ke segala sudut untuk melihat apakah ada orang berdiri diam-diam di sini," katanya dalam hati. "Kalau ternyata memang ada, aku bisa saja cepat-cepat lari ke luar lagi." Diambilnya senter dari kantong, Lalu secara tiba-tiba dinyalakan. Diarahkannya sinarnya ke tempat cuci dan pompa. Tidak, di situ tidak ada orang. Disorotkannya senter ke segala sudut dapur. Tempat itu kosong, kecuali dia sendiri. Jack menarik napas lega. Dihampirinya tempat cuci dan diperiksanya lantai di bawahnya. Nampak ada air tergenang di situ. Tapi ia tidak tahu, apakah itu air yang baru saja tumpah — atau yang ditumpahkan olehnya bersama anak-anak ketika mereka tadi siang memompa. Jack tidak bisa memastikannya. Diperhatikannya pompa dengan seksama. Tapi tidak nampak apa-apa di situ yang bisa dijadikan pegangan. "Aneh," bisik Jack pada Kiki. "Kurasa tadi Cuma sangkaanku saja terdengar bunyi dentangan dan air tumpah itu. Aku tadi ketakutan — dan orang yang sedang ketakutan biasa mendengar macam-macam yang sebenarnya tidak ada! Kiki, ternyata aku ini lebih cengeng daripada Lucy-Ann. Sungguh!" Jack kembali ke tempatnya berbaring semula, di sudut halaman. Ia masih bingung, tapi juga merasa malu sendiri karena tadi takut tanpa alasan. Tempat berpasir itu kini terasa tidak nyaman lagi. Terlalu keras. Ia juga merasa agak kedinginan. Dibungkusnya tubuh rapat-rapat dengan selimut, sambil berusaha menyamankan letak berbaring. Ia memejamkan mata, memaksa diri agar tidur lagi. Bulan sudah menghilang. Sekitarnya gelap - gulita. Jack berniat takkan bangun lagi malam itu, biar mendengar atau melihat apa pun juga. Masa bodoh kalau ada orang bermain-main dengan cahaya. Biar saja dia memompa air sepuas hati, sepanjang malam pun boleh kalau mau! Pokoknya, Jack tidak mau mempedulikannya lagi! Tapi matanya tetap terbuka lebar. Ia tidak bisa tidur. Ia bukannya masih merasa takut, tapi jengkel. Jengkel, karena tidak bisa tidur lagi. Pikirannya melayang. Ia teringat lagi pada kawanan rajawali yang bersarang di tebing. Direncanakannya beberapa gaya pengambilan foto yang baik untuk keesokan harinya. Dirasakannya cengkeraman cakar Kiki yang bertengger di pundak. Jack tahu, kakaktua itu sudah tidur lagi dengan kepala tersembunyi di balik sayap. Diinginkannya burung itu masih bangun dan mengajaknya mengobrol. Diinginkannya anak-anak ada di situ bersama dia. Akan diceritakannya apa yang dikiranya didengar dan dilihatnya tadi. Akhirnya Jack terlelap juga, ketika fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Langit di situ nampak putih keperakan kena cahaya matahari yang belum muncul dari balik bukit Jack tidak lagi melihat langit yang berubah warna — mula-mula keemasan lalu beralih menjadi jingga. Ia juga tidak melihat kedua rajawali terbang dari sarang mereka. Ia terlelap terus. Begitu pula Kiki. Tapi burung kakaktua itu terbangun ketika terdengar jeritan salah satu rajawali yang sedang terbang. Ia menjawabnya dengan tiruan yang persis sekali bunyinya. Teriakan Kiki membangunkan Jack. Ia langsung duduk Kiki terbang dari pundaknya, menunggu dipanggil, lalu datang lagi. Jack menguap, sambil mengusap-usap mata. "Aku lapar," katanya pada Kiki. "Kau juga?" "Gelap, pengap, kedap," kata Kiki sebagai jawaban. Ia teringat pada ketiga kata baru yang . didengarnya kemarin. "Gelap, peng...” "Ya, ya — aku sudah mendengarnya," kata Jack "He, masih ingatkah kau ketika kita tadi malam terbangun dengan tiba—tiba, lalu pergi ke menara dan sesudah itu ke dapur?" Rupanya Kiki masih ingat. Ia menggaruk-garuk paruh dengan cakarnya, sambil menatap Jack. "Sayang, sayang, sayang," katanya. "Ya — aku juga menyesal, kenapa kita begitu ribut mengenainya," kata Jack. "Aku konyol saat itu, Kiki. Kini setelah suasana terang kembali dan aku sudah benar-benar bangun, aku mulai beranggapan bahwa yang terjadi tadi malam itu cuma khayalanku saja. Kenyataannya memang tidak ada apa-apa, kan?" Kiki mendengarkan dengan kepala miring ke samping. Jack membuka selimut yang membungkus tubuhnya. "Begini saja, Kiki! Kita jangan cerita apa-apa tentang sinar di atas menara serta bunyi misterius yang kukira ada tadi malam, ya? Nanti anak-anak menertawakan kita! Sedang Lucy-Ann dan juga Tassie, mungkin akan ketakutan! Aku yakin, semuanya itu cuma ada dalam khayalanku saja!" Kiki kelihatannya setuju saja. Dibantunya Jack mengeluarkan biskuit dari bungkusan. lalu buah-buahan. Diperhatikannya Jack membuka tutup botol berisi limun jahe. "Kapan ya, anak-anak datang nanti?" kata Jack, sambil mulai sarapan. "Kita coba membuat beberapa foto sebelum mereka muncul. Setuju, Kiki?" Bab 14 JACK KAGET Sehabis sarapan, Jack pergi ke tempat persembunyiannya di atas tebing. Cuaca saat itu cerah. Asal burung-burung rajawali ada di tempat mereka, ia akan bisa mengambil beberapa foto mereka yang bagus—bagus. Jack membungkus tubuhnya dengan selimut yang paling tebal, lalu merangkak masuk menembus rintangan duri-duri semak. Kiki tidak ikut dengannya. Sesampai di tengah semak, Jack memeriksa kameranya untuk mengetahui apakah letaknya masih tepat. Ia mengintip lewat lensa pembidik. "Tepat sekali!" katanya dalam hati. "Anak rajawali itu rupanya masih tidur sekarang. Nanti kalau bangun, mungkin aku bisa membuat fotonya. Induk dan bapaknya mungkin sudah membubung tinggi lagi ke udara.” Rasanya membosankan, menunggu anak rajawali bangun dari tidurnya. Tapi itu tidak menjadi persoalan bagi Jack. Ia dan Philip tahu, jika hendak meneliti kehidupan margasatwa di tengah alam yang wajar, perlu dimiliki kesanggupan untuk berdiam diri selama waktu tidak menentu. Karena itu Jack menunggu dengan sabar dalam semak. Sementara itu Kiki terbang dengan urusannya sendiri. Kakaktua iseng itu hinggap di puncak menara terdekat, lalu memandang ke bawah. Setelah itu ia turun ke halaman dalam. Dilihatnya ada kantong kcrtas terletak di tanah. Ia memeriksa sebelah dalamnya, Siapa tahu, di situ ada biskuit! Kemudian ia terbang ke sebatang pohon yang langsing. Di situ ia berlatih- menirukan suara Button. Kiki merasa senang, selama Jack ada di dekatnya. Ia tahu, anak itu sedang mendekam dalam semak di tebing. Ia tidak mengerti apa sebabnya anak ini memilih tempat duduk yang begitu tidak enak. Tapi di mata Kiki, Jack itu bijaksana. Tahu-tahu anak rajawali bangun dari tidurnya. Mula-mula nampak sayapnya terpentang sebelah, lalu disusul yang sebelah lagi. Ia melompat ke tepi sarang sambil memandang ke luar. Rupanya menunggu induk dan bapaknya kembali. "Bagus!" bisik Jack pada dirinya sendiri. Ditekannya tombol kamera, untuk memotret. Anak rajawali itu mendengar bunyinya, lalu langsung mendekam ketakutan. Tapi Jack sudah berhasil memotretnya! Tak lama kemudian rasa takut anak rajawali itu hilang, dan ia bertengger kembali di tepi sarang. Saat itu induk dan bapaknya datang meluncur dari atas disertai teriakan-teriakan melengking. Nampak sayap mereka terkembang lebar. Anak rajawali menyambut mereka dengan teriakan-teriakan gembira, sambil mengembangkan sayap dan menggerak-gerakkannya. Seekor rajawali yang datang mencengkeram anak kelinci, dan dijatuhkannya ke dalam sarang. Dengan segera anak rajawali mengembangkan sayapnya menutupi makanan itu, lalu mulai mencabik-cabik daging kelinci dengan paruhnya yang kokoh. Jack memotret lagi. Ketiga rajawali itu mendengar bunyi tombol ditekan, lalu memandang ke arah semak dengan sikap curiga. Jack merasa tidak enak memandang mata rajawali jantan melotot ke arahnya. Mudah-mudahan saja burung besar itu tidak melabrak lensa kamera yang mengkilat, sehingga pecah. Situasi gawat itu diselamatkan oleh Kiki. Burung kakaktua itu terbang menghampiri sarang rajawali dengan sikap bersahabat, sambil berteriak-teriak dalam bahasa mereka. Burung-burung itu nampaknya seperti senang bertemu kembali dengan Kiki. Tapi anak mereka mendekam, sambil menutupi anak kelinci yang sudah mati dengan sayapnya. "Buka bukumu pada halaman enam," kata Kiki ramah. Burung-burung itu nampak tercengang. Mereka belum bisa membiasakan diri pada burung yang bisa bicara seperti manusia. Mereka bahkan mulai gelisah, ketika Kiki menggonggong seperti rubah. Rajawali yang betina membungkukkan tubuh ke depan. Paruhnya terbuka, dan terdengar bunyi aneh — seperti menyergah. Rupanya hendak memperingatkan Kiki, supaya hati-hati sedikit. Kiki memang pintar! Dengan segera ia beralih ke bahasa rajawali lagi. Teriakannya begitu meyakinkan, sehingga kedua rajawali puas kelihatannya. Sedang anak mereka makan dan makan terus sampai kekenyangan. Daging kelinci yang masih tersisa dihabiskan oleh induknya. Sementara burung besar itu makan, Jack berhasil membuat satu foto lagi. Dan kali itu reaksi rajawali cuma tolehan sekilas ke arah kamera. Cuma itu saja. Lain tidak! "Bagus," kata Jack dalam hati. "Sebentar lagi mereka pasti sudah tidak mengacuhkan bunyi tombol yang kutekan! Kilatan sinar matahari pada lensa pun takkan mereka pedulikan lagi." Sepagi itu ia asyik menghabiskan filmnya, sambil membayangkan foto-foto bagus yang akan diperolehnya. Dibayangkannya foto-foto itu dimuat dalam majalah-majalah bergambar, disertai namanya yang tertulis di bawahnya selaku juru potret. Wah, bangganya kalau idam-idamannya itu menjadi kenyataan! Tiba-tiba Kiki menjerit dengan bersemangat. Kedua rajawali dewasa kaget, lalu cepat-cepat terbang ke atas. Sementara itu Kiki terbang menuju ke tembok yang mengelilingi halaman dalam. Jack mengintip dari tempat persembunyiannya. Dilihatnya Kiki terbang melintasi tembok, lalu lenyap di belakangnya. "Ke mana lagi dia pergi sekarang?" pikir Jack. ”Padahal aku masih hendak membuat fotonya bersama kedua rajawali itu." Setengah jam kemudian barulah Kiki muncul kembali. Burung kakaktua itu masuk ke halaman dalam, bertengger di pundak Tassie! Rupanya ia tadi mendengar anak—anak datang mendaki bukit, dan terbang menyongsong mereka. Anak-anak masuk ke puri lewat jalan yang biasa, dan kini mencari-cari Jack. Kedua rajawali terbang semakin tinggi, ketika mendengar anak-anak datang menghampiri. Jack berseru dari tempat persembunyiannya. "Aku di sini! Tunggu, aku akan turun sekarang." Jack merangkak ke luar dengan tubuh terbungkus selimut, lalu menuruni tebing. Lucy-Ann memperhatikannya dengan perasaan cemas. Ia merasa lega, ketika nampak bahwa Jack tetap gembira seperti biasa; Ternyata ia memang tidak apa-apa, tinggal seorang diri malam-malam di puri itu. "Kami membawakan makanan untukmu," kata Philip. "Ibu membeli daging asap dan kue buah di desa." "Hmm, sedap!" kata Jack sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan gembira. Baru sekarang ia merasa bahwa perutnya lapar. "Tapi aku cuma sarapan biskuit dengan buah saja, dan minum limun jahe." "Kami juga membawa bekal limun jahe," kata Dinah. "Di mana kita makan kali ini? Di atas menara lagi, atau di mana?" "Di sini saja," kata Jack, "soalnya cahaya pagi ini cocok untuk membuat foto, dan aku masih ingin membuat beberapa foto lagi apabila kedua rajawali itu kembali. Menurut perasaanku, tak lama lagi mereka akan mengajar anak mereka terbang. Tadi pagi induknya hendak mendorongnya keluar dari sarang." "Kiki menyongsong ketika kami sedang berjalan ke sini," kata Tassie. "Jack, kau tadi melihat dan mana Button masuk? Kami meninggalkannya di luar, tapi sekarang tahu-tahu sudah ada di sini." "Tidak, aku tidak melihatnya," kata Jack. "Soalnya, dari dalam semak tak banyak yang bisa kulihat di bawah. Kurasa kita takkan bisa mengetahui lewat mana Button masuk dan keluar dari sini. Mungkin lewat liang kelinci! Bagaimana dia — manis tidak selama aku tidak ada?" "Dia malah nakal," kata Philip. "Entah dengan cara bagaimana, tapi tahu-tahu ia berhasil masuk ke kamar tempat menyimpan makanan dan menghabiskan sosis yang disimpan ibu di situ. Tentu saja ibu marah-marah! Tidak bisa kubayangkan Button masih lapar sekarang. Sosis yang disikatnya, beratnya ada sekitar satu setengah pon." "Dasar rakus," kata Jack. Disodorkannya setengah dari sandwich berisi daging asap bagiannya. "Sebetulnya kau tidak berhak kuberi —tapi karena kau manis, boleh jugalah kau kumanjakan sedikit." ' _ "Sayang baunya agak tidak enak," kata Dinah sambil mengernyitkan hidung. "Kalau ia sudah bertambah besar sedikit lagi, kau takkan bisa memeliharanya lebih lama, Philip — baunya pasti akan semakin dahsyat!" "Kau ini, tahunya cuma itu saja!" tukas Philip. "Mungkin aku akan terus memeliharanya, sampai ia mati sendiri karena terlalu tua!" "Wah, kalau begitu kita semua perlu memakai topeng gas," kata Jack sambil nyengir. "Tolong ambilkan sepotong sandwich lagi, Dinah. Hmm, enaknya roti ini." ' "Bagaimana keadaanmu tadi malam, Jack?" tanya Lucy-Ann. Anak itu duduk merapatkan diri pada abangnya. "Ah, biasa-biasa saja," kata Jack dengan sikap masa bodoh. "Cuma sekali aku terbangun. Sesudah itu lama sekali baru aku bisa tidur lagi." Ia bertekat takkan mengatakan apa-apa tentang kekagetan dan ketakutannya malam itu. Ia menganggapnya konyol sekarang, di tengah alam yang cerah dan dikelilingi anak-anak yang lain. "Kau harus melihat kelinci-kelinci yang berkeliaran di sini kalau hari sudah agak malam, katanya. "Kau pasti senang. Mereka tentu saja tidak mau dekat-dekat padaku. Coba kau yang di sini tadi malam, pasti mereka sudah berloncat-loncatan di atas badanmu! Kelihatannya mereka jinak sekali!" Keempat anak itu menemani Jack sampai sesudah makan sore. Mereka silih berganti masuk ke tempat persembunyian di tebing, untuk melihat kawanan rajawali. Mereka juga naik kembali ke atas menara. Secara diam-diam Jack memandang berkeliling. Ia hendak melihat, barangkali saja ada sesuatu yang lain di situ. Puntung rokok, sobekan kertas — tapi di situ tidak kelihatan apa—apa. "Kau tidak ingin ikut pulang malam ini, Jack?" tanya Lucy-Ann. "Tentu saja tidak," tukas Jack. Padahal dalam hati ia sebetulnya ingin sekali! "Masak aku pulang sekarang, padahal aku yakin anak rajawali itu sebentar lagi pasti akan belajar terbang!" "Baiklah kalau begitu," kata Lucy-Ann sambil mendesah. "Entah kenapa, tapi aku merasa tidak enak meninggalkanmu seorang diri di sini, di puri kuno yang seram ini." "Ini bukan puri seram," kata Jack. "Kalau tua, memang tepat. Tapi tidak seram!" "Tapi aku berperasaan begitu," kata Lucy-Ann berkeras. "Menurut perasaanku, di sini dulu terjadi peristiwa-peristiwa seram dan jahat — dan mungkin itu berulang kembali kemudian." _ “Ah, kau memang konyol," kata Jack, "dan karenanya Tassie ikut-ikutan takut sekarang. Ini kan cuma puri tua yang bertahun-tahun lamanya dilupakan orang. Tak ada penghuninya kecuali kawanan rajawali, kelelawar dan kelinci — dan sekarang ditambah dengan aku." "Sudah waktunya kita pulang sekarang," kata Philip. Ia berdiri. "Kami membawakan selimut selembar lagi untukmu, Jack. Siapa tahu. Kau kedinginan kemarin malam. Kau ikut dengan kami sampai ke jendela?" "Ya, tentu saja," kata Jack. Anak-anak pergi beramai-ramai, masuk ke puri dengan bunyi langkah menggema pada lantai batu. Mereka menuju ke kamar di mana terdapat papan yang terpasang di ambang jendela. Satu per satu mereka menyeberang. Sesampai di seberang, Lucy-Ann berseru pada Jack. "Terima kasih, karena kau ternyata menepati janji untuk melambai kemarin malam," katanya. "O ya, Jack — aku kemudian juga melihatmu menyorotkan senter dari atas menara. Waktu itu aku sudah di tempat tidur, tapi belum tidur. Kulihat senter menyala tiga sampai empat kali. Aku senang melihatnya, karena dengan begitu tahu bahwa kau belum tidur!" "Sudahlah, Lucy-Ann, kita harus cepat pulang,"seru Dinah. "Kau kan mendengar sendiri kata Ibu tadi, malam ini kita tidak boleh terlalu lambat pulang!" "Ya deh, aku datang," kata Lucy-Ann. Ia meluncur turun ke bawah. Anak-anak menyerukan selamat tinggal pada Jack, lalu pergi beramai-ramai. Jack tinggal seorang diri di atas. Ia merasa bingung dan tidak enak. Ternyata kemarin malam memang ada orang di atas menara yang menyalakan senter. Jadi itu bukan mimpi atau khayalannya belaka! "Lucy-Ann juga melihatnya. Jadi ternyata aku tidak keliru mcelihat," kata Jack pada dirinya sendiri, sambil berjalan kembali ke halaman dalam. "Ini sangat misterius! Rupanya bunyi dentang dan air tumpah itu juga benar-benar ada. Di sini ada orang lain. Tapi siapa — dan untuk apa ia di sini'?" Kini Jack menyesal, tidak menceritakan pengalamannya malam sebelumnya pada anak-anak. Apa boleh buat, sekarang sudah terlambat. Mereka sudah pergi semua! Jack ingin sekali ikut pulang bersama mereka. Bagaimana jika nanti ia mendengar bunyi-bunyi itu lagi, dan melihat kilasan cahaya terang? Ia bergidik. Perasaannya tidak bisa dibilang enak saat itu. "Bagaimana jika kususul mereka," pikirnya bimbang. "Ah, tidak. Jangan! Lebih baik aku tetap di sini dan menyelidiki siapa orang tak dikenal itu. Bayangkan, Lucy-Ann ternyata juga melihat cahaya terang itu. Untung ia menceritakannya padaku!" Bab 15 KAMAR TERSEMBUNYI Jack kembali ke tempat persembunyiannya. Ia merasa aman di situ. Menurut perasaannya, pasti takkan ada orang yang akan mencari-cari di tengah semak lebat berduri tajam. Malam itu ia cepat sekali merasa mengantuk. Ia ragu, apakah lebih baik cepat-cepat tidur dan kemudian bergadang? Bisakah ia tidur dalam semak itu? Ia meringkuk berselubung selimut yang paling tebal dan memakai selimut pula sebagai bantal. Kiki ikut masuk, lalu bertengger di atas lutut Jack. Kepala burung itu tertunduk, supaya tidak tertusuk duri. Kawanan burung rajawali tidak kelihatan. Anak mereka meringkuk dalam sarang. Jack saat itu memang tidak berniat membuat foto, karena cahaya tidak cukup terang lagi. Jack tertidur. Ia agak mendengkur, karena letak kepalanya agak kaku. Kiki menirukan bunyi dengkurnya untuk beberapa saat. Tapi karena Jack tidak mengatakan apa-apa padanya, akhirnya ia bosan sendiri lalu tertidur pula. Jack tidur terus sampai tengah malam. Tapi kemudian ia tiba-tiba terbangun dengan perasaan tidak enak. Tanpa menyadari di mana ia sedang berada, anak itu menggeliat dan langsung tertusuk duri. Dengan cepat ditariknya kaki ke atas. "Ah, tentu saja — aku ada di dalam semak," katanya pada diri sendiri. "Lama sekali aku tidur rupanya. Pukul berapa sekarang, ya?" Dilihatnya dari arlojinya bahwa saat itu sudah pukul dua belas lewat sepuluh menit. "Hm," pikirnya, "sudah waktunya orang tak dikenal itu bangun! Jika aku ingin melacaknya, kurasa lebih baik aku pergi dari sini lalu mengintip." Ia menyusup keluar dari semak. Kiki mengomel dengan suara nyaring sampai disuruh diam oleh Jack "Kalau kau berisik terus, kutinggal kau nanti di sini!" ancam Jack sambil berbisik Kiki langsung terdiam. Ia selalu mengerti, jika Jack menyuruhnya diam. Jack sudah berada di luar semak, dan kini menuruni tebing dengan hati-hati sekali. Untung saat itu ada sinar bulan, walau masih tetap remang-remang. Sesampai di tanah ia berdiri sebentar sambil mendengarkan. Tapi tak ada yang terdengar, kecuali hembusan angin yang lumayan kencangnya. Tapi kemudian Jack merasa seperti mendengar bunyi air tumpah lagi — serta dentangan pompa yang digerak-gerakkan! Ia tetap berdiri sambil memasang telinga. Setelah beberapa waktu ia merasa yakin mendengar langkah menyelinap di atas lantai batu. Mungkinkah orang tak dikenal itu sedang berjalan di atas tembok puri — menuju ke atas menara untuk menyorotkan senternya lagi? "Jika ia pergi ke menara, berarti ia tidak ada dalam puri," pikir Jack. "Kalau begitu aku masuk saja sekarang untuk mencari tempat persembunyiannya — misalnya! Atau sesuatu yang bisa kujadikan petunjuk bahwa memang ada orang di sini, Ia pasti harus berada di salah satu tempat. Tapi kalau melihat keadaan kamar-kamar yang ada perabotnya di sini, semua tidak menunjukkan kesan didiami orangi Jadi di mana orang itu bersembunyi? Dan bagaimana dengan makannya? Wah — ini benar-benar misterius!" Jack menyelinap masuk ke dalam puri dengan Kiki bertengger di atas pundak. Jack saat itu sangat bersemangat, sehingga lupa pada rasa takut. Kini ia sudah tahu pasti, ada orang lain di dalam puri itu. Karenanya ia ingin menyelidiki, siapa orang itu. Ia masuk ke serambi yang luas. Sesampai di situ, ia langsung dikagetkan oleh sesuatu. Ada cahaya terang, datang dari suatu arah. Cahaya itu remang-remang, tapi tetap merupakan cahaya. Jack memandang berkeliling dengan bingung. Akhirnya ia melihat dan mana cahaya itu datang. Dari lantai serambi — atau tepatnya, dari bawah lantai! ia menghampiri tempat itu dengan berhati—hati. Ia sampai di tepi sebuah lubang di lantai. Di situ sama sekali tidak ada tingkap. Lubang itu kelihatannya seperti lubang biasa. Tapi Jack tahu pasti, lubang itu tidak ada sebelumnya. Namun cahaya samar itu datang dari dalam lubang itu. Jack memandang ke bawah. Dilihatnya tangga batu. Ia tidak tahu, apa yang ada di bawah. Mungkin gudang, tapi mungkin pula ruangan sel bawah tanah! Dengan cepat Jack lari ke gerbang depan, untuk melihat apakah di menara ada orang. Jika ternyata ada, ia sempat turun ke bawah dan memeriksa di situ. Dilihatnya cahaya terang memancar di atas menara. Bagus! Orang tak dikenal itu memberi isyarat lagi, entah pada siapa. Ada waktu dua sampai tiga menit, sampai orang itu kembali. Jadi ada waktu bagi Jack untuk memeriksa lubang aneh itu. Secepat kilat Jack sudah menuruni tangga batu. Di bawah ia memandang berkeliling dengan heran. Ternyata ia berada dalam sebuah ruangan, yang kelihatannya mirip museum! Ruangan bawah tanah itu luas, dengan permadani tergantung di dinding dan terhampar di lantai. Di sekeliling ruangan berjejer-jejer baju zirah, yaitu pakaian perang prajurit jaman dulu. Ia sudah sering melihat barang-barang begitu di museum. Di sana-sini nampak kursi-kursi tua yang besar-besar. Sebuah meja sempit tapi panjang mengisi tepi ruangan, dengan piring dan gelas di atasnya. Jack memandang berkeliling sambil melongo. Semua benda yang ada di situ nampak sudah kuno. Tapi kelihatan pula bahwa ruangan itu tidak terbengkalai seperti kamar-kamar berperabot yang ada di atas. Di situ sama sekali tidak ada sarang labah-labah atau debu. Di pojok ruangan terdapat sebuah tempat tidur kuno yang besar, dengan empat buah tiang yang tegak di tiap sudut. Tempat tidur itu diselubungi kelambu tebal berenda-renda. Jack datang menghampirinya. Kelihatannya bahwa tempat tidur itu bekas dibaringi, karena pada bantal nampak lekukan. Seperti tersingkap, seperti ada yang bangun dengan terburu-buru. Di atas meja terdapat sebuah kendi berisi air dingin. "Pasti diambil dari pompa!" pikir Jack "Karena itulah di lantai selalu nampak air tergenang. Rupanya ada orang yang setiap malam mengambil air ke sana." Kiki terbang ke seperangkat baju zirah. Burung iseng itu bertengger di atas ketopong sambil memandang ke arah dalam, seolah-olah mengira ada orang di situ. Jack terkikik pelan. Rupanya Kiki menyangka baju zirah itu manusia sungguhan. Nampak burung itu bingung. Saat itu Jack merasa seperti mendengar sesuatu. Ia ketakutan, lalu melesat ke atas sambil membawa Kiki. la meloncat ke luar, lalu bersembunyi dalam kegelapan serambi Tapi di situ pun ia masih merasa takut. Jangan-jangan orang yang tadi terdengar langkahnya akan bisa melihat dirinya diterangi cahaya senter yang dibawanya. Karena itu ia lantas cepat-cepat masuk ke kamar duduk. Tapi ketika ia bergegas masuk, kakinya menyandung bangku sehingga jatuh ke lantai. Langkah yang terdengar di luar berhenti dengan tiba-tiba. Rupanya orang itu berhenti berjalan, lalu memasang telinga. Ia mendengar suara bangku jatuh yang disenggol oleh Jack. Dengan hati berdebar keras, Jack bersembunyi di balik pojok sofa tua. Ia berlutut di situ, dengan Kiki di pundaknya. Keduanya bersembunyi dengan diam-diam. Tapi Jack merasa orang tak dikenal itu pasti bisa mendengar degupan jantungnya saat itu! Terdengar langkah seseorang memasuki ruangan dengan hati-hati. Kemudian sunyi lagi. Lalu terdengar lagi orang itu melangkah. Kali ini sudah lebih dekat ke tempatnya bersembunyi. Bulu tengkuk Jack berdiri karena seram. Jika orang itu sampai mengitari sofa lalu menyalakan senter, ia pasti akan melihat Jack. Kening anak itu sudah basah kuyup berkeringat dingin. Kiki mencengkeram pundak Jack kuat-kuat. Rupanya ia merasakan bahwa Jack sedang ketakutan. Kiki tidak tahan lagi! Tahu-tahu ia terbang, menyambar kepala orang yang tak nampak itu sambil meneriakkan jeritan rajawali. Orang tak dikenal itu berseru karena kaget. Tangannya mengibas kian kemari, berusaha menangkis burung yang datang menyerang. Senternya terbanting ke lantai. Dalam hati Jack berdoa, mudah-mudahan saja pecah! Kiki menjerit sekali lagi, kini menirukan bunyi kereta api cepat. Orang tak dikenal itu mengibaskan tangan ke arahnya. Tersambar olehnya bulu Kiki selembar, lalu disentakkannya sehingga tercabut. Sementara itu Kiki sudah bertengger lagi di atas kepala Jack yang masih bersembunyi. Kiki menggeram-geram, seperti anjing galak. "Ampun, tempat ini penuh dengan burung dan anjing!" kata seseorang dengan suara berat dan serak. Kedengarannya seperti jengkel. Terdengar bunyi menggerapai-gerapai di lantai. Rupanya orang itu mencari-cari senternya yang jatuh. Dan Akhirnya ketemu. "Pecah!" gerutu orang itu. Jack mendengar bunyi tombol digeser-geserkan beberapa kali. "Mestinya salah satu rajawali itu masuk ke sini. Tapi mau apa ia di sini?" Sambil menggerutu, orang itu keluar. Jack mendengar bunyi aneh, seperti barang berat digeser. Setelah itu sunyi. Lama sekali Jack tetap meringkuk di belakang sofa. Sedang Kiki sudah terlelap di atas pundak anak itu. Akhirnya ia memberanikan diri. Ia bangkit, lalu berjingkat-jingkat menuju pintu. Untung ia memakai sepatu beralas karet. Jack mengintip ke luar. Dari bawah lantai serambi tidak kelihatan lagi cahaya memancar ke atas. Serambi sudah gelap dan sunyi kembali. Jack memandang ke arah yang menurut dugaannya merupakan tempat lubang tadi. Lubang menuju ruangan tersembunyi, yang mirip museum dengan berbagai benda kuno yang ada di dalamnya. Mungkin itulah ruangan di mana laki-laki jahat itu dulu menyembunyikan tamu-tamunya dan membiarkan mereka mati kelaparan di situ! Jack merasa seram membayangkannya. Tanpa berusaha melihat apa yang terjadi dengan lubang aneh tadi, ia cepat-cepat lari ke halaman lalu naik ke semak tempat persembunyiannya. Di situ ia merasa aman. Jack merangkak masuk, disertai omelan dan keluhan Kiki. Sesampai di dalam, ia berusaha tidur lagi. Tapi sia-sia. Pikirannya penuh dengan ingatan pada kamar aneh tadi. Berulang kali ia bergidik, setiap teringat bahwa ia nyaris saja tertangkap. Untung ada Kiki. Kalau tidak — Jack menyayangkan, kenapa anak-anak yang lain tidak ada bersamanya saat itu. Ia ingin sekali menceritakan pengalamannya pada mereka. Tapi yah —- besok kan mereka datang lagi. Ia harus menunggu dengan sabar. Kecil sekali kemungkinannya orang yang bersembunyi itu akan muncul pada siang hari. Karena alasan tertentu, orang itu harus bersembunyi terus. Jadi tentu ia takkan muncul pada siang hari, dengan risiko tempat persembunyiannya diketahui orang lain. "Tapi bagaimana caranya ia mendapat makanan'?" pikir Jack Kalau soal air gampang. Ia bisa mengambilnya dari sumur pompa. Tapi makanan? Yah — mungkin untuk itulah ia memberi isyarat dari atas menara. ia memberi isyarat dengan senter pada kawan, atau kawan-kawannya. Kalau begitu, ada kemungkinan akan datang orang-orang ke puri. Tapi lewat mana mereka masuk? "Kurasa ini suatu petualangan baru," kata Jack dengan tiba-tiba. Seluruh tubuhnya terasa seperti dirayapi perasaan aneh. Merinding! "Ya, betul. Perasaan begini pernah kualami tahun lalu — ketika kita beramai-ramai berlayar menuju Pulau Suram, di mana kemudian terjadi berbagai peristiwa tegang. Wah, apa kata anak-anak nanti, jika kukatakan bahwa kita kembali menemukan petualangan hebat. Petualangan dalam puri rajawali!" Akhirnya Jack tertidur juga, setelah dua jam sibuk berpikir dan berangan-angan. Tahu-tahu ia terbangun, karena sinar matahari menggelitik tubuhnya. Jack merasa lega, karena siang sudah tiba. Ia teringat pada kejadian malam sebelumnya. Ia mulai sangsi, jangan-jangan ruangan mirip museum itu hanya ada dalam mimpinya saja. "Ah, tak mungkin ruangan seperti itu bisa kumimpikan," pikir Jack. Digelitiknya Kiki, supaya terbangun. Kemudian ia merangkak keluar dari semak, lalu sarapan biskuit dengan buah plum yang dibawakan anak-anak kemarin. Sambil mengunyah ia memandang puri. Siapakah orang yang bersembunyi di situ? Tiba—tiba tubuhnya kejang. Matanya nanar, menatap dua orang laki-laki yang kelihatan berjalan di halaman dalam puri. Mereka menuju ke puri. Dari mana tadi masuk? Pasti ada jalan masuk ke situ — atau mungkin orang-orang itu memiliki anak kunci untuk membuka pintu besar? Kedua orang itu masuk ke dalam puri. Rupanya mereka tidak takut dilihat orang — tidak seperti orang yang bersembunyi di bawah tanah, "Apakah teman mereka akan bercerita bahwa tadi malam ada orang di sini?" Jack sudah ketakutan saja. Jangan-jangan mereka nanti mencari dirinya! Bab 16 BERBAGAI KEJADIAN Jack bergegas menyusup kembali ke dalam semak, tanpa membungkus tubuh lebih dulu dengan selimut. Sebagai akibatnya habis kulitnya tergores duri. Ketika sudah di dalam barulah ia teringat. Ia meninggalkan beberapa kantong kertas di halaman dalam, dengan sisa-sisa apel makanannya bersama anak-anak. "Aduh!" keluhnya dalam hati. "Kalau bungkusan itu mereka temukan, pasti mereka akan tahu bahwa ada orang lain di tempat ini!" Ia menunggu selama kurang lebih satu jam di dalam semak, sambil sekali-sekali mengintip ke arah sarang rajawali. Ia tidak tahu apakah sebaiknya ia mengharapkan agar anak-anak lekas datang supaya ia tidak sendirian lagi, atau mengharapkan semoga mereka agak lambat datang, supaya kedua laki-laki itu sudah pergi lagi apabila mereka muncul. "Jika mereka memilih tempat ini sebagai persembunyian yang aman untuk seseorang, pasti mereka takkan senang apabila mengetahui bahwa kami ada di sini," pikir Jack dengan perasaan tidak enak. "Aku mulai merasa sebetulnya kita jangan datang ke sini. Mungkin puri ini masih ada pemiliknya — mungkin pula kedua orang tadi!" Ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Ia mengintip dari sela-sela dahan berduri, untuk melihat siapa yang berbicara itu. Ternyata kedua laki-laki tadi. Teman mereka yang bersembunyi, rupa-rupanya tidak berani muncul dari persembunyiannya. Jack memandang mereka dengan diam-diam. Keduanya bertubuh tinggi besar. Seorang di antaranya berjanggut hitam lebat. Tampang mereka tidak enak dilihat. Jack berusaha menangkap pembicaraan mereka ketika kedua orang itu mendekat. Tapi mereka berbicara dalam suatu bahasa yang tak dikenalnya. Tiba-tiba kedua orang itu berhenti. Sambil berseru kaget, laki-laki yang berjanggut membungkuk lalu memungut — kantong kertas yang ditinggalkan Jack di halaman situ. Orang itu melihat sisa-sisa apel yang ada di dalamnya, lalu ditunjukkannya pada temannya. Sisa-sisa apel itu masih agak segar kelihatannya. Jack langsung menduga, kedua laki-laki itu pasti tahu bahwa kantong itu belum lama tercecer di situ! Jack semakin meringkuk dalam semak. Ia mengucap syukur bahwa semak itu lebat. Kedua laki-laki yang di bawah memencar. Mereka mulai memeriksa seluruh puri dengan seksama. Bangunan utama, menara-menara tembok pertahanan serta halaman dalam — semua mereka teliti. Sementara itu Jack mengintip mereka dari dalam semak. Kiki bungkam dalam seribu bahasa. Kedua laki-laki itu bergabung lagi, lalu menghampiri tebing tempat rajawali bersarang. Kelihatan jelas bahwa mereka bermaksud hendak mendaki tebing dan memeriksa tempat itu pula. Jack tidak berani bergerak sedikit pun, seperti seekor tikus yang ketakutan karena ada burung hantu di dekatnya. Hatinya berdebar keras. Sampai terasa sakit! Kedua laki-laki itu berseru kaget, ketika melihat di situ ada sarang dengan seekor anak rajawali di dalamnya. Rupa-rupanya mereka tidak mengenal watak rajawali. Mereka menghampiri sarang itu sampai dekat sekali. Salah seorang dari mereka bahkan mengulurkan tangan, hendak menjamah. Saat itu terdengar deru bunyi sayap mengepak. Rajawali yang betina menghunjam turun dari langit tinggi, lurus mengarah ke kepala orang yang mengulurkan tangannya. Orang yang diserang melindungi kepalanya dengan lengan yang terangkat ke atas, sementara temannya memukul-mukul untuk menghalau burung besar yang marah itu. Sementara itu burung yang jantan ikut menghunjam ke bawah. Jack melihat kejadian ini dengan jelas. Tiba-tiba ia mendapat akal bagus. Muka orang yang diserang nampak jelas sekali. Orang itu masih mendongak, memandang ke arah burung jantan. Seluruh mukanya kelihatan, sampai ke leher. Jack menekan tombol kameranya. Klik! Ia sudah mengambil foto laki-laki itu. Tapi sayang tepat pada saat itu orang yang satu lagi sedang menoleh, sehingga mukanya tertutup. Kedua orang itu mendengar bunyi kamera. Mereka kelihatannya tercengang. Tapi mereka lantas bergegas turun dari tebing, karena pada saat itu burung rajawali betina datang lagi untuk menyerang. Kedua laki-laki itu lari ke halaman. Mereka tidak bermaksud memeriksa tebing lebih lanjut. Keduanya sependapat, takkan mungkin ada orang bersembunyi di tempat di mana terdapat sarang burung segalak itu! Jack menunggu terus dalam semak. Ia memperhatikan kawanan rajawali yang gelisah sekali karena kedatangan kedua laki-laki tadi. Jack lantas menduga bahwa kedua burung dewasa itu bermaksud mengajak anak mereka meninggalkan sarang. Mereka hendak mengajarinya terbang, karena merasa tidak aman ditinggal di sarang lagi. Siapa tahu kedua makhluk berkaki dua tadi naik sampai ke sarang! Jack melupakan rasa takutnya, karena perhatiannya terpikat pada usaha kedua rajawali dewasa itu untuk mengajar anak mereka terbang. Mereka mendesak-desak anak mereka sampai ke pinggir sarang, lalu mendorongnya ke tepi tebing tempat sarang itu. Burung yang masih muda itu berusaha hendak masuk kembali ke sarang. Tapi induknya terbang mengitari sambil menjerit-jerit. Seakan-akan mengatakan dalam bahasa rajawali bahwa ia harus ikut terbang. Anak rajawali kelihatan seakan-akan mendengarkan. Tapi kemudian memalingkan kepala. Bosan diomeli rupanya! Namun tahu-tahu ia melebarkan sayap. Lebar sekali bentangannya. Jack memotret beruntun-runtun, termasuk adegan anak burung itu mencoba sayapnya. Ia mengepak-ngepakkan sayap dengan begitu bersemangat, sehingga kakinya nyaris tidak menyentuh tepi tebing lagi. Kemudian dengan gaya yang indah, anak burung itu membubung ke atas. Kedua induk dan bapaknya mendampingi sambil menjerit-jerit. Anak burung itu sudah bisa terbang! "Hebat!" kata Jack. Diambilnya gulungan film yang sudah terisi penuh dari kameranya. "Mereka kembali atau tidak, ya? Tapi sebenarnya itu tidak menjadi persoalan, karena aku sudah berhasil membuat foto yang indah-indah. Lebih baik dari foto siapa pun juga!" Ketika ia sedang memasang gulungan Film baru, didengarnya suara anak-anak datang. Ia senang karenanya — tapi di mana kedua laki-laki tadi? Jack merayap keluar dari semak. Tusukan duri nyaris tak dirasakannya lagi. Ia turun dari tebing, lalu menggabungkan diri dengan anak-anak yang datang. Dari air mukanya mereka melihat bahwa ia hendak menceritakan sesuatu. Lucy-Ann bergegas menyongsongnya. ”Apakah yang terjadi, Jack? Tampangmu begitu serius kelihatannya! Bayangkan — kami datang dengan bermacam-macam bekal. Soalnya, kami diizinkan berkemah di sini selama beberapa hari! Bu Mannering hendak berkunjung ke Bibi Polly. Tapi dalam beberapa hari lagi pasti sudah kembali." Bibi Polly itu saudara Bu Mannering. Ia jatuh sakit, dan karena itu Bu Mannering hendak menjenguknya. "Lalu ibuku mengatakan, jika kami mau, kami boleh ikut ke sini selama itu," kata Dinah. "Tapi kau kelihatannya tidak begitu senang mendengarnya, Jack!" "Begini soalnya," kata Jack. "Di sini ada sesuatu yang aneh. Sungguh-sungguh aneh! Aku tidak tahu, tapi mungkin lebih baik kalian tidak datang saja. Aku sudah membuat semua foto yang kuinginkan dari kawanan rajawali. Dan aku sungguh-sungguh beranggapan, lebih baik jika kita semua pulang saja." "Pulang ke Pondok Musim Bunga? Kenapa?"tanya Philip heran. "Ayo cepat — ceritakan segala-galanya, Jack!" "Baiklah! Tapi mana Tassie?" tanya Jack, sambil memandang berkeliling. "Ia tidak diizinkan ibunya ikut," kata Lucy-Ann. "Ketika Tassie menceritakan bahwa kita semua akan ikut menginap di sini bersamamu, ibunya langsung panik. la sama saja seperti orang-orang desa sini — merasa ada sesuatu yang buruk dan menyeramkan di tempat ini. Ia benar-benar tidak mengizinkan Tassie ikut. Jadi terpaksa kami tinggal." "Tassie marah sekali pada ibunya," kata Philip. "Wah, caranya mengamuk, lebih gila lagi daripada Dinah. ibunya dilabrak olehnya Tapi ibunya tidak kalah galak. Tassie diguncang-guncangnya dengan keras. Yah — pokoknya Tassie tidak bisa ikut sekarang. Tapi — teruskan ceritamu tadi." "Kalian — kalian tadi tidak berjumpa siapa-siapa sewaktu datang ke sini?" tanya Jack. Mungkin kedua laki-laki tadi sudah pergi, pikirnya. "Kami melihat .0rang-orang di kejauhan — kelihatannya seperti mereka bertiga," kata Philip. "Kenapa kau bertanya?" "Kayak apa tampang mereka? Ada yang berjanggut hitam?" tanya Jack lagi. "Mereka tadi terlalu jauh dari kami, jadi kami tidak bisa melihat kayak apa tampang mereka itu. Mereka melewati jalan lain," kata Philip. "Mungkin saja mereka itu penggembala biri-biri. Setidak-tidaknya, begitulah menurut perkiraan kami." "Mereka bertiga," kata Jack sambil merenung. "Kalau begitu laki-laki yang bersembunyi juga ikut." "Apa lagi yang kaugumamkan sekarang?" seru Dinah dengan perasaan tidak sabar. Jack menceritakan pengalamannya, sementara anak-anak yang lain mendengarkan sambil melongo. Ketika ia sampai pada pemaparan tentang ruangan tersembunyi di bawah tanah, mata Lucy-Ann melotot begitu besar, sehingga kelihatannya nyaris jatuh dari rongganya! "Ruangan bawah tanah — dan ada orang tinggal di situ! Wah! Aku tahu apa yang akan dikatakan Tassie jika ia mendengarnya. Pasti ia mengatakan, itu pasti laki-laki jahat itu," kata Lucy-Ann. "Dia tentu mengatakan, laki-laki itu terang akan berusaha menangkap dan menawan kita, sehingga kita lenyap untuk selama-lamanya!" "Ah, mana mungkin," kata Jack. "Tapi yang jelas, ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan kita harus menyelidiki apa itu. Coba Bill Smugs ada di sini — pasti ia tahu apa yang harus dilakukan sekarang." "Alamatnya saja kita tidak tahu," kata Philip. "Kita cuma mengetahui bahwa ia ada di kota tempat kita berbelanja waktu itu. Dan ibu sekarang juga sedang tidak ada! Jadi kita tidak bisa meminta nasihat padanya." "Yah — apakah dia ada atau tidak, tapi jelas bahwa kita harus kembali ke Pondok Musim Bunga," kata Jack. "Kita kan sudah pernah berurusan dengan orang-orang berbahaya, dan kita tahu bahwa itu tidak menyenangkan! Aku tidak ingin terlibat dalam urusan yang berbahaya, sementara kita juga harus menjaga adik-adik kita. Jadi sebaiknya kita pulang saja semua." "Betul," kata Philip. "Aku sependapat denganmu. Tapi karena menurut pendapatmu tadi ketiga orang itu sudah pergi dari sini, bagaimana jika kita memeriksa kamar tersembunyi itu sebentar, hm? Siapa tahu, mungkin kita menemukan sesuatu di situ yang bisa dijadikan pegangan untuk mengetahui siapa yang tinggal dalam ruangan itu. Dan kenapa ia ada di situ." "Baiklah," kata Jack. "Yuk, kita ke sana. Kau juga ikut Kiki. Mana Button, Philip?" "Tadi kutinggal bersama Tassie — supaya ada yang menghibur anak itu selama kita tidak ada," kata Philip. "Kasihan, Tassie sedih sekali ditinggal. Ah, sebentar lagi dia akan pasti gembira melihat kita kembali." Mereka masuk ke serambi yang luas. Jack dan Philip menyalakan senter mereka. Mereka merasa pasti bahwa hanya mereka sendiri yang ada di puri saat itu, sehingga tidak merasa perlu berhati-hati. Mereka berbicara dan tertawa-tawa seperti biasanya. Jack mendului berjalan ke bagian belakang serambi. Sesampai di situ ia memandang ke lantai. Tapi lubang yang pernah dilihatnya di situ, kini sudah tidak ada lagi. Lenyap! Anak-anak memeriksa lantai, barangkali ada tingkap. Tapi itu pun tidak ada. Philip mulai sangsi Jangan-jangan kesemuanya hanya ada dalam impian Jack saja. Tapi Philip bermata tajam. Tiba-tiba ia melihat pasak besi terpasang pada dinding belakang serambi itu. Pasak itu licin mengkilat, seperti sering dipegang. "Ini — ada sesuatu yang aneh!" kata Philip, lalu menarik pasak itu kuat-kuat. Pasak itu bergerak dalam semacam alur. Dan tiba-tiba terdengar bunyi gemeretak di lantai, dekat sekali ke kaki Lucy-Ann. Anak itu meloncat mundur, sambil berteriak kaget. Ternyata lantai di depannya terbuka sebagian! Sekeping batu besar bergerak ke arah bawah dan kemudian ke samping. Kini nampak undak-undakan batu, menuju ke ruangan tersembunyi yang dilihat Jack malam sebelumnya. Napas anak-anak tersentak karena kagum. "Aku teringat pada kisah Ali Baba atau AIadin," kata Dinah. "Yuk, kita turun, ya? Ini benar-benar asyik!” Sebuah lampu minyak menyala di atas meja panjang yang terdapat di bawah. Diterangi lampu itu anak-anak meneliti isi ruangan. Philip, Lucy-Ann dan Dinah bergegas menuruni tangga batu. Mereka mengamat-amati permadani dinding yang berhiaskan pemandangan perburuan. Mereka juga melihat deretan baju zirah yang mengelilingi ruangan. Begitu pula kursi-kursi besar dan berat, yang kelihatannya untuk tempat duduk raksasa. "Mana Jack?" tanya Philip. "Mungkin mencari kata Dinah. "He, Philip — lihatlah, itu ada lagi pasak di dinding, kayak yang di atas tadi. Apakah yang terjadi jika ditarik?" Dinah menarik pasak itu. Dengan disertai bunyi gemeretak lagi, batu besar yang tadi kembali lagi ke tempat semula. Ketiga anak itu terkurung di bawah tanah! Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 17 KETAHUAN Mereka seperti terpukau memandang batu besar itu tergeser kembali ke tempatnya. Tapi tiba-tiba Philip merasa gelisah. "Minggir, Dinah!" katanya. "Coba kugerakkan pasak itu. Mudah-mudahan saja bisa!" Philip menarik-narik pasak itu. Tapi sedikit pun tidak bergerak. Kini didorong. Ditekan. Tapi semuanya percuma! "Rupanya ini gunanya untuk menutup lubang, bukan untuk membuka," kata Philip. Ia memandang berkeliling, mencari-cari kalau ada pasak atau tuas lain di dekat situ. Pokoknya apa saja yang kelihatannya merupakan alat pembuka lubang. Tapi ia tidak melihat apa-apa di situ. "Tapi harus ada," katanya, "karena kalau tidak, mana mungkin Orang yang bersembunyi di sini bisa keluar malam-malam. Jadi tentunya ada alat pembuka lubang di sinil." Dinah dan Lucy-Ann ketakutan. Perasaan mereka tidak enak, terkurung dalam ruangan bawah tanah seperti itu. Lucy-Ann merasa seakan-akan baju-baju zirah itu memandangnya, senang melihat dia ketakutan. Lucy-Ann merasa seram melihat benda-benda kuno itu. "Jack kan sebentar lagi pasti muncul di atas, Philip," kata Dinah. "Begitu ia melihat lubang di atas tertutup, ia pasti akan menarik pasak itu lagi. Kita tidak perlu khawatir." "Ya, betul juga," kata Philip. Ia agak lega. "Tapi, kau memang konyol, Dinah! Itulah, jangan suka mengutik-utik, kalau belum tahu apa gunanya." "Ah — kau sendiri pun begitu juga," Balas Dinah. "Ya deh, ya deh," kata Philip mengalah, lalu memandang berkeliling lagi. Ia merasa tertarik pada baju zirah yang berjejer-jejer itu. Ia kepingin sekali mencoba sebentar. Saat itu juga timbul pikiran isengnya. "He, aku tahu akal!" katanya. "Akan kupakai salah satu baju zirah ini, lalu bersembunyi. Nanti kalau Jack turun setelah lubang dibuka, kalian jangan bilang padanya aku pergi ke mana! Lalu aku tiba-tiba datang dalam pakaian zirah. Pasti Jack akan takut setengah mati, kalau tiba-tiba melihat baju besi ini bisa bergerak, menghampirinya dengan bunyi berdencing-dencing!" , Dinah tertawa, begitu pula Lucy-Ann. "Ya — tapi cepatlah sedikit," kata Lucy-Ann. "Kau tahu cara memakainya?" "Ya, aku pernah mencobanya di sekolah, ketika diadakan pameran di sana," kata Philip. "Sebetulnya gampang, asal tahu caranya. Tapi aku memerlukan bantuan kalian." Tidak lama setelah itu Philip sudah berbaju zirah. Kepalanya tersembunyi dalam ketopong. Ia bisa melihat dengan jelas lewat pelindung mata, tapi dari luar tidak bisa dilihat bahwa dalam baju zirah itu ada orang. Philip melangkah dengan bunyi berdencing-dencing, kembali ke tempat pakaian logam itu tadi terpasang. Dinah dan Lucy-Ann tertawa cekikikan. "Pasti Jack kaget setengah mati nanti! Kenapa dia tidak muncul-muncul juga," kata Lucy-Ann. "Bagaimana rasanya, Philip?" tanya Dinah, sambil memandang abangnya yang berselubung baju zirah, dan kini berdiri tanpa bergerak sedikit pun di antara deretan pakaian perang lain-lainnya. "Yah, lumayanlah," kata Philip. "Tapi aku takkan mau disuruh berperang dengan baju zirah. Berjalan beberapa langkah saja sudah kepayahan rasanya! Aku heran, bagaimana para prajurit jaman dulu bahkan bisa bertempur dengannya" Setelah itu Dinah dan Lucy-Ann melihat-lihat isi ruangan itu lagi. Mereka memperhatikan gambar-gambar pemandangan yang menghias permadani. Mereka duduk—duduk di kursi kuno, meraba-raba senjata jaman dulu yang juga terpajang di situ. "Apa sih, yang sedang dikerjakan Jack?" tanya Lucy-Ann pada akhirnya. Ia mulai cemas. "Lama . sekali, belum datang-datang juga. Aduh, Dinah! Jangan-jangan orang-orang itu sudah kembali, dan kini Jack jatuh ke tangan mereka!" "Ah, mana mungkin," jawab Dinah. Padahal dalam hati ia juga mulai merasa gelisah. "Tapi kemana dia? Tadi dia kan cuma hendak memanggil Kiki! Tinggal menunggu burung itu datang, lalu menyusul kita ke sini." Tiba-tiba terdengar suara Philip., Bunyinya menggaung, karena ia berbicara di dalam ketopong. "Kurasa orang-orang yang kita lihat tadi bukan dari sini datangnya," katanya. "Setelah kupikir, tak mungkin mereka!" "Apa maksudmu?" seru Dinah dan Lucy-Ann. Keduanya memandang ketopong yang menutupi kepala Philip. Mereka semakin cemas. "Coba ingat yang baik, di mana kita melihat mereka," kata Philip. "Kan jauh ke sebelah bawah, sedikit di atas pertanian. Ya kan? Nah, kita tahu dari sana tidak ada jalan menuju ke puri ini. Kalau kupikir benar-benar, aku yakin mereka itu orang pertanian. Satu di antaranya pernah kita lihat di sana, kalau kita hendak membeli telur. Maksudku yang jangkung sekali." Dinah dan Lucy-Ann mengingat-ingat. Ya — mereka melihat ketiga orang tadi memang tidak jauh dari pertanian. "Kurasa kau benar, Philip," kata Lucy-Ann. Ia ketakutan. "Lagi pula, kalau mereka tidak ingin ketahuan orang lain, kan konyol jika mereka berjalan lewat dekat pertanian itu! Anjing-anjing di sana pasta menggonggong, lalu petani keluar untuk memeriksa." "Ya! Dan anjing-anjing itu tidak menggonggong, karena kita tidak mendengarnya," kata Philip. "Jadi itu bukti mereka memang orang dari pertanian. Aduh - kalau begitu orang-orang yang dimaksudkan oleh Jack mungkin masih ada di sekitar sini." "Kenapa Jack belum datang," kata Dinah. "Sedang apa dia sekarang?" , Jack memang lama sekali pergi. Tapi itu bukan kemauannya sendiri. Sewaktu anak-anak yang bertiga turun ke ruangan bawah tanah, ia pergi menyusul Kiki. Burung iseng itu terbang memasuki kamar di mana ia bersembunyi dengan Jack malam sebelumnya. Ketika Jack masuk ke kamar itu, dari jendela tiba-tiba ia melihat ketiga orang yang kemarin sedang berdiri di sudut halaman dalam. "Astaga!" pikir Jack. "Ternyata Philip keliru. Orang-orang yang dilihatnya, bukan mereka yang dari sini. Rupanya pekerja pertanian, yang mungkin hendak memeriksa biri-biri atau melakukan tugas lainnya. Wah! Mudah-mudahan saja orang-orang itu tidak lekas kembali ke ruangan bawah tanah!" Jack melesat kembali ke serambi, mendatangi tempat di mana seharusnya ada lubang di lantai. Tapi lubang itu tidak kelihatan, sudah tertutup batu besar kembali. Jack kaget. Ia tidak tahu bahwa Dinah menarik pasak yang ada di bawah, sehingga lubang tertutup lagi. Sesaat Jack bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah membuka lubang, untuk memeriksa apakah anak-anak masih ada di bawah? Tapi jika itu dilakukan, jangan-jangan tepat pada saat itu ketiga orang tadi masuk ke serambi! Jack bisa mendengar suara mereka mendekat. Jack bergegas kembali ke kamar duduk Karena tergopoh-gopoh ia menyenggol sebuah kursi. Debu langsung berhamburan. Ia lari ke sebuah jendela lebar, lalu menyembunyikan diri di balik gorden panjang di situ. Ia tidak berani menyentuhnya, karena pasti akan langsung hancur menjadi debu jika tersentuh sedikit saja. Ketiga orang yang di luar rupanya masih tetap mempersoalkan kantong yang berisi sisa-sisa apel. Terasa jelas bahwa mereka tahu ada orang lain di situ kecuali mereka. Jack kaget sekali ketika melihat bahwa orang-orang itu juga sudah menemukan barang-barang bekal yang dibawa anak-anak tadi! Barang-barang itu dibawa, lalu diletakkan di ambang pintu puri. Mereka meneliti dengan cermat sekali. Jack berhasil menangkap satu dua patah kata. Tapi ia tidak memahaminya. "Kita harus cepat-cepat pergi dari sini, begitu keadaan mengizinkan," kata Jack dalam hati. "Kalau tidak, bisa gawat nanti. Coba Dinah dan Lucy-Ann tidak ada lagi di sini! Aku harus berusaha menyelundupkan keduanya ke kamar yang ada jembatan papannya!" Ketiga laki-laki yang berdiri di ambang pintu, kini memecah. Dua masuk ke puri. Rupanya hendak mencari dengan teliti di dalam. Sedang yang ketiga tetap berdiri di ambang gerbang sambil merokok. Kelihatannya ia bertugas menjaga halaman dalam. Jack tidak bisa membuka batu yang menutup jalan masuk ke ruangan tersembunyi. Kalau ia mencobanya juga, laki-laki yang menjaga di ambang gerbang pasti akan melihatnya. Jadi Jack terpaksa bersabar, menunggu perkembangan selanjutnya. Ia berdiri di belakang gorden, sambil memasang telinga. Disayangkannya bahwa Bill Smugs tidak ada di situ. Bill selalu tahu apa yang harus dilakukan pada saat-saat gawat Tapi itu tidak aneh, karena Bill Smugs kan sudah dewasa! Laki-laki yang berdiri di ambang gerbang sudah habis rokoknya. Tapi puntung yang pendek tidak dilemparkannya sembarangan ke halaman. Tidak! Puntung itu dipadamkannya dengan saksama pada permukaan mata uang yang diambilnya dari kantong. Setelah itu dimasukkan ke dalam sebuah kotak kaleng kecil. Rupanya ia tidak mau meninggalkan bekas-bekas yang bisa dijadikan petunjuk bahwa ia ada dalam puri. Setelah itu ia berpaling dan masuk ke serambi. Jack menahan napas. Didengarnya langkah orang itu menggema. Mungkinkah hendak kembali ke kamar tersembunyi? Ternyata memang begitu! Laki-laki itu pergi ke bagian belakang serambi. Sesampai di situ ia meraba-raba dinding. Jack menduga, orang itu pasti mencari-cari pasak. Ia lantas menyelinap ke balik pintu kamar, lalu mengintip ke luar lewat celah daun pintu. Dari situ ia bisa melihat apa yang sedang terjadi. Laki-laki tadi menarik pasak. Batu besar di lantai tergeser dengan bunyi gemeretak. Jantung Jack seakan-akan berhenti berdenyut. Apakah yang terjadi sekarang? Apa kata orang itu, apabila ia melihat ada tiga orang anak dalam ruangan bawah tanah? Dinah dan Lucy-Ann juga mendengar bunyi batu besar tergeser. Mereka mendongak Sedang Philip mengintip dari dalam ketopong, dengan harapan bahwa yang datang itu mudah-mudahan Jack. Ketiga anak itu kaget setengah mati — karena yang berdiri di ujung atas tangga bukan Jack, tapi seorang laki-laki yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dan orang itu menatap mereka dengan heran bercampur marah! Orang itu tentu saja hanya melihat Dinah dan Lucy-Ann. Kedua anak perempuan itu memandang dengan tubuh gemetar. Mereka melihat tampang seseorang yang tidak menyenangkan. Berhidung besar, mata terpicing dan bibir yang sangat tipis. Alisnya tebal dan panjang, setengah menutupi mata. "Nah!" tukas orang itu. Matanya semakin dipicingkan. "Nah! Kalian datang ke sini, lalu memasuki kamarku! Mau apa kalian?" Lucy-Ann mulai terisak-isak karena takut. Jack sudah kepingin saja mendorong orang itu supaya jatuh dan patah lehernya. "Orang jahat, menakut-nakuti Lucy-Ann!" pikirnya dengan marah. Ia kepingin sekali berani muncul, untuk menenangkan adiknya. Kemudian terdengar langkah orang datang. Laki—laki yang dua lagi kembali. Teman mereka juga mendengar langkah mereka, lalu memanggil dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Jack. Tapi jelas bahwa orang itu memanggil teman-temannya. Philip, yang masih bersembunyi dalam baju zirah, memakai kesempatan itu untuk membisikkan petunjuk-petunjuk pada Dinah dan Lucy-Ann. "Jangan takut! Mereka pasti mengira kalian berdua cuma iseng, datang ke puri ini untuk melihat-lihat. Bilang saja begitu pada mereka! Tapi jangan bilang apa-apa tentang aku atau Jack. Sebab kalau sampai ketahuan, nanti kami tidak bisa menolong kalian! Jack kan masih ada di atas. Dia pasti mencari kalian, lalu menolong kalian lari dari sini. Aku sendiri akan tinggal di sini terus, sampai ada kesempatan minggat. Mereka kan tidak tahu bahwa aku bersembunyi di sini." Philip tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, karena saat itu ketiga laki-laki tak dikenal itu menuruni tangga dan masuk ke kamar tersembunyi. Satu di antaranya berjanggut hitam lebat. Temannya tercukur licin dagunya. Tapi laki-iaki yang mula-mula dilihat oleh Dinah dan Lucy-Ann. dialah yang paling jelek tampangnya di antara ketiga orang berparas buruk itu. Lucy-Ann sudah mulai menangis lagi. Dinah memang juga sangat ketakutan, tapi biar bagaimana ia sudah bertekat tidak akan menangis. "Mau apa kalian kemari?" tanya laki-laki yang beralis gondrong. "Ayo cepat mengaku — kalau tidak mau menyesal nanti!" Bab 18 TERKURUNG DALAM PUR! "Kami kan cuma ingin melihat-lihat puri," kata Dinah. Ia memaksa diri, supaya suaranya tidak terdengar gemetar. "Andakah pemiliknya? Kami tidak tahu." "Bagaimana kalian bisa sampai di kamar ini?" tanya si jenggot hitam sambil mendelik. "Secara kebetulan saja," jawab Dinah. "Kami sendiri sampai kaget setengah mati, tadi! Izinkanlah kami pergi. Kami berdua kan tidak berniat jahat." "Ada orang di luar kalian yang tahu bahwa kami ada di sini, atau tahu tentang ruangan ini?" tanya si alis gondr0ng. "Tidak, tidak ada,"jawab Dinah. "Kami pun baru sekarang ini melihat Anda bertiga. Baru sekarang kami menemukan ruangan ini. Izinkanlah kami pergi, Pak'" "Kurasa kalian sudah beberapa hari ada di sini," kata orang itu. "Kami menemukan barang-barang kalian. Seenaknya saja, berani masuk tanpa izin!" "Kami tidak tahu puri ini ada pemiliknya," kata Dinah sekali lagi. "Dari mana kami bisa mengetahuinya? Tidak pernah ada orang kemari. Orang desa takut sekali pada tempat ini." "Kalian cuma berdua saja di sini?" tanya laki-laki berjanggut tebal dengan nada curiga. "Kan Anda bisa melihat sendiri," kata Dinah. Dalam hati ia berdoa, semoga tidak ada di antara ketiga orang itu yang mendapat gagasan tiba-tiba untuk memeriksa baju zirah yang berjejer-jejer di situ. "Kami sudah memeriksa ke mana-mana," kata laki-laki berdagu licin. "Pasti tak ada lagi orang lain di tempat ini!" "Izinkanlah kami pergi," kata Dinah memohon. "Kami berjanji takkan kembali lagi ke sini." "Ah — tapi begitu sampai di rumah, kalian lantas bercerita panjang lebar tentang apa saja yang kalian lihat di sini, begitu kan?" kata laki-laki berjanggut tebal. Caranya berbicara menyeramkan. Lemah lembut, tapi berisi ancaman! "Tidak, Nona-nona cilik— kalian harus tetap di sini sampai pekerjaan kami selesai. Setelah itu, apabila kalian tidak mungkin menghalang-halangi lagi, mungkin akan kami bebaskan. Mungkin, kataku! Pokoknya, itu tergantung dari tingkah laku kalian sendiri!" Philip yang bersembunyi dalam baju zirah, gemetar tubuhnya menahan marah. Jahat sekali orang itu, menakut-nakuti anak yang sudah takut! Tapi Philip tidak berani bertindak, karena khawatir keadaan akan semakin parah jadinya. "Hah, sekarang kami ada urusan yang perlu dirundingkan," kata si janggut tebal. "Kalian boleh ke luar, tapi harus segera datang jika dipanggil." Dengan perasaan lega, Dinah dan Lucy-Ann bergegas naik ke atas. Batu besar tergeser dan menutup lubang lagi. “Kita harus minggat dari sini," bisik Dinah sambil membimbing Lucy-Ann. "Kita harus melakukannya dengan segera, mencari bantuan untuk menolong Philip. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi pada dirinya, jika ia sampai ketahuan ada di bawah." "Mana Jack?" tanya Lucy-Ann terisak-isak. "Kenapa tidak datang?" Saat itu Jack tidak jauh dari situ. Begitu terdengar batu tergeser menutup lubang, disusul bunyi bisikan Dinah dan isak tangis Lucy-Ann, dengan segera anak itu melesat keluar dari kamar duduk. Lucy-Ann melihatnya muncul, lalu menyongsongnya dengan gembira. Jack merangkul adiknya sambil menepuk-nepuk. "Sudahlah, Lucy-Ann, kau tidak perlu takut lagi,"bujuk Jack. "Kita akan minggat dari sini dengan segera, lalu mencari bantuan untuk menyelamatkan Philip. Jangan khawatir. Sudahlah, jangan menangis terus." Tapi Lucy-Ann masih saja menangis. Kini, karena gembira bertemu kembali dengan Jack, dan bukan lagi karena takut. Jack mengajak mereka pergi ke tingkat atas puri. "Sebentar lagi kita akan sudah sampai di jembatan tebing, dan setelah itu kita aman," katanya. "Dan dengan segera kita akan kembali untuk menyelamatkan Philip. Jangan khawatir." Mereka menaiki tangga yang lebar, lalu menyusur lorong panjang yang diterangi sinar matahari yang masuk dari deretan jendela sempit. Mereka sampai di ruangan yang jendelanya dipakai untuk menyeberang ke tebing. Dengan gembira Dinah lari menuju ke jendela. Ia ingin cepat-cepat menyeberang ke tebing yang aman. Tapi sesampai di situ, ia tertegun karena kaget. Di ambang jendela tidak terpasang papan! "Bukan ini kamarnya!" seru anak itu. "Cepat, Jack, cari kamar yang benar!" Mereka bergegas lari ke kamar sebelah. Tapi itu juga bukan, karena pada ambang jendelanya tidak ada papan terpasang ke tebing seberang. Mereka pindah lagi ke kamar berikut, Di situ pun tidak ada papan. "Aduh, ini rasanya seperti mimpi buruk," kata Dinah. la menggigil ketakutan. "Biar berapa kamar yang kita masuki, papan itu tetap saja tidak ada." "Tenang, tenang," kata Jack. “Jangan gugup! Kita kembali saja ke ujung gang ini, lalu mulai memeriksa dari sana. Satu per satu kamar kita masuki. Nanti pasti ketemu juga!" Tapi harapannya sia-sia. Papan jembatan tetap tidak mereka jumpai. Dalam kamar terakhir mereka berdiri dengan bingung. "Wah — kurasa orang-orang itu sudah mengetahui bagaimana cara kita masuk ke sini," kata Jack, "dan kini papan kita disingkirkan!" "Aduh!" keluh Dinah, lalu menjatuhkan diri ke lantai yang berdebu dan duduk di situ. "Kakiku lemas! Sekarang aku mengerti kenapa kami berdua tadi dibolehkan keluar dari kamar tersembunyi. Rupanya karena papan kita sudah mereka ambil, sehingga kita tidak bisa lagi minggat lewat situ!" "Ya, memang!" kata Jack dengan lesu. Ia ikut duduk di lantai, sambil berpikir-pikir. "Aku ingin tahu, di mana mereka menaruh papan kita itu." "Mungkin dijatuhkan begitu saja ke bawah," kata Dinah, semakin lesu. "Tidak, tidak mungkin mereka melakukan hal itu, karena siapa tahu ada orang lain yang mengetahui jalan masuk itu," kata Jack. "Kita cari saja papan itu." Bertiga mereka mencarinya ke mana-mana. Tapi tidak berhasil. Rupanya papan itu disembunyikan dengan sangat baik, sehingga tidak bisa ditemukan oleh anak-anak. Akhirnya mereka putus asa. "Sekarang bagaimana — setelah ketahuan bahwa kita tidak bisa melarikan diri?" kata Dinah. "Sudahlah, jangan menangis terus, Lucy-Ann! Toh tidak ada gunanya!" "Jangan ganggu dia," kata Jack, yang merasa kasihan pada adiknya. "Ini benar-benar gawat, Kita terkurung dalam puri, tanpa ada kemungkinan melarikan diri. Dan Philip yang ada dalam kamar bawah tanah, setiap saat bisa ketahuan. Kalau dia bersin atau batuk sedikit saja — sudah, habis riwayatnya!" Lucy-Ann ketakutan mendengar perkataan Jack. Dengan segera dibayangkannya Philip yang malang, susah payah menahan supaya jangan bersin. "Ternyata kita sekali lagi terjerumus ke dalam suatu misteri yang aneh,” kata Jack. "Aku sama sekali tidak mengerti apa-apa! Misalnya saja, apa sebabnya orang-orang itu bersembunyi di sini. Tapi yang jelas, semuanya bukan orang baik-baik! Kurasa mereka tentunya anggota salah satu gerombolan penjahat, yang saat ini sedang merencanakan sesuatu aksi. Aku kepingin mencegah mereka, tapi mana mungkin — dalam keadaan sekarang ini! Satu-satunya yang baik saat ini, mereka tidak tahu aku juga ada di sini, dan bahwa Philip bersembunyi di tempat pertemuan rahasia mereka!" "Coba kita bisa keluar dari sini," keluh Lucy-Ann. "Bibi Allie memang sedang pergi, tapi kita kan bisa minta tolong pada orang lain. Pada petani, misalnya." "Aku tidak melihat kemungkinan bagi kita untuk minggat, karena jalan satu-satunya sudah tidak ada lagi," kata Jack. "Dan Tassie kurasa takkan muncul, karena sudah diancam oleh ibunya akan dipukul apabila masih berani." "Kita harus berusaha agar orang-orang itu tidak tahu kau juga ada di sini, Jack," kata Dinah. "Di mana tempat persembunyian yang aman?” "Dalam semak, di atas tebing," kata Jack. "Itu tempat yang paling aman untukku. Kalian berdua turun dulu ke serambi. Tolong lihatkan, apakah lubang masih tertutup. Jika masih, aku akan cepat-cepat turun lalu pergi bersembunyi ke atas tebing. Lalu kalian bisa duduk—duduk di batu, sambil membisikkan padaku kalau ada perkembangan baru.” "Coba kita tahu, lewat mana Button keluar masuk," kata Lucy-Ann. "Kalau tahu, mungkin kita bisa mencoba minggat lewat situ. Cuma kalau lubang kelinci, tentunya terlalu sempit bagi kita." Dinah dan Lucy-Ann pergi ke serambi. Ternyata batu besar masih ada di tempat semula. Mereka menggapai Jack, menyuruh dia turun. Anak itu cepat-cepat lari melintasi serambi menuju ke pintu gerbang, lalu memotong halaman dalam ke tebing berbatu yang terdapat di sudut. Dipanjatnya tebing sampai ke semak lebat tempatnya bersembunyi, lalu menyusup ke situ. Dinah dan Lucy-Ann ikut naik ke tebing, supaya bisa berada di dekat Jack. Dari tempat mereka duduk, segala-galanya yang ada hubungannya dengan puri bisa dilihat dengan jelas. Keduanya membuka sebuah bungkusan bekal lalu mulai makan, walau Lucy-Ann merasa tidak berselera. Jack juga diberi, disodorkan padanya ke dalam semak. "Untung bekal kita banyak sekali," kata Dinah. "Jadi tidak apa-apa jika kita lama terkurung di sini!" "Coba ibumu tidak pergi, ia pasti akan cemas jika kita tidak pulang," kata Lucy-Ann. "Lalu ia minta tolong orang untuk mencari kita ke puri. Tapi sekarang — takkan ada yang datang menolong kita!" "Ssst! Itu dua dari orang-orang tadi muncul," desis Dinah. "Jangan ngomong lagi, Jack." Kedua laki-laki itu memanggil-manggil. Dinah menjawab dengan nada tidak senang. Kedua anak perempuan itu digapai, disuruh turun dari tebing. "Nah -- kalian berhasil menemukan papan kalian?" tanya laki-laki yang berjanggut hitam dengan suara disopan-sopankan. Temannya terkekeh-kekeh. "Tidak, karena sudah diambil oleh kalian," kata Dinah masam. "Ya — tentu saja! Ide kalian itu bagus sekali, tapi sayang kami tidak menyukainya," kata si janggut hitam. "Sekarang kalian sudah tahu kalian takkan bisa melarikan diri. Jadi kalian boleh berada di halaman ini dengan tenang, dan kalau malam tidur nyenyak di tempat tidur besar yang ada di bawah. Kami sendiri harus pergi, karena ada urusan penting. Tapi kalian tidak boleh naik ke menara, mengerti! Ke tingkat atas saja pun tidak, supaya kalian jangan bisa memberi isyarat minta tolong. Jika kalian tidak mematuhi larangan ini, bisa menyesal kalian nanti. Ada kemungkinan akan dikurung dalam sel bawah tanah, yang banyak tikus dan kumbangnya!" Dinah menjerit, ngeri membayangkan dikurung dalam tempat seseram itu. "Nah, itulah! Lebih baik kalian patuh, supaya tidak diapa-apakan," kata laki-laki berjanggut hitam. "Sebaiknya kalian tetap di halaman dalam ini, dan kalau dipanggil harus datang dengan segera. Kami tahu, kalian cukup banyak membawa bekal makanan. Sedang air bisa diambil dari dapur. Kan ada pompa di situ." Dinah dan Lucy-Ann tidak menjawab. Kedua laki-laki itu pergi lagi, masuk ke puri. "Bagaimana dengan Philip?" tanya Lucy-Ann setelah beberapa saat. "Pasti ia kelaparan di bawah. Coba kita bisa menyelamatkannya!" "Ah — dia takkan kelaparan. Di atas meja banyak makanan, asal ia bisa mengambilnya," kata Dinah. "Coba kita sekarang bisa memberi kabar pada Tassie, supaya ia memanggil bantuan. Cuma bagaimana caranya?" "Bagaimana jika Kiki yang kita suguh dengan surat terikat ke kakinya, seperti merpati pos?" kata Lucy-Ann. "Ah, kurasa Kiki takkan mau meninggalkan Jack! Burung itu pintar sekali, tapi kurasa ia takkan bisa kita jadikan pesuruh untuk menyampaikan berita." Tapi kemudian ternyata muncul pesuruh yang sama sekali tidak mereka duga! Bab 19 LUCY -ANN MENDAPAT AKAL Seharian kedua anak perempuan itu berada di halaman dalam. Mereka tidak pernah pergi jauh-jauh dari tebing. Dengan begitu mereka bisa mengajak Jack mengobrol. Kasihan anak itu, harus mendekam terus di tempat persembunyiannya yang sempit dalam semak. Mereka bertanya-tanya, bagaimana keadaan Philip dalam ruangan bawah tanah. Apakah ia sudah ketahuan? "Konyolnya, orang-orang itu berbicara dalam bahasa yang tidak kita kenal," kata Dinah. "Karenanya Philip takkan bisa mengetahui rahasia apa yang mereka rundingkan. Padahal tempatnya bersembunyi begitu dekat pada mereka!" "Ya, memang, kata Lucy-Ann. "Tapi aku lebih senang jika ia tidak ada di sana! Kalau aku pasti sudah setengah mati ketakutan, bersembunyi dalam baju zirah yang akan berdentang-dentang begitu aku bergerak sedikit saja!" "Ah, kalau Philip pasti tidak takut," kata Dinah. "Ia jarang merasa takut, Kurasa ia malah asyik!" Tapi Lucy-Ann tidak mau percaya. Menurut pendapatnya, ucapan Dinah itu konyol. Tapi Dinah memang tidak begitu sayang pada abangnya, seperti Lucy-Ann terhadap Jack. Lucy-Ann membayangkan betapa tidak enaknya jika Jack yang bersembunyi dalam ruangan bawah tanah, dengan risiko setiap saat bisa ketahuan! "Ha, bergembiralah sedikit!" bisik Jack dari dalam samak, ketika melihat air muka Lucy-Ann yang sedih, "Ini kan petualangan!" "Petualangan baru kusenangi kalau sudah berakhir," kata Lucy-Ann. "Kalau sedang terjadi, tidak! Aku sama sekali tidak ingin mengalami petualangan ini. Kita kan tidak mencarinya, tapi tahu-tahu saja sudah terlibat di dalamnya!" “Ah, sudahlah — kurasa akhirnya semua pasti beres," kata Jack menghibur. Tapi Lucy-Ann sama sekali tidak melihat kemungkinan itu. Sudah jelas mereka tidak bisa lari dan puri. Begitu pula takkan ada yang datang menyelamatkan mereka. Sore itu mereka makan di atas tebing. Jack juga mendapat bagian. Tubuh anak itu sudah pegal. Kepingin sekali rasanya bisa menjulurkan kaki yang terasa kaku. Tapi ia tidak berani. Kalau sudah malam, mungkin bisa! Matahari terbenam di ufuk barat. Kiki mulai mengoceh, karena bosan harus bersembunyi terus. Ia dibiarkan saja menyerocos, sementara Dinah dan Lucy-Ann berjaga-jaga, jangan sampai orang-orang itu muncul dengan tiba-tiba dan mendengar suara kakaktua itu. "Kasihan Kiki, sayang, sayang! Jerangkan air, hidup Ratu! Sekarang perhatian! Perhatian. Duduk yang lurus. Jangan bercanda terus. Berapa kali sudah kukatakan, hidup Ratu!" Dinah dan Lucy-Ann terkikik. Kiki memang kocak sekali kalau sudah mengoceh. "Bagus, Kiki!" kata Jack. Diusap-usapnya tengkuk burung kesayangannya itu. "Kau sudah bosan, ya? Nanti kalau sudah gelap, kau boleh terbang berkeliling sedikit. Tapi jangan berteriak kayak lokomotif, nanti musuh kita datang!" Hari mulai malam. Bintang mulai nampak satu-satu di langit gelap. "He! Kalian berdua, turun! Kalian harus tidur!"Ternyata kedua laki-laki tadi sudah kembali. Mereka berdiri di halaman dalam, sambil memanggil-manggil. "Kami masih ingin di luar. Kami tidak apa-apa, dalam gelap," balas Dinah. Ia ingin berjalan-jalan dulu di halaman dengan Jack, sebelum masuk lagi ke ruangan bawah tanah bersama Lucy-Ann. "Kalau begitu kami beri waktu setengah jam,"seru laki-laki yang berjanggut. Kedua laki-laki itu masuk lagi. Dinah menyelinap turun dari tebing, lalu membuntuti mereka. Dilihatnya kedua orang itu menuruni tangga batu, masuk ke kamar bawah tanah. Setelah itu terdengar bunyi gemeretak, tanda batu besar tergeser lagi menutup lubang. Dinah bergegas kembali ke tempat Jack bersembunyi. "Ayo, Jack," bisiknya. "Mereka sudah turun ke bawah tanah. Sekarang kan sudah cukup gelap. Kau bisa keluar dengan aman sekarang." Jack menyusup ke luar. la merasa lega, bisa bergerak lagi dengan leluasa. la menggeliat. "Aduh, tubuhku pegal sekali rasanya," katanya mengeluh. "Yuk, kita jalan-jalan sebentar di sini, supaya urat-uratku lemas kembali. Sekarang sudah cukup gelap. Aku pasti takkan ketahuan." Mereka mulai melangkah sambil bergandengan tangan. Tapi tahu-tahu ada sesuatu menubruk dari tempat gelap. Nyaris saja Jack jatuh terjerembab karenanya. Jack tertegun. "Apa itu? Mana senterku!" Dinyalakannya senter sebentar, lalu cepat-cepat dipadamkan kembali karena takut terlihat orang-orang tadi. Ia berseru pelan. "Ini kan Button! Bagaimana kau bisa tiba-tiba ada di sini? Wah - senang sekali rasanya melihatmu!" Button menggeram pelan karena gembira, sambil berguling-guling di tanah. Kelakuannya persis anak anjing yang sedang senang. Tapi walau begitu ia seakan-akan mencari sesuatu. Anak-anak tahu, pasti ia mencari Philip. "Kau tidak bisa mendatanginya, Button," kata Jack sambil mengelus-elus anak rubah itu. "Kau harus cukup puas dengan kami saja. Philip tidak ada di sini." Anak rubah itu menggonggong pelan. Kiki yang saat itu duduk di atas pundak Jack, langsung menirukannya. Rupanya ia jengkel melihat saingannya muncul. Button melonjak hendak mencapai Kiki, tapi tidak berhasil. Kiki bersuara seperti mengejek Button pasti jengkel kalau mengerti artinya. Tapi ia tidak mengerti. "Jack!" seru Lucy-Ann dengan tiba-tiba. Tapi tentunya seruan itu pelan, supaya tidak terdengar orang lain. Dipegangnya lengan abangnya. "'Aku punya akal!" "Akal apa?" tanya Jack Anak itu tidak pernah menganggap gagasan Lucy-Ann hebat. "Tidak bisakah Button kita jadikan perantara? Tidak bisakah ia kita suruh kembali ke Tassie dengan surat yang isinya menyuruh Tassie membawa bantuan ke sini? Button pasti akan kembali ke anak itu karena tidak berhasil menemukan Philip di sini. Setelah Philip, Button kan paling sayang pada Tassie! Bagaimana? Bisa atau tidak?" "Jack! Ide Lucy-Ann ini baik sekali!" kata Dinah bersemangat. "Cuma Button satu-satunya di antara kita yang tahu jalan keluar dari sini. Seperti kata Lucy-Ann, dia bisa kita jadikan pengantar surat." Jack berpikir sebentar. "Yah — harus kuakui, ide itu tidak ada salahnya untuk dicoba," katanya kemudian. "Yang jelas, takkan merugikan! Baiklah, Button kita jadikan pengantar surat" Kini tinggal menulis surat pada Tassie. Jack kebetulan mengantongi buku catatannya. Diambilnya buku itu, lalu disobeknya sehalaman. Ia menulis, sambil mengucapkan kata-kata yang ditulis. "Tassie, kami terkurung di sini. Tolong cari bantuan! Kami mungkin terancam bahaya besar!" Anak-anak menuliskan nama mereka. Setelah itu Jack melipat surat itu. Tapi kemudian bingung, bagaimana cara Button membawa surat itu. Akhirnya ia menemukan jalan. Di kantongnya ada segulung benang. Mula-mula diikatnya kertas surat, yang kemudian digantungkan ke leher Button. Ikatannya cukup ketat. Sebab kalau tidak, ada kemungkinan anak rubah itu bisa melepaskannya. Button bukan binatang rumah. Jadi tidak biasa berkalung. "Hah, beres," kata Jack senang. "Kurasa Button takkan bisa melepaskannya lagi sekarang” "Kembali ke Tassie, Button," kata Lucy-Ann. Tapi Button tidak mengerti. Anak rubah itu masih berharap bahwa Philip akan muncul. Ia tidak ingin pergi sebelum melihat anak itu. Kalau bisa, bahkan tinggal di situ bersama Philip! Jadi anak rubah itu tetap berkeliaran di situ, mencari-cari. Sekali-sekali ia berhenti berjalan, lalu berusaha melepaskan benda aneh yang tergantung di lehernya. Tapi tidak bisa. Tiba-tiba terdengar teriakan lantang, menyebabkan anak-anak kaget. "Hei, kalian berdua! Masuk!" “Kami harus masuk Jack," bisik Lucy-Ann, sambil merangkul abangnya. "Mudah-mudahan kau bisa agak leluasa malam ini. Kalau tidur dalam semak nanti, bawa beberapa lembar selimut sebagai tambahan." "Aku tidak mau cepat-cepat masuk lagi ke sana,”kata Jack. Ia merasa bosan harus meringkuk terus dalam semak sialan itu. "Selamat tidur, dan jangan cemas! Kalau Button sudah sampai di tempat Tassie, anak itu pasti akan segera datang dengan membawa bantuan bagi kita." Jack ditinggal sendiri di halaman dalam yang gelap. Dinah dan Lucy-Ann masuk ke serambi. Mereka melihat cahaya samar yang berasal dari lampu yang terdapat dalam ruangan tersembunyi. Keduanya bergegas menuruni tangga menuju tempat itu, lalu memandang berkeliling. Masihkah Philip bersembunyi dalam baju zirah? Mereka tidak bisa mengetahuinya dengan pasti. Semua baju zirah masih tetap berada di tempat masing-masing. Tapi apakah Philip masih ada dalam salah satu di antaranya, mereka tidak bisa tahu. "Kalian akan kami kurung di sini," kata laki-laki beralis gondrong. Sinar lampu menyebabkan tampangnya yang jelek kelihatan semakin jelek. "Kalian boleh tidur di tempat tidur besar itu. Besok kami datang lagi." Laki-laki itu pergi ke atas. Kemudian terdengar batu besar tergeser lagi, menutupi lubang di lantai. Dinah dan Lucy-Ann memasang telinga sesaat. Tapi mereka tidak mendengar bunyi mencurigakan. "Philip!" bisik Lucy-Ann, sambil memandang ke arah baju zirah yang dipakai Philip sebagai tempat persembunyian. "Kau masih ada di situ?" "Ya," kata Philip. Suaranya terdengar aneh, menggema. "Mudah-mudahan aku tidak pernah harus bersembunyi seperti hari ini lagi. Aku akan melepaskan baju zirah ini. Semenit lebih lama pun aku tidak tahan lagi di dalamnya!" "Aduh, Philip — tidak berbahayakah itu? Bagaimana jika orang-orang itu tiba-tiba datang?" tanya Dinah cemas. "Kurasa tidak. Tapi kalau toh muncul, apa boleh buat! Pokoknya aku tidak mau lagi," keluh Philip. "Seluruh anggota badanku pegal rasanya. Aku capek sekali, harus berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Paling sedikit tiga kali aku terpaksa setengah mau, menahan rasa hendak bersin. Wah — benar-benar tidak enak rasanya!" Teriring bunyi berdencing-dencing, Philip membuka baju zirah. Geraknya kaku sekali, karena seluruh tubuhnya pegal. "Yang paling tidak enak, kodokku tidak mau ikut terkurung bersama aku," kata Jack "Ia berhasil ke luar, lalu meloncat-loncat dalam kamar. Orang-orang itu kaget sekali ketika melihat dia!" Dinah cepat-cepat memandang berkeliling. Mudah-mudahan kodok itu tidak ada di dekatnya. "Kasihan Philip," kata Lucy-Ann. Ia membantu Philip melepaskan baju logam yang membungkus tubuhnya. "Kau pasti sangat menderita tadi." "Memang - tapi aku tidak menyesal," kata Philip. "Tadi banyak sekali yang berhasil kuketahui. Misalnya saja, ada jalan rahasia untuk keluar dari ruangan ini. Tempatnya di balik gorden permadani itu!" "Wah," kata Lucy-Ann. Ia memandang ke tempat yang dimaksudkan, seolah-olah menyangka akan nampak jalan rahasia itu terbuka saat itu juga di depan matanya. "Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" "Nanti kuceritakan, apabila aku sudah bebas dari baju logam ini," kata Philip. "Wah, aku kapok memakainya. Takkan bisa kalian bayangkan, betapa panasnya di dalam. Uahh — akhirnya terbuka juga! Sekarang aku bisa bergerak lagi dengan leluasa!" "Sekarang ceritakan, apa saja yang terjadi sehari ini di sini," kata Dinah. Ia tidak sabar lagi. "Pasti ada hal-hal menarik yang bisa diceritakan!" Bab 20 KISAH PHILIP "Sebaiknya kita naik saja ke tempat tidur, karena siapa tahu orang-orang itu datang lagi," kata Dinah. "Kalau sampai begitu, apa yang akan kaulakukan, Philip?" "Begitu terdengar bunyi batu besar tergeser, aku akan cepat-cepat bersembunyi di bawah tempat tidur ini," kata Philip. "Kurasa orang-orang itu takkan menduga di sini masih ada orang lain di samping kalian berdua. Jadi takkan mungkin dengan tiba-tiba mereka menggeledah di tengah malam!" Tempat tidur itu cukup luas untuk mereka bertiga. Kasurnya empuk sekali. Philip senang merasakan alas seempuk itu, setelah begitu lama terkungkung dalam baju zirah yang keras. Ia duduk, lalu mulai bercerita tentang pengalamannya. "Kalian masih ingat, ketika kalian meninggalkan aku sendiri di sini?" katanya. "Aku marah sekali, mendengar kalian diperlakukan dengan kasar. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lama sekali aku sendiri di sini. Kemudian ketiga orang itu kembali. Lubang ditutup, dan mereka duduk menghadap meja.” "Kau bisa mengerti pembicaraan mereka?" tanya Lucy-Ann. “Sayangnya tidak,” kata Philip,”membentangkan peta-peta di atas meja, dan kelihatannya seperti menelusuri sesuatu. Aku sampai hampir terguling karena ingin melihat. Tapi tidak bisa!" "Wah, pasti mereka kaget setengah mati kalau kau tadi sampai terguling," kata Dinah sambil tertawa. “Tapi untung saja "Nah, lama sekali mereka duduk sambil mempelajari peta," kata Philip. "Setelah itu mereka makan. Beberapa kaleng makanan mereka buka. Mulutku sampai penuh liur melihat mereka makan." "Kasihan! Kau sudah makan sekarang?" tanya Lucy-Ann. Philip mengangguk. "Jangan khawatir, soal itu beres," katanya.”Begitu mereka keluar lagi dan menutup lubang, aku langsung turun dengan pakaian zirah dan menyikat habis sisa makanan. Aku sudah tidak peduli lagi, karena terlalu lapar dan haus saat itu. Aku cuma bisa berharap. semoga mereka tidak menyadari bahwa sisa makanan habis. Aneh rasanya sendiri di sini, dikelilingi baju zirah berjejer-jejer. Menurut perasaanku saat itu, mungkin saja mereka ikut makan bersamaku. Baju-baju zirah ini, maksudku!" "Hii, jangan ngomong begitu ah!" kata Lucy-Ann. Ia sudah takut lagi. Diperhatikannya pakaian perang yang tegak berjejer di atas panggung rendah sekeliling ruangan. Dibayangkan pakaian-pakaian itu tahu—tahu bisa berjalan sendiri. melangkah dengan bunyi berkelontang-kelontang. Philip menepuk Lucy-Ann sambil tertawa. "Kalau mau minum, sulit sekali tadi," sambungnya bercerita. "Dalam ketopong, aku tidak bisa menenggak dengan baik. Banyak juga air tumpah. Aku sudah khawatir saja, jangan-jangan orang-orang itu menyangka ada baju zirah yang bisa mengompol. Untung air tidak sampai menggenang di lantai!" . Mau tidak mau, anak-anak perempuan itu tertawa mendengarnya. Philip memang pintar sekali bercerita! "Nah, sekitar dua puluh menit setelah aku kembali ke atas panggung tempatku semula, ketiga orang. itu datang lagi. Saat itu terjadi sesuatu yang luar biasa." "Apa maksudmu?" tanya Dinah dan Lucy-Ann serempak Mereka menunggu sambil menahan napas. "Kalian lihat permadani sebelah sana itu, yang ada gambar anjing dan rombongan kuda?" kata Philip sambil menuding. "Itu, di seberang baju zirah yang kupakai tadi! Nah — di belakang permadani itu ada pintu rahasia!" Ia berhenti sebentar, sementara kedua pendengarnya memandang ke arah permadani. Kemudian mereka menatap Philip lagi. "Orang-orang itu berembuk sebentar. Setelah itu seorang di antaranya menghampiri permadani itu lalu diangkatnya. Tepinya disangkutkan ke paku yang kelihatan itu. Aku bisa melihat segala-galanya dengan jelas, dari dalam ketopong. Mula-mula aku tidak mengerti apa yang hendak dilakukan orang itu, karena dinding di balik permadani kelihatannya semua terbuat dari batu-batu besar." "Dan ternyata bukan?" kata Lucy-Ann bersemangat. "Bukan," jawab Philip. "Sebagian daripadanya ternyata terdiri dari lempeng batu tipis. Dan lempeng tipis itu bisa digeser ke samping. Begitu batu sudah tergeser, laki-laki itu meraba-raba dalam rongga yang ada di belakangnya. Rupanya pada satu sisi rongga itu ada semacam pintu. Ia membuka pintu itu, dan mereka bertiga lantas pergi lewat situ!" "Bukan main!" kata Dinah kagum. "Tapi mereka pergi ke mana?" "Aku tidak tahu," kata Philip. "Tapi aku ingin menyelidikinya. Ada sesuatu yang sangat misterius di sini, suatu rahasia besar. Ketiga orang itu pasti berniat buruk. Dua dari mereka bangsa asing, kalau didengar dari logat mereka. Aku ingin tahu, untuk apa orang asing datang ke tempat yang begini terpencil, dan malah bersembunyi di sini serta mengadakan perembukan rahasia?" "Yuk, kita memeriksa apa yang ada di balik pintu itu," ajak Dinah. Ia kepingin sekali mengetahui. “Ah jangan," kata Lucy-Ann. Menurut pendapatnya, sudah cukup pengalaman tegang untuk hari itu. "Kau cengeng," kata Dinah kesal. "Tidak, ia tidak cengeng," kata Philip. "Dia Cuma tidak senekat dirimu, Dinah. Lagi pula, kurasa lebih baik jangan sekarang kita mengutik-utik di belakang pintu itu. Jika orang-orang itu tiba-tiba kembali lalu melihat bahwa kita menemukan pintu rahasia mereka, entah apa yang akan mereka lakukan terhadap kita!" Dinah diam saja. Ia sebetulnya kepingin sekali memeriksa rongga di balik permadani. Tapi ia juga tahu bahwa Philip benar. Mereka harus menunggu kesempatan lebih baik. Kemudian Dinah bercerita tentang pengalaman di halaman dalam bersama Jack, serta apa saja yang terjadi selama itu. "Jadi ada dua di sini yang tidak ketahuan, yaitu aku dan Jack," kata Philip. "Bagus! Selama orang-orang itu .menyangka cuma berurusan dengan dua anak perempuan saja, mereka takkan terlalu berhati-hati." Dinah juga bercerita tentang Button, yang disuruh kembali ke Tassie dengan membawa kabar. Philip mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian. Tapi kemudian ia mengatakan sesuatu, yang langsung membuat perasaan Dinah dan Lucy-Ann lesu. "Ide itu memang bagus," kata Philip, "tapi takkan ada gunanya. Kalian lupa, Tassie kan tidak bisa membaca!" Dinah dan Lucy-Ann tercengang. Mereka berpandang-pandangan. Aduh, memang betul — Tassie belum bisa membaca dan menulis. Ia takkan mengerti makna surat itu, apabila menemukannya. Lucy-Ann sedih sekali, karena ternyata akalnya tidak banyak manfaatnya. Philip melihat kesedihannya, lalu menghibur sambil merangkulnya. "Jangan sedih," katanya, "siapa tahu Tassie memakai akalnya, dan menunjukkan surat itu pada orang yang bisa membaca!" Dinah dan Lucy-Ann mengantuk, karena malam sudah agak larut. Lucy-Ann memejamkan matanya. Dinah masih mengobrol sebentar dengan Philip. Tapi kemudian ia pun ikut berbaring. Sedang Philip langsung terlelap setelah itu, karena capek sekali berdiri terus dalam baju zirah yang panas. Tiba-tiba Dinah kaget lalu terbangun, ketika sudah kira-kira dua jam tidur. la mendengar bunyi batu besar tergeser. Ia tidak langsung mengenali bunyi gemeretak itu. Tapi begitu sadar, kagetnya bukan main! Lucy-Ann masih tidur terus. Begitu pula Philip. Dinah menggoncang-goncang tubuh abangnya. . "Philip!" bisiknya panik. "Bangun, Philip! Cepat, masuk ke bawah tempat tidur. Orang-orang itu datang lagi!" Dalam keadaan masih setengah tidur, Philip menjatuhkan diri dari tempat tidur dan berguling ke bawahnya, sementara orang yang pertama menuruni tangga.. Dinah berlagak seperti tidur lelap. Lucy-Ann memang masih nyenyak. Orang yang datang itu memandang ke arah tempat tidur. Ia merasa curiga, karena mendengar bunyi Philip menjatuhkan diri. Dibesarkannya nyala lampu minyak Setelah itu ia menghampiri tempat tidur. Ujung sepatunya hampir menyentuh tubuh Philip yang meringkuk di bawah. Orang itu menyingkapkan kelambu, dan menatap kedua anak perempuan yang berbaring di tempat tidur. Dinah merasa, orang itu pasti tahu bahwa ia Cuma pura-pura tidur. Tapi setelah menatap beberapa saat, kelambu ditutup kembali. Rupanya orang itu sudah meyakinkan diri bahwa anak-anak masih tidur. Ia sama sekali tidak mengira bahwa dalam ruangan itu masih ada seorang anak lagi, bersembunyi di kolong tempat tidur! Dinah mengintip dari balik kelopak yang setengah dipejamkan. Dilihatnya ada lima orang yang datang. Dua di antaranya belum pernah dilihat sebelum itu. Orang-orang itu berbicara dalam bahasa asing. Lalu satu di antara mereka, yang termasuk ketiga orang pertama, menarik sebuah laci besar dari sebuah lemari. Ia mengambil gulungan peta dari situ, lalu dilemparkannya ke atas meja. Peta-peta itu dibentangkan satu per satu. Kelima orang itu sibuk berembuk, kelihatannya - merundingkan peta-peta. Akhirnya peta-peta itu dikembalikan ke laci, yang langsung dikunci lagi. Setelah itu laki-laki yang beralis gondrong menyibakkan permadani dari dinding. Dinah senang sekali, karena ternyata di situlah tempat pintu rahasia tersembunyi. Tapi kemudian salah seorang temannya menjamah lengan laki-laki beralis tebal itu lalu mengatakan sesuatu dengan suara pelan, sambil menganggukkan kepala ke arah tempat tidur. Orang itu datang ke situ dengan langkah-langkah cepat, lalu menutup kelambu rapat-rapat sehingga Dinah tidak bisa melihat apa-apa lagi. Kelambu jaman dulu sangat tebal, sehingga dalam keadaan tertutup orang yang ada di dalamnya tidak bisa melihat ke luar. Dinah tidak berani mengintip dari celah kelambu, karena besar kemungkinannya akan ketahuan. Jadi ia hanya bisa memasang telinga, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah yang sedang terjadi. Didengarnya bunyi sesuatu tergeser, disusul debam pelan. Lalu bunyi anak kunci diputar dalam lubangnya. Kemudian suara orang bercakap-cakap. Setelah itu ia mendengar langkah-langkah menaiki tangga batu. Ia tidak tahan lagi. Lalu mengintip ke luar. Ternyata ketiga laki-laki yang sudah dikenalnya sedang naik ke atas. Rupanya kedua kawan mereka yang tadi pergi lewat jalan rahasia, yang entah ke mana tujuannya. Benar-benar_ misterius! Terdengar lagi bunyi batu besar tergeser, menutup lubang. Setelah itu sunyi. Dinah mengintip lagi. Ia tidak melihat siapa-siapa dalam kamar. Permadani yang tadi disingkapkan, sekarang sudah tergantung seperti biasanya lagi. Dipanggilnya Philip dengan suara pelan. Dengan segera abangnya keluar dari bawah tempat tidur. "Jangan bangunkan Lucy-Ann," bisik Philip, “nanti ia takut. Bagaimana, banyak yang bisa kau lihat tadi?" "Banyak sekali,”jawab Dinah, lalu menceritakan apa-apa saja yang dilihat olehnya "Hm, jadi mereka berlima," kata Philip kemudian. "Aku mau tahu, apa sebetulnya yang hendak mereka lakukan. Nah — apa kataku tadi, Dinah! Kan benar, lebih baik jangan mengutik-utik untuk mencari pintu rahasia itu. Coba kita tadi melakukannya, pasti tertangkap tangan!" "Ya, betul juga," kata Dinah. "Tapi mau apakah orang-orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab Philip. "Mungkin kita bisa mengetahuinya apabila sudah tahu ke mana tujuan jalan rahasia yang ada di balik permadani dinding itu. Tapi kita harus menunggu kesempatan baik untuk menyelidikinya, dan tidak buru-buru saja tanpa berpikir panjang dulu." "Kurasa mereka tidak kembali lagi dengan segera," kata Dinah. Ia berbaring lagi. "Tapi kau lebih baik tidur saja di kolong, karena siapa tahu mereka kembali. Ketika kau menjatuhkan diri tadi, bunyinya keras sekali." "Ya, kurasa memang lebih baik begitu," kata Philip. Diambilnya selembar selimut, lalu pergi dengannya ke kolong. Di situ ia mengatur letak tidur yang senyaman mungkin, di lantai. "Besok kau akan bersembunyi kembali dalam baju zirah?" tanya Dinah dengan tiba-tiba. "Wah, tidak ah! Aku bersembunyi di sini saja, di bawah tempat tidur,” kata Philip. "Seumur hidupku, aku tidak mau lagi memakai baju zirah! Kikuk, sama sekali tidak enak!" Setelah itu mereka tertidur lagi, sampai pagi. Dalam kamar tersembunyi itu tidak bisa ketahuan apakah hari malam atau pagi. Tapi arloji Dinah menunjukkan waktu pukul setengah delapan. Laki-laki beralis lebat masuk ke dalam kamar. "Kalian boleh ke luar seharian," katanya. "Tapi ingat, jangan pergi jauh-jauh, dan kalau kupanggil langsung datang! Kalau tidak, tahu sendiri nanti!" Bab 21 PENGALAMAN JACK DAN KEESOKAN HARINYA Jack merasa sepi, ketika Lucy-Ann dan Dinah sudah dipanggil masuk ke ruangan bawah tanah. Kini ia sendirian di halaman dalam yang gelap, bersama Kiki. Bosan rasanya, sendiri terus. "Mudah-mudahan mereka tidak apa-apa,"katanya dalam hati. "Eh Button! Kau masih di sini rupanya! Kenapa tidak kembali ke Tassie? Kau toh tidak bisa pergi ke Philip sekarang!" Anak rubah itu melolong pelan, sambil menggosok-gosokkan kepalanya pada Jack. Jelas bahwa ia minta dibawa ke tempat Philip. "Dengar baik-baik, Button. Pulang ke Tassie dengan surat itu," kata Jack. la masih belum sadar bahwa Tassie tidak bisa membaca. "Cepatlah, Button. Kalau kau sudah sampai di sana, keadaan kami bisa lebih enak Karena begitu surat itu dibaca olehnya, pasti ia akan segera minta pertolongan." Tapi Button tetap berada di halaman dalam, bersama Jack. la masih belum putus asa. Ia terus mencari-cari Philip. Tidak diacuhkannya Kiki yang mengejek-ejeknya. Malam itu terang bulan. Seekor burung hantu berteriak, langsung ditirukan oleh Kiki. Burung hantu itu terbang menghampiri, ingin tahu siapa yang menjawab seruannya tadi. Kiki asyik. Ia berpindah-pindah tempat, sambil terus menirukan suara burung hantu dengan pelan. Burung hantu itu herannya bukan main, karena ternyata di puri itu banyak sekali burung hantu yang silih berganti memanggilnya. Ketika Jack sedang asyik mengikuti keisengan Kiki, tiba-tiba dilihatnya tiga orang laki-laki berdiri di halaman. Untung saat itu terang bulan, sehingga ia tidak terlambat melihat mereka. Dan untung pula ia sudah tidak berkeliaran lagi. Coba masih, pasti langsung ketahuan! Jack buru-buru menyelinap ke balik bayangan tembok besar. Ia sampai di dekat gerbang besar yang menghadap ke jalan yang kini sudah longsor. Ia duduk dekat suatu semak lebat. Menurut perasaannya tempat itu pasti aman. Tapi tiba-tiba ia kaget sekali. Matanya melotot. Dilihatnya pintu gerbang besar terbuka pelan-pelan, sedikit pun tanpa berbunyi. Kini Jack bisa memandang ke luar. Jack sudah hendak bangkit — tapi cepat-cepat merunduk lagi. Dua orang laki-laki masuk lewat gerbang itu, yang kemudian tertutup lagi dengan pelan. Terdengar bunyi detak yang agak keras. Kedua laki-laki itu lewat di dekat tempat Jack bersembunyi. Mereka tidak melihatnya, karena ia berada dalam bayangan semak. Jack merunduk ke tanah, seperti kodok sedang berjongkok. Kedua orang itu menggabungkan diri dengan teman-teman mereka yang ada di halaman dalam. Semuanya masuk ke dalam puri. Menurut Jack, mereka pasti turun ke ruangan bawah tanah. Dan kenyataannya memang begitu. Jack menunggu beberapa saat lagi. Setelah itu ia bergegas menghampiri gerbang besar. Jika ia berhasil membukanya lalu keluar, ia sudah bertekat akan turun ke lembah — walau untuk itu ia harus melewati jalan yang longsor tanahnya. Kedua laki-laki tadi, kan juga lewat jalan itu! Jack meraba-raba daun pintu yang kokoh. Terpegang olehnya gelang besi yang agak besar. Jack memutar-mutarnya ke sana dan ke mari. Tapi daun pintu sedikit pun tak bergerak. "Sialan! Rupanya dikunci tadi," pikirnya dengan kesal. "Aku tidak bisa keluar! Sial! Sial! Coba aku tadi lebih dekat ke sini— mungkin bisa menyelinap ke luar sewaktu mereka masuk! Biar saja mereka melihat aku, karena aku pasti sudah lari menuruni bukit sebelum mereka sempat berkutik!" Jack duduk di dekat pintu. "Kutunggu saja di tempat gelap ini, sampai mereka kembali lagi. Lalu aku akan melesat ke luar, begitu mereka membuka pintu!" Lama sekali Jack menunggu di situ. Berjam-jam! Nyaris saja ia terlena. Tapi kedua orang tadi tidak muncul lagi. Mereka sudah pergi, lewat pintu rahasia yang terdapat dibalik permadani dinding. Sedang teman mereka yang tiga lagi, masih ada di puri. Ketika langit sebelah timur mulai terang, Jack memutuskan untuk kembali saja ke tempat persembunyiannya di atas tebing. Kiki sudah tidur, sambil bertengger di atas pundak Jack. Button sudah pergi. Jack tidak melihat anak rubah itu keluar. la begitu sibuk berpikir ketika melihat pintu gerbang tiba-tiba terbuka, sehingga lupa pada Button. Kini tahu-tahu anak rubah itu sudah lenyap. "Mudah-mudahan saja kembali ke Tassie."pikirnya. "Kalau benar begitu, ada kemungkinan pertolongan datang nanti. Aku sudah bosan di sini terus. Burung-burung rajawali sudah tidak ada lagi, sedang Dinah dan Lucy-Ann dalam bahaya. Begitu juga dengan Philip. Aku ingin tahu, bagaimana keadaannya sekarang. Mungkin Dinah dan Lucy-Ann bisa menceritakannya nanti!" Sekitar pukul delapan pagi kedua anak perempuan itu keluar dari kamar bawah tanah, disuruh ketiga orang yang masuk ke situ. Sebelumnya Dinah masih sempat menyuruh Philip masuk lagi ke baju zirah. Tapi Philip tidak mau. "Tidak! Lebih baik aku tetap di kolong tempat tidur," katanya tegas. "Sehari dalam pakaian perang yang panas itu, sudah cukup bagiku. Tolong ambilkan makanan dan minuman, lalu masukkan ke kolong. Aku akan terus di situ. Nanti kalau orang-orang itu sedang tidak ada, aku bisa berjalan-jalan sedikit supaya tubuhku tidak terlalu pegal rasanya." "Orang yang berani, biasanya bernasib baik," pikir Dinah. Menurut perasaannya, kalau ia Philip ia pasti berbuat begitu pula. "Kau benar-benar berani, bersembunyi di kolong tempat tidur yang mungkin nanti ditiduri orang-orang itu," katanya pada Philip. "Tapi hati-hati saja. jangan sampai bersin nanti!" Rupanya ketiga laki-laki itu memang hendak tidur di situ. Mereka turun ke ruangan bawah tanah, sedang Dinah dan Lucy-Ann disuruh ke luar. Laki-laki yang berjanggut hitam langsung merebahkan diri di tempat tidur. Mereka bertiga kelihatannya capek. Tampang mereka dekil, tidak enak rasanya dilihat. "Nanti malam kalian akan kami panggil lagi,"kata si janggut hitam dari tempat tidur. Ia menguap. "Ambil makanan untuk kalian dari tumpukan kaleng itu. Di atas meja ada pembuka kaleng. Sekarang pergi, tinggalkan kami di sini. Dasar anak-anak cerewet!" Dinah dan Lucy-Ann mengambil sekaleng sarden, sekaleng ikan salm, sekaleng buah pir dan sekaleng buah aprikos, lalu cepat-cepat naik ke atas. Begitu mereka keluar, dengan segera batu besar ditutup lagi. "Selamat tidur," kata Dinah mengejek. Setelah itu ia pergi mencari Jack, diikuti oleh Lucy-Ann. Jack sudah bersembunyi lagi di bawah semak dekat sarang rajawali. "Jack! Kau masih selamat? Keluarlah — untuk sementara keadaan aman, karena ketiga orang itu tidur di bawah!" kata Lucy-Ann. "Kau mau makan? Mau apa, sarden atau pir? Kedua-duanya ada!" Jack senang melihat kedua anak itu muncul. "Betulkah keadaan aman untuk sementara?"tanyanya. "Baiklah, aku ke luar. Tapi supaya aman, lebih baik berjongkok di balik batu ini Saja. Aduh, perutku lapar sekali rasanya. Kalian kemarin kan membawa biskuit?" Dinah mengambil biskuit dalam kaleng yang mereka bawa sebagai bekal kemarin, lalu mereka mulai sarapan. Aneh juga rasanya sarapan mereka. Sarden dengan biskuit, ditambah buah-buahan, sedang minumnya limun jahe. Tapi walau begitu, mereka makan dengan nikmat. Sambil makan mereka saling bertukar berita. Jack tertarik sekali mendengar Dinah menceritakan pengalaman Philip. "Wah!" katanya dengan mata bersinar-sinar."Ternyata di balik permadani dinding itu ada pintu rahasia! Tapi dari situ ke mana arahnya?" "Entah — mungkin keluarnya di lereng bukit," kata Dinah. Ia mencelupkan sepotong biskuit ke sari buah yang ada dalam kaleng, lalu mengulumnya. "Nanti dulu! Di dinding sebelah mana pintu rahasia itu?" tanya Jack. Dinah mengatakannya. "Oh, jadi berseberangan dengan tempat Philip bersembunyi dalam baju zirah? Nanti dulu — kalau begitu, pintu itu letaknya di sebelah belakang. Jadi dari situ, keluarnya ke arah belakang puri. Di belakang? Aneh! Mungkin di situ ada ruangan bawah tanah lagi." "Aduh! Jangan-jangan orang-orang itu menyimpan tawanan di situ, dan membiarkan mereka kelaparan," kata Lucy-Ann dengan segera. "Seperti yang dilakukan dulu oleh laki-laki jahat yang diceritakan Tassie pada kita. Aduh, jangan-jangan dia masih hidup — dan masih melakukan berbagai perbuatan jahat!" "Ah, mana mungkin," kata Jack menggerutu. "Kan sudah kukatakan, orang itu pasti sudah lama mati — sudah bertahun-tahun yang lalu! Kau jangan macam-macam, Lucy-Ann! Biarkan aku berpikir sebentar. Jangan ganggu aku!" Jack berpikir sambil menggigit-gigit biskuitnya. "Ya, kurasa memang begitu," katanya kemudian. "Dari pintu rahasia itu ada jalan di bawah tanah, menembus bukit di belakang puri. Aku ingin masuk, untuk memeriksa apa sebetulnya yang ada di situ. Kurasa Philip pasti akan melakukannya juga!" "Mudah-mudahan dia tidak nekat, dan bersembunyi terus di kolong tempat tidur," kata Lucy-Ann. "Teman-teman ketiga orang itu masih berkeliaran di bawah, jadi ada kemungkinan Philip akan ketahuan oleh mereka jika ia mencoba memasuki pintu rahasia "Mana Button?" tanya Dinah tiba-tiba. "Atau ia sudah pergi kemarin malam?" "Ya, akhirnya ia pergi juga," kata Jack "Tapi ke mana, aku tidak tahu! Mudah-mudahan saja kembali ke Tassie, dan surat kita sudah ditemukan anak itu." "Kata Philip, surat itu takkan ada gunanya," kata Lucy-Ann sedih. "Kita lupa, Tassie kan tidak bisa membaca." "Aduh, betul juga. Sialan, ia tidak bisa membaca," kata Jack. "Kita memang konyol! Tolol!" "Konyol - tolol! Konyol - tolol!" Dengan segera Kiki menirukan ucapan Jack. "Hidup konyol - tolol!" "Kalau kau tidak diam saat ini juga, kau sendiri yang konyol nanti!" ancam Jack. "Sudah kosongkah kaleng itu, Dinah? Jauhkan dari Kiki, kalau belum. Nanti habis semua makanan kita disikatnya." "Kasihan konyol - tolol," kata Kiki dengan sedih, sementara Dinah menarik kaleng makanan serta menepuk, paruh burung itu. "Apa yang kita lakukan hari ini?" kata Lucy-Ann. "Mau apa lagi, kecuali menunggu?" tukas Jack. "Ya, menunggu sambil berharap bahwa Tassie cukup cerdik dan menunjukkan surat kita pada orang lain," kata Dinah. "Ia tentunya tahu bahwa ia sendiri takkan bisa menolong kita. Atau mungkin ia sudah datang ke sini, lalu melihat bahwa papan jembatan kita sudah tidak ada lagi!" Anak-anak itu merasa bosan, karena tidak bisa berbuat apa-apa. Kawanan rajawali pun sudah tidak ada lagi. Mereka juga tidak membawa buku, yang bisa dibaca. Karenanya Dinah dan Lucy-Ann berkeliaran saja. Mereka berpikir-pikir berani atau tidak naik ke atas menara, lalu memberi isyarat dari situ. Tapi siapalah yang bisa melihat mereka! Paling-paling Tassie. Sedang anak itu pasti takkan tahu makna isyarat mereka! "Lagi pula, jika kalian berani naik ke menara, kalian nanti dihukum jika ketahuan," kata Jack. "Jadi lebih baik jangan mencoba-coba. Kita harus sabar menunggu, sampai Tassie datang dengan bantuan." Akhirnya hari malam kembali. Dinah dan Lucy-Ann dipanggil, disuruh masuk lagi ke ruangan bawah tanah. Mereka langsung turun, karena tahu tidak ada gunanya membangkang. Mereka takut pada orang-orang yang kelihatannya galak itu. Jack tidak kembali bersembunyi dalam semak. Ketika hari sudah gelap, ia pergi mengambil air di mata air yang terdapat dekat tembok. Ia tidak berani masuk ke dapur untuk memompa air di situ, karena takut kepergok kawanan penjahat yang mungkin akan memeriksa jika terdengar bunyi pompa digerak-gerakkan. Jack membungkuk hendak minum. Tiba-tiba ia tertegun, lalu memasang telinga. Ia mendengar bunyi yang aneh. Datangnya dari liang kecil, di mana air yang mengucur dari sumber menghilang lagi. "Uuuh! Hehh! Uahh!" Terdengar dengus napas, disertai bunyi menggeresek. Rupanya ada sesuatu yang menyusup lewat liang kecil itu. Jack kaget, lalu cepat-cepat mundur. Bab 22 TASSIE SANGAT TABAH Kemudian Jack mendengar suara Button mendengking. Tidak salah lagi, ia mendengar suara anak rubah itu! Jack membungkuk di atas liang, sambil menyorotkan senternya. Dilihatnya wajah pucat mendongak, menatapnya! Jack kaget sekali. Itu kan Tassie! Anak perempuan itu diam sesaat, lalu mulai menggeliat-geliat lagi sementara cahaya senter disorotkan ke arahnya. "Tassie! Apa yang kaulakukan di situ?" tanya Jack dengan suara pelan tapi penuh keheranan. Tassie tidak menjawab, melainkan terus bergerak maju sampai kepala dan bahunya sudah berada di luar liang. Jack membantunya. Ditariknya anak itu sampai keluar. Button menyusulnya. Anak rubah itu terikat pada tali yang dipegang oleh Tassie, sehingga tidak bisa lari. Tassie duduk di tanah. Napasnya tersengal-sengal. Kepalanya terkulai di sela lutut yang ditarik ke atas. Jack meneranginya dengan senter. Tubuh Tassie basah kuyup. Badannya kotor sekali, berlumur lumpur. Anak itu gemetar kedinginan, tapi juga karena takut. Jack menariknya supaya berdiri, lalu diajaknya ke tebing. Tassie didorongnya ke balik sebuah batu besar. Setelah itu diambilnya selimut-selimut. Tassie disuruhnya membuka pakaian yang basah, lalu membungkus diri dengan beberapa lembar selimut. Setelah itu Jack duduk merapatkan diri padanya, supaya cepat hangat tubuhnya. Dengan segera napas Tassie sudah mulai teratur kembali. Anak itu menoleh. Dipandangnya Jack sambil tersenyum sekilas. "Mana Philip?"bisik Tassie. "Ada di tempat Dinah dan Lucy-Ann," kata Jack. Ia tidak mau terburu-buru menceritakan segala-galanya. "Kau jangan terlalu banyak ngomong dulu — atur saja napasmu. Kau capek sekali!" Dirangkulnya anak itu. Kasihan Tassie! Kenapa ia sampai begitu kehabisan tenaga? Pelan-pelan tubuh anak itu mulai hangat kembali. Ia duduk sambil merapatkan diri pada Jack. "Aku lapar,” katanya. Jack memberinya biskuit serta ikan salm. Sehabis makan, Tassie meminum sari buah pir yang, masih tersisa. Kiki menirukan suara Tassie minum "Sekarang rasanya sudah lebih enak," kata Tassie. "Apakah sebetulnya yang terjadi di sini, Jack?" "Kau saja yang lebih dulu menceritakan beberapa hal kata Jack "Tapi hati-hati, jangan bicara terlalu keras. Di sini ada musuh." Mata Tassie langsung membesar. Ia memandang berkeliling dengan ketakutan. "laki-laki yang jahat itu?" tanyanya. "Maksudmu yang kauceritakan itu? Tentu saja bukan," jawab Jack. "Tassie, apakah Button mengantarkan surat kami padamu?" "Ya, betul," kata Tassie. "Jack, kemarin aku berhasil menyelinap ke sini. Maksudku hendak bermain-main dengan kalian. Tapi — papan jembatan kita tidak ada lagi! Ke mana barang itu?" "Justru itulah yang ingin kuketahui!" kata Jack dengan geram. "Lalu setelah melihat papan itu tidak ada lagi di tempatnya, apa yang kemudian kaulakukan?" "Pulang," jawab Tassie. "Tapi aku cemas memikirkan kalian. Kemudian hari ini Button datang. Aku melihat ada tali terikat ke lehernya. Setelah kuperiksa, ternyata ada surat terikat pada tali itu." "Ya, teruskan," kata Jack. "Aku — aku tidak bisa membaca," kata Tassie dengan suara sedih. "Mau kutanyakan, tidak ada orang yang bisa kutanya! Ibuku sedang marah-marah padaku, sedang Bu Mannering belum kembali. Aku tidak mau minta tolong ke pertanian. Kemudian aku mendapat akal. Button kuikat dengan tali yang agak panjang. Ke mana saja ia pergi, terus saja kuikuti. Button sama sekali tidak senang diikat Berulang kali ia berusaha memutuskan tali dengan giginya. Aku pun nyaris digigitnya!" Jack menepuk-nepuk anak rubah yang berbaring diam-diam di sampingnya. "Kasihan, ia tidak mengerti apa sebetulnya yang terjadi," katanya. "Lalu — akhirnya kau dibawanya ke sini, ya?" "Betul! Setelah berkeliaran di lereng bukit sampai aku capek setengah mati. Tidak bosan-bosannya naik turun, naik turun!" kata Tassie. "Setelah gelap, rupanya ia memutuskan untuk mencari Philip lagi. Ia langsung melesat ke atas. Cepatnya kayak anak panah!" "Kasihan Button," kata Jack. "Pasti ia bingung, ke mana Philip menghilang!" "Aku diseret-seretnya! Terus ke atas, sampai di samping sungai. Di bawah puri sungai itu menghilang dalam semacam terowongan sempit. Aduh, di beberapa bagian terowongan itu sempit sekali! Ternyata menembus tembok puri, dan sampai di sini!" "Jadi kau menyusup sepanjang terowongan itu?" tanya Jack tercengang. "Hebat, Tassie! Tapi tidakkah air menyiram tubuhmu terus?" "Memang — sampai kadang-kadang aku tidak bisa bernapas," kata Tassie. "Airnya dingin sekali, sedingin es! Tapi sebagian besar dari terowongan cukup lapang. Bagian itu menembus batu cadas yang sudah aus terkikis air. Di situ aku bisa merangkak dengan cukup leluasa. Cuma pada bagian awal dan ujungnya saja sangat sempit! Sekali aku bahkan sudah putus asa, kusangka aku macet di situ. Maju tidak bisa, tapi mundur juga tidak! Kusangka aku akan selama-lamanya tersangkut di situ, karena pasti takkan ada yang tahu aku di situ!" "Kasihan!" kata Jack sambil merangkul anak itu. "Kau benar-benar tabah, Tassie. Tunggu sampai Philip mendengar pengalamanmu, pasti ia kagum!" Tassie berseri-seri wajahnya. Diharapkannya Philip akan senang. Ia memang datang untuk menolong anak itu. Kini ia yang berganti menanyai Jack. Segala-galanya ingin diketahui olehnya, sejak keempat anak itu pergi tanpa dia. Dengan heran dan ngeri ia mendengar cerita Jack. Philip bersembunyi dalam baju zirah di ruang bawah tanah — Dinah dan Lucy-Ann terkurung di situ - kawanan penjahat berkeliaran sambil menyelinap-nyelinap tanpa diketahui untuk apa — lorong-lorong rahasia — wah, bukan main! Kedengarannya seperti mimpi saja. Tapi setidak-tidaknya Jack selamat, bersama Kiki. "Bisakah kau menyusup masuk ke terowongan ini bersamaku, untuk mencari pertolongan?" tanya Tassie kemudian. "Justru itulah yang sedang kupikirkan," kata Jack. "Kurasa sekarang saja aku pergi, Tassie, tidak usah menunggu Dinah dan Lucy-Ann dulu. Aku khawatir, keduanya nanti tidak mampu menerobos ke luar lewat terowongan air ini. Mereka pasti akan ketakutan, lalu ada yang tersangkut di dalam. Lebih baik secepat mungkin aku pergi mencari pertolongan. Sedang kau tinggal di sini dan bersembunyi dalam semak tempatku bersembunyi selama ini, sampai Dinah dan Lucy-Ann datang lagi besok" Tassie menarik napas lega. Ia memang tidak kepingin lagi menyusup-nyusup lewat liang sempit itu. Ia khawatir, seumur hidupnya akan bermimpi buruk mengenainya! Tapi ia juga tidak ingin ditinggal sendiri malam-malam di halaman dalam puri. Tapi Jack berkata, Button dan Kiki akan ditinggalnya untuk menemani Tassie. Mereka bisa tidur bertiga dalam semak. "Kau kan anak berani, Tassie," kata Jack membujuk. "Mungkin kau bisa berjumpa dengan Philip besok. Pasti ia akan heran sekali mendengar kisah pengalamanmu!" Tassie yang masih terbungkus selimut hangat, ikut mengantar Jack ke tempat dekat tembok, di mana aliran air yang menggelegak masuk ke dalam liang. Jack heran, bagaimana Tassie bisa menyusup lewat lubang sesempit itu, dengan air yang terus-menerus menyiram mukanya. "Sekarang kau cepat-cepat naik ke tebing lalu bersembunyi dalam semak di situ bersama Button dan Kiki," kata Jack. "Kau harus tidur dengan segera! Tapi usahakan jangan sampai Kiki melihat aku pergi lewat liang ini, karena nanti ia ingin menyusul!" Tassie kembali ke dalam semak. Ia meringkuk berselubung selimut Button berbaring dekat kakinya, sementara Kiki bertengger di atas perutnya, sambil menunggu Jack Dalam hati Tassie berdoa, mudah-mudahan saja Kiki tidak pergi apabila setelah beberapa waktu ternyata Jack tidak kembali. Ada kemungkinan burung kakaktua itu akan berisik nanti, apabila tahu bahwa Jack menghilang! Sementara itu Jack menyusup masuk ke dalam liang air, dengan kepala lebih dulu. Ia menggeliat-geliat memasuki terowongan itu. Bau di situ lembab dan pengap. Dengan tangan dan siku digerakkannya tubuhnya maju. Sama sekali tidak enak rasanya merangkak dengan cara begitu! "Coba Button menemukan jalan yang lebih baik untuk keluar—masuk puri," pikirnya. "Aku heran, begitu tahan Tassie merangkak di sini, sementara air terus-menerus membasahi mukanya. Anak itu memang benar-benar hebat!" Setelah merangkak agak jauh, liang tanah berubah menjadi lubang dalam batu. Menurut perasaan Jack, saat itu ia pasti sedang berada di bawah tembok puri. Terowongan yang dilalui sudah jauh lebih lebar sekarang. Jack duduk di tepinya, untuk beristirahat sebentar. Ia mengkhawatirkan rol filmnya, takut kalau rusak. Tapi ia membungkusnya dalam topi kain kedap air yang dibawa anak-anak sebagai bekal ke puri. Jack menggigil kedinginan, karena bajunya sudah basah kuyup. Selama merangkak hal itu tidak dirasakannya. Tapi begitu berhenti, ia langsung menggigil karena kedinginan. Jack melanjutkan perjalanan. Ia hanya bisa meraba-raba, karena tempat itu gelap sekali. Rasanya berjam-jam lamanya ia merangkak terus, tapi akhirnya ia sampai juga di ujung terowongan. Ia menggeliat ke luar, lalu duduk beristirahat sebentar di atas rumput padang. Seumur hidupnya ia tidak mau lagi menyusup-nyusup dalam liang seperti tadi! Menurut perasaannya, Dinah atau Lucy-Ann pasti akan tersangkut di dalamnya karena ketakutan, dan tidak bisa maju atau mundur lagi. Untung ia tadi memutuskan pergi sendiri, tanpa mengajak mereka. Jack menggigil lagi. Ia cepat-cepat berdiri. Ia tidak secapek Tassie tadi. Tapi begitu pun dirasakannya sudah payah sekali. “Kalau tidak cepat-cepat menghangatkan tubuh, bisa terserang pilek nanti," pikirnya, lalu bergegas menuruni bukit. Untung saat itu terang bulan, sehingga ia tidak sampai tersandung pada akar atau batu. Dengan langkah gontai, Jack berjalan menuju ke Pondok Musim Bunga. Akhirnya rumah itu nampak di depannya. Kelihatan atapnya berkilat keperakan kena cahaya bulan. Tiba-tiba Jack tertegun. Ada sesuatu yang aneh, menurut perasaannya. "Dari cerobong keluar asap," katanya pada diri sendiri, sambil bersandar pada sebatang pohon. "Mungkinkah Bibi Allie sudah kembali? Tidak mungkin — masa Tassie tidak mengetahuinya! Yah — kalau begitu siapa yang menyalakan api di dapur? Siapakah yang ada di dalam? Aduh, jangan-jangan salah seorang penjahat itu, yang datang untuk menyelidiki tentang Dinah dan Lucy-Ann!" Jack menyelinap, menghampiri rumah. Ia masuk ke kebun. Dilihatnya sinar lampu memancar ke luar dari salah satu jendela. Jack berjalan berjingkat-jingkat. Hatinya berdebar-debar. Ia mengintip ke dalam. Dilihatnya seseorang duduk di kursi berpunggung tinggi, yang terletak membelakangi jendela tempat Jack mengintip. Mungkinkah itu Bu Mannering? Tiba-tiba nampak asap mengepul. Asap biru. Asap tembakau! "Seorang laki-laki," bisik Jack pada dirinya sendiri. "Siapakah itu'?" Bab 23 KEJUTAN Jack masih tetap berdiri di depan jendela, sambil menggigil. Diharapkannya orang yang duduk itu sebentar lagi berdiri, supaya ia bisa melihat apakah ia salah seorang dari puri. Kalau betul, kurang ajar sekali orang itu — seenaknya saja memasuki rumah orang lain! Akhirnya Jack mengambil keputusan. Ia akan menyelinap masuk ke rumah, lalu mengintip lewat pintu dapur. Dengan begitu ia akan bisa mengetahui siapa laki-laki yang duduk di kursi itu. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan serta perasaan tegang, Jack menyelinap pergi ke balik rumah, menuju ke jendela kamar tidurnya. Jika jendela itu kelihatan tidak tertutup, ia hendak memanjat pohon yang tumbuh di dekatnya lalu masuk lewat jendela. Untung baginya, jendela itu nampak terbuka sedikit. Ia bergegas menghampiri pohon yang hendak dipanjat Karena tergesa-gesa, kakinya tersandung pada ember yang tertinggal di luar. Jack berhenti berjalan. Hatinya berdebar-debar. Aduh - jika bunyi ember jatuh terdengar oleh orang yang di dalam .... Setelah menunggu sejenak, Jack cepat-cepat pergi ke pohon yang di dekat jendela lalu memanjatnya. Dibukanya jendela dengan hati-hati. Begitu sudah terbuka, dengan cepat Jack memanjat ke dalam. Sesaat ia berdiri dalam kamarnya, nyaris tak berani bernapas. Setelah itu ia pergi ke gang yang gelap di depan kamar. la berdiri lagi sebentar di situ, sebelum meneruskan langkah menuruni tangga. Tangga itu sudah tua, sama seperti rumah itu sendiri. Ia ingat, tangga itu selalu berbunyi berderik-derik kalau dilewati. Jack turun dengan hati—hati sekali. langkah demi langkah, sambil berdoa semoga bunyinya tidak terlalu keras. Pada satu bagian, tangga itu menikung. Jack bermaksud hendak berhenti sebentar di situ sambil mendengarkan, sebelum meneruskan langkah. Tapi begitu ia sampai di tikungan, tahu—tahu ada orang menerpa dan menyambarnya! Jack disentakkan dengan keras, sehingga terjatuh ke lantai dasar. Untung anak tangga tinggal empat lagi yang masih harus dilalui. Tapi walau begitu terasa sesak juga napas Jack. Orang yang menyergapnya berdiri, lalu menyentakkan Jack supaya bangun lagi. Ia didorong masuk ke dapur. Dengan cepat Jack memandang ke arah kursi besar, untuk melihat siapa yang duduk di situ. Tapi di situ tidak ada orang duduk! Pasti orang itu yang menyergapnya. Rupanya orang itu mendengar bunyi Jack datang, lalu mengintai untuk kemudian menyergap, Jack memberontak, lalu memutar tubuh. Ia mengira, pasti berhadapan dengan salah seorang dari kawanan penjahat. Baik Jack maupun orang yang menyergapnya, sama-sama melongo. Keduanya sama-sama mundur selangkah. "Bill Smugs!" "Jack! Apa lagi maumu, menyelinap-nyelinap seperti begini? Kusangka kau tadi pencuri!" "Astaga! Sakit badanku Anda banting tadi," kata Jack sambil menggosok-gosok bagian tubuhnya yang sakit. Ia menggigil lagi. Bill memandang pakaian anak itu yang basah kuyup. Diperhatikannya mukanya yang pucat, lalu cepat-cepat ditariknya anak itu ke dekat pediangan. "Kau basah kuyup! Dari mana kau tadi? Mana anak-anak yang lain? Ketika aku datang tadi untuk menanyakan pada Bu Mannering apakah aku bisa menginap di sini untuk satu atau dua hari, kutemukan rumah kosong dan terkunci." "Lalu, bagaimana Anda bisa masuk?" tanya Jack Badannya mulai terasa hangat, karena duduk dekat api. "Ah, ada saja caraku," kata Bill mengelak. "Kusangka kalian semua sedang piknik Karenanya aku masuk, untuk menunggu kalian kembali. Tapi kalian tidak muncul-muncul. Akhirnya kuputuskan menginap saja di sini semalam, lalu besok mencari keterangan di sekitar sini untuk mengetahui ke mana kalian pergi. Ketika aku sedang duduk-duduk sambil mengisap pipa, tahu—tahu kudengar bunyi mencurigakan. Kusangka pencuri, lalu kusergap. Tahu-tahu kau yang masuk" "Soalnya aku tadi mengintip dari jendela. Aku tidak bisa melihat siapa yang duduk di kursi itu. Aku lantas bermaksud menyelinap masuk, lalu mengintip ke sini," kata Jack menjelaskan. "Wah, Bill — untung aku bertemu dengan Anda di sini. Kami sedang dalam bahaya!" "Apa maksudmu?" tanya Bill kaget. "Mana anak-anak yang lain?" "Ceritanya panjang, tapi aku harus menceritakannya dari awal mula,"‘ kata Jack "Bagaimana jika kita minum yang panas sementara aku bercerita, Bill? Aku kedinginan sekali!" Sambil berkata begitu, ia menuding teko berisi air mendidih yang terjerang di atas api. "Aku baru saja hendak mengusulkan hal yang sama," kata Bill. "Kau memerlukan minuman coklat panas, ditambah biskuit. Untung kau sudah tidak menggigil lagi seperti tadi! O ya, Bu Mannering ke mana? Dia kan tidak ikut terlibat dalam bahaya'?" "Ah, tidak — Bibi Allie sedang menjenguk Bibi Polly, yang jatuh sakit lagi," kata Jack. "Bibi Allie tidak apa—apa." Bill membuatkan minuman susu coklat untuk Jack. Diambilnya biskuit dari lemari, lalu diletakkannya ke atas meja. Sementara itu Jack sudah melepaskan pakaiannya yang basah. Ia duduk berselubung gaun kamar. "Sebetulnya aku tidak boleh membuang-buang waktu, sementara anak-anak dalam bahaya," katanya. 'Tapi aku harus menceritakan segala-galanya dulu pada Anda, lalu terserah apa yang akan Anda lakukan kemudian." "Cepatlah bercerita," kata Bill mendesak. Ia mendengarkan dengan terheran-heran, sementara Jack menceritakan petualangan selama itu. Bill terpingkal-pingkal mendengar akal Philip, bersembunyi dalam baju zirah. "Ya, memang begitulah Philip! Hebat sekali akalnya! Orang-orang itu pasti tak menyangka ada yang bersembunyi di situ!" Kemudian ia serius kembali. Asap pipanya berkepul-kepul, sementara matanya tak lepas menatap Jack. Mukanya yang memang merah nampak semakin memerah diterangi nyala api pediangan. Ubun-ubunnya yang botak berkilat-kilat. "Kisahmu ini benar-benar luar biasa, Jack," kata Bill setelah Jack mengakhiri ceritanya. "Rasanya masih banyak lagi yang perlu diketahui. Seperti apa tampang orang-orang itu? Adakah di antara mereka yang mempunyai bekas luka panjang, dari dagu sampai ke leher?" "Tidak," kata Jack sambil mengingat-ingat. "Sepanjang ingatanku, tidak ada. Tapi aku berhasil memotret seorang di antara mereka — ketika berada di dekat sarang rajawali. Tadi kan kuceritakan, aku memotret kawanan rajawali dari tempat persembunyianku dalam semak. Nah — aku sempat memotret seorang penjahat itu, ketika sedang diserang rajawali. Sebetulnya dua, tapi sayangnya yang satu kebetulan memalingkan muka." "Kau membawa fotonya?" tanya Bill bersemangat. "Aku membawa filmnya," kata Jack. Ia menuding topi kain yang tergulung rapat di atas meja. "Kusimpan di situ! Tapi belum dicuci, Bill." "Biar aku saja yang mencucinya, sementara kau tidur," kata Bill. "Kulihat kau sudah membuat kamar gelap di ujung gang, untuk mencuci sendiri filmmu. Semuanya kan sudah lengkap?" "Tapi — tapi apakah kita tidak perlu cepat-cepat menyelamatkan Dinah dan Lucy-Ann?" tanya Jack bingung. "Aku perlu pergi ke kota dulu untuk menjemput beberapa bawahanku, serta mengatur beberapa hal," kata Bill. "Jika orang-orang itu benar melakukan hal yang kuduga akan diperbuat oleh mereka, maka besar harapan kita akan bisa meringkus semuanya sekaligus. Tapi kurasa Dinah dan Lucy-Ann takkan diapa-apakan oleh mereka." "Apakah yang mereka lakukan, Bill?" tanya Jack ingin tahu. "Adakah hubungannya dengan tugas yang Anda katakan sedang menyibukkan Anda saat ini?" "Aku belum bisa mengatakannya," kata Bill. "Tapi sebentar lagi akan kuketahui juga." Ia menatap Jack. "Kalian ini memang ada-ada saja — selalu terlibat dalam petualangan. Belum pernah kukenal anak-anak macam kalian! Kurasa sebaiknya aku harus selalu berada di dekat kalian, supaya bisa ikut mengalaminya." Jack disuruhnya berbaring di sofa, lalu diselimutinya. Lampu minyak dikecilkan nyalanya. Lalu ia pergi ke gang, untuk mencuci film yang dibuat oleh Jack. Jack sudah menunjukkan rol film mana yang ada foto penjahat sedang diserang rajawali. Jack tidur pulas. la sangat capek. Ia sendiri tidak tahu berapa lama ia tidur. Tapi tiba-tiba ia dibangunkan oleh Bill yang masuk ke dapur sambil memegang segulung film yang sudah dicuci "Aku terpaksa membangunkanmu, Jack — tapi ini benar-benar hebat," katanya. Dihadapkannya film yang dipegangnya ke jendela yang terang, karena hari sudah pagi. "Jelas sekali foto orang ini. Ia berjanggut lebat. Tapi untungnya ia sedang mendongak, sehingga lehernya kelihatan jelas dari dagu sampai ke dada. Dan apa yang nampak ini?" "Suatu goresan — kelihatannya seperti bekas luka," kata Jack. Ia cepat-cepat duduk. "Tepat!" kata Bill. Ia mengambil buku catatan dari kantongnya. Dikeluarkannya sebuah foto yang terselip di situ, ditunjukkannya pada Jack. "Coba lihat foto ini — kaulihat bekas luka di dagunya, memanjang sampai ke leher?" Jack menatap foto seseorang yang tercukur licin. Pada dagu dan lehernya nampak bekas luka yang panjang. Mengerikan! "Ini orang yang itu-itu juga. Memang kelihatan lain, karena pada fotomu ia berjanggut lebat. Mungkin baru akhir-akhir ini dibiarkan tumbuh. Tapi ia tetap bisa dikenal karena bekas luka yang di leher! Sekarang aku sudah tahu pasti, mau apa orang-orang yang di puri itu! Sudah sejak enam bulan aku sibuk terus, mencari mereka!" "Siapakah dia?" tanya Jack sambil menuding foto. "Namanya yang asli, Mannheim," kata Bill, "tapi ia dikenal dengan julukan Scar-Neck, karena luka di lehernya itu. la mata-mata yang sangat berbahaya!" "Astaga!" kata Jack. "Jadi Anda selama ini mengejarnya?" "Aku ditugaskan untuk mengawasi dia dan memperhatikan segala tingkah-lakunya," kata Bill. "Tapi tidak boleh menangkap, karena kami ingin tahu apa lagi rencana jahatnya sekarang, dan siapa saja teman-temannya. Kami ingin sekali bisa meringkus seluruh kawanannya sekaligus. Tapi Scar-Neck sangat cerdik! la pandai menghilang — maksudku menyembunyikan jejak. Aku sudah berhasil membuntutinya sampai di kota di mana kalian berjumpa dengan aku. Tapi tahu-tahu ia menghilang lagi!" "Ia pergi ke puri!" kata Jack. "Tempat itu memang sangat cocok untuk dijadikan persembunyian!" "Aku perlu mengenal seluk—beluk puri itu," kata Bill sambil berpikir-pikir. "Harus kuselidiki siapa pemiliknya sekarang. Kau tahu apa yang terdapat di balik bukit itu, Jack?" "Tidak," kata Jack. Ia agak heran mendengar pertanyaan itu. "Kami belum pernah ke sana. Kenapa Anda bertanya?" "Ah, tidak apa—apa! Cuma mungkin saja kau mendengar mereka bercakap-cakap," kata Bill. "Saat ini aku belum bisa bercerita lebih banyak. Wah, senang sekali rasanya aku berjumpa dengan kalian waktu itu, lalu datang ke sini untuk menjenguk kalian!" "Aku juga senang, Bill," kata Jack "Soalnya, aku sudah benar-benar bingung! Sekarang Anda ada di sini, jadi segala—galanya bisa kuserahkan pada Anda." "Betul, Jack," kata Bill Smugs. "Sekarang aku harus berangkat ke kota lagi untuk menyampaikan laporan." "Anda naik apa ke sana," kata Jack. "Aku tadi datang dengan mobil," jawab Bill. "Sekarang kau tidur saja lagi, sampai aku kembali nanti. Aku berjanji takkan lama-lama pergi." Jack merebahkan diri kembali ke sofa. "Kurasa aku tidak jadi pilek," katanya lega. "Untung Anda menyalakan api pediangan tadi malam, Bill!" "Habis, kalau tidak begitu aku tidak bisa memasak air," jawab Bill. "Ya, kurasa kau takkan terserang pilek. Jadi nanti bisa pergi dengan aku ke puri untuk menunjukkan jalan." "Tapi bagaimana cara kita masuk?" seru Jack, sementara Bill sudah berjalan ke luar menuju mobilnya. Bill tidak menjawab. Terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan. "Ah, serahkan saja semuanya pada Bill," pikir Jack. "Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya!" Bab 24 KIKI BERAKSI Malam itu Tassie tidak bisa tenang. Ia berusaha tidur dalam semak Tapi baru saja ia terlena, tahu-tahu Kiki mulai gelisah. Dicengkeramnya perut Tassie kuat-kuat, sehingga anak itu kaget dan terbangun. "Aduh, Kiki — tenang sedikit dong," kata Tassie mengantuk Tapi Kiki tidak bisa tenang. Ia menunggu Jack Ia merasa heran, apa sebabnya anak itu belum kembali sedari tadi. Kiki mulai mengoceh dengan suara pelan. Tassie menepuk paruhnya. "Diam, Kiki! Tidurlah! Kau harus meniru Button — lihatlah, ia tidur pulas." Saat itu terdengar bunyi sesuatu di halaman dalam. Kiki mendengarkan sambil memiringkan kepala. Dikiranya Jack yang datangi "Jerangkan air!" teriak burung itu dengan gembira, lalu keluar dari semak "Jerangkan air!" Tahu-tahu nampak senter menyala. Sinarnya bergerak-gerak seolah mencari-cari. Tapi Kiki tidak kelihatan, karena ia berada di balik sebuah batu. Di halaman dalam berdiri dua orang laki-laki. Mereka mendengar jeritan Kiki. Karena tidak tahu bahwa yang bersuara itu burung kakaktua, mereka menyangka ada orang yang bercakap-cakap. "Bersihkan kakimu!" seru Kiki lagi. "Sudah berapa kali kukatakan, bersihkan kakimu?" Kedua laki-laki yang berada di halaman berbisik-bisik, mengatur rencana untuk menangkapnya. Mereka menyangka Kiki manusia! Sementara itu Kiki mulai kesal. Ia kecewa, karena ternyata yang muncul itu bukan Jack "Habis perkara," kata burung itu dengan nada sedih. Satu dari kedua laki-laki yang di halaman memungut batu, lalu melemparkannya ke arah Kiki. Kalau sampai kena, pasti mati dia. Tapi untung saja meleset! Kiki kaget. Seumur hidupnya, ia belum pernah mengalami dilempar dengan batu. Dengan segera ia terbang ke atas tembok, di belakang kedua orang itu. "Anak nakal!" katanya, "nakal, nakal!" Kedua laki-laki itu berseru karena marah. Mereka cepat-cepat berpaling. Tapi mereka tidak bisa melihat, siapa yang mengata-ngatai dari atas tembok itu. Menurut sangkaan mereka, kini mereka berhadapan dengan dua orang. Satu di atas tebing, dan yang satu lagi di atas tembok. "Ayo turun!" bentak satu dari kedua orang itu. "Jangan main-main lagi!" "Gelap, pengap, kedap!" kata Kiki berdendang, lalu turun ke halaman dalam, tidak jauh dari kedua orang itu. Mereka tidak melihatnya, karena di situ gelap. Kiki menggeram-geram, menirukan anjing. Kedua laki-laki itu terloncat ketakutan, karena suara menggeram itu kedengarannya dekat sekali di belakang mereka. "Mereka membawa anjing," kata seorang dari mereka. "Awas! Kalau perlu, tembak saja!" Terdengar bunyi letusan pistol. Tassie yang masih terus bersembunyi dalam semak, kaget setengah mati mendengarnya. Button juga kaget, lalu lari ketakutan. Anak rubah itu masih selalu terikat pada tali. Ia lari, dengan tali terseret-seret di belakangnya. Ketika ia melintas di dekat kedua orang itu, talinya menyentuh kaki seorang dari mereka. Orang itu kaget, lalu menembak lagi. Button mendengking, walau sebetulnya tidak kena tembakan. Senter dinyalakan, dan menerangi Button yang menyelinap pergi. "Itukah anjingnya? Ternyata kecil," kata orang yang memegang senter. Kiki merasa asyik sekarang. Ia terbang lagi, lalu hinggap di sebuah pohon. Di situ ia mengeong-ngeong. Bunyinya persis kucing! Kedua laki-laki itu mendengarnya sambil tercengang. "Aku bingung sekarang, tahu—tahu muncul seekor kucing," kata laki-laki yang seorang. "Aneh — kalau siang tidak ada apa-apa di sini. Jangan-jangan ada anak-anak iseng di sini!" "Hidup ratu, konyol - tolol, konyol - tolol," kata Kiki dari atas pohon. lalu tertawa terkekeh-kekeh. Setelah itu ia berkotek seperti ayam betina, disambung dengan jeritan burung rajawali. Kedua laki-laki itu mulai merasa ngeri. "Yuk, kita masuk saja," kata seorang dari mereka dengan gelisah. "Tempat ini berhantu!" Kiki meneriakkan jeritannya yang paling istimewa. Persis bunyi peluit kereta api. Mendengar bunyi itu, kedua laki-laki itu tidak tahan lagi. Mereka lari pontang-panting masuk ke puri, seolah-olah takut ditabrak kereta api! Kiki tertawa lagi. Bunyinya terdengar seram di halaman yang gelap itu. Bahkan Tassie pun ikut merasa takut mendengarnya. Padahal ia tahu, yang berbunyi itu Cuma seekor burung kakaktua yang suka iseng. Setelah itu keadaan tenang kembali. Kiki terbang sebentar, mencari Jack. Setelah itu ia kembali ke semak tempat Tassie bersembunyi. Tassie senang melihat Kiki datang. "Button sudah lari," katanya pada burung itu. "Kurasa ia keluar lagi, lewat terowongan air. Sekarang kau harus tidur, Kiki! Aku capek sekali." Dan Kiki kini menurut. Dikepitkannya kepalanya di bawah sayap. Setelah mendesah sekali, ia langsung tertidur. Tassie pun ikut tidur. Tinggal malam yang sunyi—sepi. Bunyi yang terdengar cuma percikkan air yang mengucur dari sumber di pojok halaman. Keesokan paginya Tassie terbangun karena mendengar suara Dinah dan Lucy-Ann. Kedua anak itu malam sebelumnya tidur nyenyak dalam ruangan bawah tanah, tanpa ada yang mengganggu. Sedang Philip masih tetap bersembunyi di kolong tempat tidur. la sudah bosan diam terus di bawah tanah. Ia ingin lari ke luar, apabila Dinah dan Lucy-Ann disuruh naik kembali. Tapi Dinah berhasil meyakinkannya, bahwa jika ia nekat juga lari, ia akan membahayakan dirinya sendiri. Dan juga membahayakan Dinah serta Lucy-Ann. Akhirnya sambil menggerutu Philip masuk lagi ke kolong tempat tidur. Untung di situ cukup banyak makanan, disediakan oleh kedua anak perempuan itu. Kini Dinah dan Lucy-Ann sudah berada di halaman dalam lagi. "Jack!" seru Lucy-Ann dengan suara pelan, ketika sudah sampai di dekat semak. "Jack! Kau ada di situ?" Lucy-Ann tidak tahu bahwa Jack sudah pergi sejak malam sebelumnya. Tassie terbangun mendengar Lucy-Ann memanggil-manggil. Ia langsung duduk. Nyaris saja ia mengaduh, karena tertusuk duri semak. "Jack," panggil Lucy-Ann sekali lagi. Ditariknya ranting semak ke samping, lalu memandang ke dalam. "Ah, kau rupanya yang di sini, Tassie! Bagaimana kau bisa tahu-tahu ada di sini?" . Tassie tertawa nyengir. Perasaannya sudah enak lagi, setelah tidur nyenyak semalaman. Tapi mukanya dekil sekali, penuh lumpur dan goresan. Rambutnya acak-acakan. Kaku kena lumpur. Ia sudah mengenakan pakaiannya yang compang-camping lagi. "Hai," katanya, "aku datang untuk menolong kalian. Aku menerima surat kalian, tapi sayang aku tidak bisa membaca. Karenanya aku langsung saja kemari, untuk memeriksa apa yang terjadi. Tapi papan yang di kamar tingkat atas ternyata sudah tidak ada lagi. Akhirnya aku mengikuti Button, menyusup masuk ke sini." "O ya?" kata Dinah. "Lewat mana ia masuk, Tassie?" Kedua anak perempuan itu melongo, ketika mendengar keterangan Tassie. "Jadi kau merangkak-rangkak lewat terowongan sempit dan gelap? Hih, berani sekali kau ini," kata Lucy-Ann. Ia bergidik membayangkannya. "Kalau aku disuruh begitu, pasti takkan sanggupi" "Kurasa aku pun takkan mampu," kata Dinah. "Kau memang hebat, Tassie" Tassie bangga mendengar pujian itu. Dipandangnya kedua anak perempuan itu sambil tersenyum senang. "Tapi mana Jack?"’ tanya Lucy-Ann. "Ia pergi lewat terowongan air, untuk mencari bantuan," kata Tassie. "Katanya padaku tadi malam, aku harus bilang pada kalian bahwa ia menyesal tidak sempat mengucapkan apa—apa sebelum pergi. Tapi ia menganggap lebih baik ia berangkat dengan segera!" "Wah — kenapa ia pergi tanpa mengajak aku," kata Lucy-Ann kecewa. "Kau kan baru saja mengatakan sendiri, takkan mampu menerobos ke luar lewat terowongan sesempit itu," kata Dinah. "Untung kau datang, Tassie — sehingga Jack tahu jalan ke luar. Pasti ia akan datang lagi ke sini, membawa bantuan untuk kita. Syukurlah!" "Tapi bagaimana mcreka bisa masuk?" tanya Lucy-Ann sangsi. "Kan bisa saja berbekal papan lagi," kata Tassie. Saat itu Kiki ikut mencampuri pembicaraan. "Jangan menyedot hidung," ocehnya ramah. "Mana sapu tanganmu?" "Wah — Kiki tadi malam lucu sekali!" kata Tassie, ketika teringat kembali pada kejadian malam sebelumnya. Ia lantas menceritakannya. Lucy-Ann malah takut mendengarnya. "Aduh, orang-orang itu berbahaya sekali," keluhnya. tidak mau lebih lama di sini. Aku ingin ikut minggat. Kurasa aku sanggup merangkak dalam terowongan basah itu, Dinah. Kau juga ikut, beserta Tassie. Kita bersama-sama minggat!" "Apa? Dan Philip ditinggal seorang diri di sini?" seru Tassie. Ia tersinggung. "Pergi saja jika kalian mau, tapi aku tetap di sini." "Ya, tentu saja kita tidak bisa meninggalkan Philip sendiri di sini," kata Dinah. "Ayo, cuci mukamu sebentar, Tassie! Tampangmu jorok sekali. Kain pel saja mungkin lebih kelihatan bersih! Dan pakaianmu — lihatlah, sudah dekil, compang-camping pula!" "Apa boleh buat," kata Tassie. "Dalam terowongan itu payah! Berulang kali pakaianku tersangkut. Tapi aku mau mencuci muka, jika menurut perasaanmu keadaan cukup aman." "Ah, lebih baik jangan," kata Dinah setelah berpikir sebentar. "Ada kemungkinan 0rang-orang itu datang dan melihatmu, lalu langsung tahu bahwa kau bukan salah seorang dari kami. Kau menunggu saja di sini sementara kami mengambilkan air. Kau nanti bisa membersihkan badan di dekat semak." "Setelah itu kita sarapan pagi," kata Lucy-Ann, yang sudah merasa lapar. Agak repot juga membersihkan tubuh Tassie. Soalnya, Dinah dan Lucy-Ann terpaksa bolak-balik mengambil air, yang diisi dalam botol bekas limun jahe, serta dalam cangkir kardus. Tapi dengan bantuan sapu tangan, akhirnya mereka berhasil juga mencuci lumpur yang melekat di muka dan tangan Tassie. Setelah itu mereka sarapan. Kiki ikut makan. Sedang Button tidak nampak Menurut sangkaan anak-anak, Button pasti sudah menyusul Jack ke luar. "He! Lihatlah — kawanan rajawali datang lagi!" seru Dinah dengan tiba-tiba. Tassie mendongak dengan penuh perhatian. Dilihatnya tiga ekor burung rajawali terbang menurun, lalu hinggap di pinggiran tebing. Mereka bertengger di situ, sambil memandang ke bawah. Memperhatikan halaman dalam dengan sikap anggun. "Anak mereka sudah sama pandai terbangnya seperti induk dan bapaknya, ya?" kata Lucy-Ann, lalu melemparkan sepotong biskuit pada anak burung yang sudah besar itu. Tapi potongan biskuit itu sama sekali tak diacuhkan olehnya. Ia tetap memandang ke bawah. Kelihatannya seperti sedang merenung, dengan kening berkerut. "Coba Jack ada di sini sekarang, pasti ia sudah memotret mereka," kata Lucy-Ann. "Kameranya masih ada dalam semak, tapi aku tidak berani memakainya. Kalau nanti hujan, bagaimana dengan kamera itu, Dinah?" "Ah, mana mungkin hujan," kata Dinah. Tassie tidak sependapat. "Rasanya nanti akan ada badai," katanya. "Mungkin juga hujan badai. Mudah-mudahan saja kita sudah tidak di sini lagi, karena seram sekali kelihatannya apabila ada badai. Guruh terdengar bergulung-gulung di puncak bukit, dan kilat sambar-menyambar!" "Kurasa sebelum hujan, kita akan sudah diselamatkan," kata Dinah. "Mestinya sebentar lagi Jack sudah muncul dengan membawa bantuan!" Bab 25 TENGAH MALAM Jack tidur dengan tenang selama beberapa jam lagi. la baru terbangun ketika Bill kembali dengan mobilnya. Ia membawa empat orang teman. Mereka kelihatannya galak-galak. Tapi nampak jelas bahwa Bill pemimpin mereka. Bill masuk ke dapur, sementara anak buahnya ditinggal di luar. "Nah, kau sudah bangun lagi?" katanya. "Kau mau makan'? Sekarang sudah pukul satu siang." "Astaga, betul!" seru Jack kaget. "Ya, aku sudah lapar sekali." "Kau berpakaian saja dulu, sementara kupanggil seorang anak buahku ke dalam untuk menyiapkan makanan untuk kita semua," kata Bill; "Kurasa Bu Mannering takkan keberatan bahwa kita hari ini meminjam dapurnya." "Kita akan segera berangkat ke puri'?" tanya Jack, sambil berdiri untuk pergi berganti pakaian di atas. "Tidak, baru nanti malam," kata Bill. "Bulan baru akan terbit apabila sudah agak larut. Kita akan berangkat menjelang tengah malam, sementara masih gelap. Kurasa pada siang hari para penjahat pasti menempatkan salah seorang untuk menjaga." "Wah — anak-anak pasti bingung, karena terlalu lama menunggu kita," kata Jack. "Apa boleh buat," kata Bill. "Yang lebih penting adalah masuk ke dalam tanpa ketahuan." Jack cepat-cepat berganti pakaian. Hawa saat itu panas sekali. Padahal matahari tidak memancar, karena tersembunyi di balik awan gelap. Napas Jack terasa sesak. Padahal ia tidak berbuat apa-apa saat itu. "Kelihatannya akan turun hujan lebat," pikirnya. "Tapi mudah-mudahan saja bukan hari ini. Anak-anak pasti ketakutan, karena sendirian di atas." Saat itu terdengar langkah-langkah ringan menaiki tangga. Button muncul dalam kamar Jack, dengan ekor yang tebal dikibas-kibaskan kian-kemari. Matanya menatap Jack, seolah-olah hendak berkata, "Wah, kau ini keluyuran terus rupanya! Aku tidak tahu di mana harus mencarimu — di puri atau di sini! Tapi aku kepingin ke tempat Philip." "Kau masih mencari si Jambul, ya?" kata Jack sambil menepuk-nepuk kepala Button, yang langsung berguling seperti anjing. "He, Bill! Kau sudah melihat anak rubah kami?" "Pantas, tadi ada sesuatu yang seperti kilat melesat masuk ke dapur lalu langsung naik ke atas," seru Bill dari bawah, "tapi aku tak sempat melihat apa itu! Turunlah ke bawah, dan bawa dia bersamamu." Jack turun sambil menggendong Button. Bill senang melihat anak rubah itu. Sementara makan, Bill mengajukan berbagai pertanyaan tentang puri serta orang-orang yang ada di situ. Begitu pula tentang kamar tersembunyi. Jack menjawab sebisa-bisanya. Ia merasa yakin Bill bermaksud hendak masuk ke puri lalu menangkap orang-orang itu. Tapi Jack tidak bisa membayangkan, dengan cara bagaimana! "Mereka kelihatannya sangat berbahaya," katanya pada Bill. "Maksudku - mungkin mereka bersenjata." "Jangan khawatir, bukan mereka saja yang begitu," kata Bill dengan geram. "Scar-Neck itu sudah lama kukenal. Ia biasa merencanakan segala sesuatu dengan matang. Ia mestinya sangat jengkel, ketika menjumpai Dinah dan Lucy-Ann dalam kamar tersembunyi itu! Kurasa karenanya ia lantas mempercepat pelaksanaan rencananya!" Jack mendengarnya dengan bersemangat. "Petualangan ini makin menegangkan saja perkembangannya," katanya senang. "Ya — dan pada akhirnya ada yang akan bernasib buruk," tukas Bill. Sambil menunggu malam, Jack mencuci rol film yang selebihnya. Foto-foto yang dibuatnya ternyata berhasil semua. Burung-burung rajawali nampak jelas sekali — terutama anak mereka. "Coba lihat yang ini, Bill!" kata Jack dengan gembira. “Wah, bagus sekali!" kata Bill mengagumi. "Kau harus menawarkannya pada majalah bergambar yang hebat Jack. Pasti mereka mau membeli, dan dengan honor yang baik pula. Kalau begini terus perkembanganmu, tak lama lagi kau pasti akan menjadi juru foto kenamaan!" Jack merasa bangga. Senang rasanya apabila bisa menjadi terkenal berkat burung—burung yang disayanginya. Pikirannya lantas melayang. Ia teringat pada Kiki. Burung kakaktua iseng itu pasti kesal, setelah menyadari bahwa ia tidak ada lagi di atas. Tapi biarlah — kan ada Tassie di sana. Dan Tassie juga sangat sayang pada Rasanya lambat sekali hari berlalu. Setelah makan sore Jack mulai mengantuk lagi. Bill menyuruhnya tidur sebentar. "Tadi malam kau payah sekali," kata Bill. "Jadi lebih baik kau tidur lagi beberapa jam, karena nanti malam kami memerlukan bantuanmu. Saat itu kau perlu segar kembali." Jack menggelar selimut di kebun, lalu tidur di atasnya. Di situ hangat. Anak buah Bill sehari itu main kartu saja kerjanya. Mereka tidak banyak bercakap-cakap. Semua sudah membuka jas. Kemudian menyusul kemeja mereka. Hawa memang panas sekali saat itu. Bernapas pun sulit rasanya. Menjelang malam, Jack terbangun. Ia langsung mendatangi Bill. "Bagaimana kalau kita berangkat sekarang saja?" desaknya. "Naik ke puri agak lama juga nanti!" "Sejauh yang mungkin, kita akan naik mobil ke sana," jawab Bill. "Anak buahku memang ulet, tapi mereka tidak suka disuruh mendaki gunung! Kita akan melalui jalan ke atas sampai ke bagian yang longsor tanahnya. Setelah itu kita berjalan kaki." Ketika sudah benar-benar gelap, mereka semua masuk ke mobil Bill, yang langsung berangkat mendaki bukit. Menurut perasaan Jack bunyi mesin mobil berisik. Tapi Bill menenangkannya. Orang-orang yang di puri takkan bisa mendengarnya! "Satu-satunya yang agak mencemaskan bagiku, adalah Philip yang ada di ruang tersembunyi itu," kata Bill. "Jika nanti terjadi pergumulan, yang menurut perasaanku mungkin sekali terjadi, aku tak mau ada anak-anak yang terlibat." "Bill!" kata Jack dengan nada tersinggung. "Kami kan yang menyebabkan Anda bisa ikut dalam petualangan ini!" "Ya, aku tahu," kata Bill sambil tertawa. "Tapi kalau nanti kalian ada di dekat-dekat tempat pergumulan, kami bisa terganggu dalam bergerak!" "Apakah rencana Anda, Bill?" tanya Jack ingin tahu. "Ceritakan dong! Kenapa tidak, sih?" "Aku sendiri juga belum tahu pasti," kata Bill. "Tergantung keadaan nanti! Tapi secara kasarnya, mula-mula masuk ke ruangan bawah tanah sementara mudah-mudahan Dinah dan Lucy-Ann yang ada di situ, dan bukan kawanan penjahat .... " "Lalu membebaskan keduanya!" potong Jack. "Philip juga, kan?" "Tentu saja —itu jika Philip mau disuruh pergi bersama mereka!" kata Bill. "Tapi sebelumnya, ia harus menunjukkan dulu pintu rahasia yang ada di balik permadani dinding. Dan aku punya firasat, setelah itu ia pasti ingin ikut dengan kami!" "Tentu saja dong," kata Jack. "Aku juga, terus terang! Aku tidak mau disuruh pergi, kalau bisa. Pokoknya terlebih dulu Dinah dan Lucy-Ann harus diselamatkan keluar dari puri. Lalu aku dan Philip akan menggabungkan diri dengan kalian!" "Aku ingin menyelidiki ke mana kita pergi lewat pintu rahasia itu," sambung Bill. "Kurasa aku sudah tahu, tapi aku ingin meyakinkannya. Kecuali itu masih ada beberapa hal lagi yang ingin kuselidiki, tapi jangan sampai ketahuan para penjahat yang di puri. Sayang mereka berbicara dalam bahasa yang tidak dikenal oleh Philip. Coba ia memahaminya, pasti ia bisa mengetahui hal-hal yang ingin kami selidiki!" "Kalau begitu bagaimana cara Anda menyelidikinya sekarang, Bill?" tanya Jack. "Dengan cara sama seperti yang dilakukan Philip," kata Bill sambil tertawa. "Aku bersama anak buahku akan bersembunyi dalam baju zirah, lalu mendengarkan perembukan para penjahat dengan diam-diam!" "Wah! Sama sekali tak terpikir olehku kemungkinan itu!" kata Jack. "Bill — menurut Anda, Anda bisa melakukannya? Bolehkah aku ikut bersembunyi di situ, bersama Philip?" "Kita lihat saja nanti," kata Bill. "Akal Philip, bersembunyi dalam pakaian perang jaman kuno itu baik sekali, walau pada mulanya ia memaksudkannya sebagai lelucon untuk membuat kau kaget. Nah —— kita sekarang sudah sampai di tempat tanah longsor rupanya!" Kenyataannya memang begitu. Semuanya turun dari mobil. Jack disuruh jalan paling depan. Diajaknya Bill dan anak buahnya menyusur jalan kelinci, sambil menerangi jalan itu dengan senter. Tidak gampang berjalan dalam gelap di situ. Mereka berjalan sambil membisu, karena Bill melarang bercakap-cakap. Button berlari-lari di samping Jack Anak rubah itu sudah gembira lagi, karena berharap akan bisa berjumpa dengan Philip. Hawa panas sekali. Semuanya berjalan dengan napas terengah-engah. Muka basah berkeringat Baju Jack menempel ke tubuhnya. Sekali-kali terdengar bunyi guruh di kejauhan. "Kelihatannya akan terjadi badai hujan nanti," kata Jack dalam hati. Untuk kesekian kalinya ia menyeka keringat yang membasahi kening, supaya jangan sampai masuk di mata. "Mudah-mudahan saja Dinah dan Lucy-Ann sudah kembali berada dalam ruangan bawah tanah, sehingga tidak mendengar bunyi guruh. Tapi Tassie kurasa terpaksa ditinggal di halaman dalam puri, supaya jangan sampai terlihat oleh para penjahat," Mereka mendaki terus, sampai akhirnya tiba di sisi tembok puri. Jack berhenti. "Kita sudah sampai di tembok puri," bisiknya. "Sekarang bagaimana Anda hendak masuk, Bill?" "Mana pintu satu lagi yang kauceritakan tadi — bukan pintu depan yang besar, yang menghadap ke lereng dan yang dipakai kedua penjahat masuk! Tapi pintu yang lebih kecil," kata Bill. "Bisa saja kita ke sana — tapi kan sudah kukatakan, pintu itu terkunci," kata Jack. Diduluinya Bill serta anak buahnya berjalan. Menyusur tembok, lalu menikung di sudut. Mereka sampai di depan pintu yang dimaksudkan oleh Bill. Pintu itu kokoh sekali, terpasang rata ke dinding. Tepi atas daun pintu melengkung, mengikuti bentuk tembok yang merupakan ambangnya. Bill mengambil senternya, lalu menyorotkannya ke pintu. Kemudian berhenti pada bagian kunci. Digamitnya salah seorang anak buahnya, disuruh mendekat. Orang itu datang, lalu mengeluarkan seberkas anak kunci dari kantongnya. Dicobanya satu per satu dengan cekatan. Tapi tidak ada yang cocok. "Tidak bisa, Sir," bisiknya pada Bill. "Kunci ini bukan model kuno. Kelihatannya belum lama dipasang. Saya takkan bisa membukanya dengan kumpulan anak kunci ini." Jack mendengarkan dengan perasaan kecewa. Dengan begitu, Bill kan tidak bermaksud hendak mendobrak pintu? Kalau itu yang dilakukan, para penjahat dengan segera akan mencium adanya bahaya. Bill memanggil anak buahnya yang lain. Orang itu datang dengan sebuah alat berbentuk aneh, kelihatannya seperti kaleng kecil dengan pipa yang agak besar di ujungnya. Jack memandang alat itu dengan heran. "Kalau begitu kau saja yang mencoba, Jim," kata Bill. "Mulailah, tapi kalau bisa jangan sampai berisik. Kalau kusenggol, kau harus berhenti dengan segera!" Terdengar bunyi mendesis, keluar dari kaleng itu. Semburan nyala biru menyusul dari ujung pipa. Jack sampai kaget mendengarnya. Laki-laki yang memegang alat itu mengarahkan nyala api ke daun pintu, sedikit di atas lubang kunci. Jack memperhatikan dengan kagum. Nyala api itu membakar habis kayu pintu di tempat yang diarahkan! Ternyata nyala itu sangat kuat. Orang yang memegang alat itu bekerja dengan tenang. Dikitarinya kayu sekeliling lubang kunci dengan nyalanya. Dan bagian kayu yang tersentuh, langsung terbakar sampai berlubang. Sekarang barulah Jack melihat, apa sebetulnya yang hendak dilakukan. Dengan membakar kayu sekeliling pengunci pintu, daun pintu nanti bisa dibuka dengan meninggalkan pengunci pintu di tempat semula! Hebat juga akal itu, pikir Jack. "Sekarang kita masuk," kata Bill, sambil mendorong daun pintu pelan-pelan sehingga terbuka. "Semua sudah siap?" Bab 26 BERSEMBUNYI Tanpa bersuara sedikit pun, mereka masuk satu per satu. Orang yang paling belakang masuk menutup pintu kembali, lalu mengganjalnya dengan sepotong kayu supaya jangan terbuka dengan tiba-tiba. Halaman dalam pun mulai kelihatan terang, karena bulan sudah muncul. Tapi awan mendung yang tebal berulang kali menutupi. "Kuperiksa sebentar, apakah Tassie masih ada dalam semak," bisik Jack. "Kita harus menanyakan kabar terakhir dari dia, dan nanti ia harus ikut lari bersama Dinah dan Lucy-Ann, begitu ada kesempatan baik. Ia bisa mengantar mereka kembali ke Pondok Musim Bunga." Bill menunggu di tempat gelap bersama anak buahnya, sementara Jack pergi ke atas tebing. Ia memanjat menuju semak Kedatangannya disambut teriakan nyaring. "Jerangkan air. Sudah berapa kali ku..." "Sssst. Kiki," bisik Jack dengan panik. Didengarnya seseorang bergerak dalam semak Jack memanggil dengan suara tertahan. "Kaukah itu, Tassie? Ini aku — Jack!" Dengan gembira Tassie merangkak ke luar, karena selama itu ia merasa sepi dan ketakutan. "Aduh, Jack! Kau kembali lewat liang air, seperti aku? Kau membawa bantuan atau tidak?" "Ya — Bill Smugs ada di sini, bersama beberapa orang anak buahnya," bisik Jack. "Kau bersama Dinah dan Lucy-Ann harus cepat-cepat lari, pulang ke rumah. Sedang aku serta Philip tetap di sini, untuk melihat kejadian selanjutnya. Itu jika diizinkan oleh Bill!" "Tapi bagaimana kau bisa menghubungi Dinah dan adikmu?" tanya Tassie. "Kau kan tahu, mereka ada di dalam mangan bawah tanah, bersama Philip." "Itu soal gampang," kata Jack. "Kita tarik saja pasak yang terpasang di dinding, lalu mereka kita suruh keluar! Setelah itu kau harus cepat-cepat membawa mereka turun ke lembah!" "Aku ingin tinggal di sini, bersama Philip," kata Tassie berkeras. "Lagi pula, sebentar lagi akan ada badai hujan. Aku tidak mau menuruni bukit, kalau ada petir dan kilat di sekelilingku." "Yah — pokoknya kau harus menuruti perintah Bill," kata Jack. "Mungkin kalian sudah sampai di bawah sebelum badai. Bagaimana keadaan kedua anak perempuan itu, Tassie? Baik-baik saja?" "Ya, tapi mereka merasa bosan di sini terus," kata Tassie. "Aduh, Jack — kemarin malam sesudah kau pergi Kiki berisik sekali. Para penjahat mendengarnya lalu menembak! Aku sampai setengah mati ketakutan!" "Astaga!" kata Jack kaget. "Untung kau tidak kena, Tassie! Bisa saja kau terserempet peluru waktu itu!" "Tadi Dinah dan Lucy-Ann turun lagi ke kamar bawah tanah, ketika mereka dipanggil masuk," kata Tassie melaporkan. "Tapi mereka ditanyai macam-macam sebelum itu. Para penjahat itu kasar sekali caranya bicara, sampai Lucy-Ann menangis ketakutan. Soalnya, para penjahat itu mengira masih ada orang lain di sini, setelah mendengar Kiki mengoceh kemarin malam. Akhirnya Dinah terpaksa mengaku. Dikatakannya, yang- terdengar bercakap-cakap itu seekor kakaktua, yaitu Kiki. Setelah itu barulah para penjahat puas." "Yuk — kita mesti datang ke tempat Bill, dan menceritakan kesemuanya ini," ajak Jack. "Mereka menunggu di sana. Itu, di sana! Mereka itu anak buah Bill semuanya!" Saat itu bulan muncul lagi dari balik awan. Karenanya Jack dan Tassie terpaksa memilih tempat-tempat yang gelap, sambil berjalan mendatangi Bill. Mereka berhati-hati sekali, karena takut ketahuan para penjahat. "Di manakah mereka?" bisik Jack pada Tassie. "Apakah berada dalam ruangan bawah tanah — atau berkeliaran dalam puri?" "Sepanjang pengetahuanku, mereka tidak ada dalam puri. Di halaman sini juga tidak," kata Tassie. "Mungkin dalam ruangan bawah tanah! Kau nanti apakah tidak harus berhati—hati, pada saat menarik pasak untuk membuka lubang di lantai?" "Ya, tentu saja," kata Jack. "Nah, Tassie, inilah sahabat kami, Bill Smugs. Ini Tassie, Bill- anak yang kuceritakan padamu." Bill mengajukan beberapa pertanyaan pada Tassie. Anak itu menjawab dengan malu-malu. Menurut perkiraannya, para penjahat mungkin sedang berada dalam ruangan tersembunyi di bawah tanah. Wah — mereka pasti kaget nanti, apabila tahu-tahu batu besar di atas kepala mereka tergeser, lalu mereka melihat ada beberapa orang berdiri di ujung atas tangga! "Sekarang dengar baik-baik," kata Bill. "Jack, kau harus menarik pasak yang membuka lubang di lantai. Salah seorang anak buahku berdiri di sampingmu, untuk melihat caramu melakukannya. Soalnya, siapa tahu kita perlu melakukannya lagi! Lalu begitu jalan masuk ke bawah sudah terbuka, aku bersama anak buahku akan berseru, menyuruh orang-orang yang di bawah supaya naik. Kami akan menjaga di atas dengan pistol yang siap ditembakkan!" "Astaga!" kata Jack. Tubuhnya merinding karena asyik. "Tapi hati-hati, Bill — kedua anak perempuan itu pasti sangat ketakutan!" "Aku bisa berseru pada mereka supaya menyingkir," kata Bill. "Serahkan saja padaku! Aku berjanji, kedua anak perempuan itu takkan cedera, Dengan cepat kami akan membawa mereka naik ke atas — lalu kau, Tassie kau membawa mereka menuruni bukit, kembali ke rumah. Mengerti?" "Aku ingin tinggal bersama Philip di sini," kata Tassie. Ia masih tetap berkeras. "Tidak bisa, Tassie," kata Bill. "Besok kau bisa berjumpa lagi dengan dia. Nah — semua sudah memahami tugas masing-masing?" Dengan berhati-hati mereka kemudian maju, menghampiri bangunan utama puri yang gelap. Bulan sudah menghilang kembali di balik awan tebal. Bunyi guruh terdengar kembali. Bunyinya masih jauh. Mereka melangkah, masuk ke serambi puri. Dengan cepat Jack menyelinap ke bagian belakang, diikuti seorang anak buah Bill. Sementara itu Tassie menunjukkan tempat di lantai yang batunya nanti akan tergeser kalau pasak sudah ditarik. Bill serta sisa anak buahnya menunggu di situ, sementara Jack menarik pasak yang terpasang di dinding. Terdengar bunyi gemeretak — dan kembali nampak batu besar tergeser ke bawah, lalu ke samping. Sebuah lubang besar menganga di depan mereka. Kelihatan anak tangga menuju ke bawah. Cahaya lampu minyak memancar ke atas. Bill berdiri di ujung atas tangga, sambil mendengarkan dengan seksama. Dari arah bawah sama sekali tidak terdengar apa-apa. Jack berjingkat-jingkat menghampirinya. "Mungkin yang ada di situ cuma Philip serta kedua anak perempuan," bisiknya. "Mungkin orang-orang itu sudah pergi lagi, lewat pintu rahasia di balik permadani." Bill mengangguk. Ia berseru ke bawah, dengan suara lantang. "Siapa ada di bawah? Ayo jawab!" Terdengar suara bernada takut. Suara Dinah. "Cuma kami sendiri! Siapa itu?" "Dinah! Ini kami — aku dan Bill Smugs," balas Jack, sebelum Bill sempat mencegah. "Kalian sendiri di situ?" "Ya!" Suara Dinah kini terdengar lebih bersemangat. "Bill ada di situ, bersamamu? Bagus!" Jack bergegas menuruni tangga, disusul oleh Bill serta anak buahnya. Seorang dan mereka disuruh menjaga di atas. Sesampai di bawah Bill langsung mencari pasak yang ada di dinding. Ditariknya pasak itu, sehingga batu besar bergeser menutup lubang kembali. la menunggu sebentar. Kemudian batu besar itu tergeser lagi membuka lubang. Orang yang ada di atas menarik pasak di dinding, sesuai dengan instruksi Bill padanya. Bill hendak meyakinkan bahwa mereka bisa keluar masuk dengan leluasa! Lucy-Ann bergegas mendatangi Jack lalu merangkulnya. Air matanya berlinang-linang. Dinah memandang Bill Smugs sambil nyengir. Walau sebetulnya ia malu, tapi akhirnya ia merangkul orang itu. Begitu gembira rasanya melihat pertolongan datang. "Kita tidak boleh membuang—buang waktu," kata Bill "Mana Philip?" "Aduh, Bill - Philip tidak ada lagi di sini!" Kata Lucy-Ann sambil memegang lengan orang itu erat-erat, "Ketika kami masuk lagi ke sini tadi, tahu-tahu ia sudah tidak ada lagi! Entah ke mana perginya. Mungkin ia tertangkap, atau ia pergi sendiri, kami tidak tahu! Ia sama sekali tidak meninggalkan surat untuk memberitahukan. Tapi menurut kami, pasti ia masuk ke lorong rahasia yang ada di balik permadani." "Bill, orang-orang itu sebentar lagi datang," kata Dinah dengan tiba-tiba. "Aku teringat, tadi kudengar dua di antara mereka berbicara dalam bahasa Inggris. Kata yang satu, malam ini juga mereka akan mengadakan pertemuan terakhir, di sini. Jadi bisa saja setiap saat mereka datang lagi. Soalnya, di ruangan ini mereka menyimpan peta atau entah apa yang selalu mereka pelajari dengan seksama." "Di mana tempatnya?" tanya Bill dengan segera. Dinah menganggukkan kepalanya ke arah laci-laci yang terkunci. "Di situ,’ katanya. "'Tapi laci-laci itu selalu mereka kunci. Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Bill?" "Aku semakin bertambah mengerti sekarang," kata Bill dengan geram. "Sekarang dengar baik-baik, Dinah! Kau serta Lucy-Ann harus segera ikut dengan Tassie, pulang ke rumah. Kau harus tetap di situ sampai kami kembali. Mengerti? Kalian bisa keluar lewat pintu samping, yang sudah kami bongkar. Orang yang kutinggal di atas akan mengantarkan kalian sampai ke sana. Tapi kalian harus pergi dengan segera!" "Tapi — tapi..." Dinah tidak ingin pergi sendiri, tanpa Philip. "Tidak ada tapi," kata Bill. "Aku yang memimpin di sini, dan kau harus melakukan apa yang kuperintahkan! Sekarang pergilah! Besok kami pasti kembali." Ketiga anak perempuan itu menaiki tangga batu ke atas. laki-laki yang menjaga di atlas mengantar mereka sampai di depan pintu samping puri. "Kalian pasti tahu jalan ke bawah?" gumamnya. Ia sendiri tahu pasti, takkan mungkin sanggup menemukan jalan yang harus dilewati. Tapi itu soal gampang bagi Tassie! Dengan mata tertutup pun mungkin ia masih sanggup. Ketiga anak perempuan itu pergi, sementara pengantar mereka kembali ke tempat penjagaannya. Lubang di lantai sudah ditutup lagi. Di bawah, Bill, Jack dan 0rang-orang yang lain bergegas memakai baju zirah. Bill berniat hendak ikut menghadiri pertemuan Scar-Neck yang berikut dengan kawan-kawannya! Jack merasa lega, melihat Bill serta anak buahnya semua membawa pistol. Orang-orang itu tidak banyak bicara. Belum pernah Jack berjumpa dengan kelompok manusia yang begitu diam. Jack disuruh memakai baju zirah yang terpasang paling belakang di ujung ruangan. Bill tidak ingin anak itu terlalu dekat pada mereka, karena khawatir akan mengalami cedera jika nanti terjadi perkelahian. Jack gemetar karena tegang dan asyik! Kiki tidak ada di situ. Tassie membawanya naik ke atas. Burung kakaktua itu menjerit-jerit karena kesal dipisahkan lagi dari Jack. Tapi berbahaya jika kakaktua cerewet itu dibiarkan tetap berada di bawah. Pasti rahasia mereka akan lekas ketahuan! Tapi Button masih ada di situ, tanpa diketahui siapa pun juga. Anak rubah itu meringkuk di kolong tempat tidur di mana Philip sebelumnya bersembunyi. Button merasa senang, karena mencium bau Philip. Sedang Jack sama sekali lupa bahwa Button tadi ikut turun. Tak lama kemudian jejeran baju zirah sudah nampak rapi lagi sepanjang dinding. Hanya tiga saja di antaranya yang tidak berisi manusia. Salah seorang anak buah Bill, seseorang yang bertubuh tinggi besar, berkeluh-kesah. Katanya baju zirahnya terlalu sempit! "Sudah — sekarang semua diam!" desis Bill. "Aku merasa seperti mendengar sesuatu! Bab 27 KETEGANGAN MEMUNCAK Guruh menggelegar! Begitu keras bunyinya, sehingga sampai terdengar dalam ruangan bawah tanah. "Mudah-mudahan ketiga anak perempuan tadi tidak ketakutan mendengarnya," kata Bill. Dibayangkannya mereka bergegas-gegas menuruni bukit dalam gelap-gulita. "Mungkin hujan juga sudah turun." "Mereka kurasa aman, karena ikut dengan Tassie," kata Jack. "Anak itu tahu di mana sebaiknya berteduh. Ia takkan berlindung di bawah pohon, atau semacam itu. Di daerah bukit ini ada beberapa gua kecil. Mungkin mereka berlindung dalam salah satu di antaranya, sampai badai sudah berlalu." Setelah itu mereka diam lagi. Suasana sunyi – sepi dalam ruangan bawah tanah itu. Ketika salah seorang mendehem karena tenggorokannya terasa gatal, bunyinya seakan-akan memecah kesunyian. "Jangan berbuat begitu lagi, Jim," kata Bill Smugs. Suasana sunyi kembali. Jack mendesah pelan. Perasaannya tegang sekali saat itu. Tubuh berkeringat karena bersembunyi dalam baju zirah yang panas. Napas terengah-engah. Hatinya berdebar-debar, menunggu para penjahat datang. Tahu-tahu terdengar bunyi kunci diputar. Nyaring sekali kedengarannya. Permadani dinding bergetar— lalu tersibak ke samping, didorong dari belakang. Orang-orang yang bersembunyi dalam baju zirah langsung waspada. Sekian pasang mata menatap dari dalam ketopong masing-masing. Siapakah yang datang itu? Seorang laki-laki muncul dari balik permadani, lalu menggantungkan satu tepinya ke paku yang tertancap di dinding. Dengan begitu kawan-kawannya bisa masuk ke dalam ruangan dengan mudah. Jack melihat lubang menganga di dinding. Dari lubang itu muncul beberapa orang laki-laki. Mereka keluar satu per satu, melangkah dengan gerak menyelinap. Dan seorang di antara mereka mencengkeram — Philip! Laki-laki yang beralis tebal panjang muncul paling dulu. Ia disusul temannya yang berjanggut hitam, yang menurut Bill julukannya Scar-Neck. Ia yang menyeret Philip masuk ke dalam ruangan. Kemeja Scar-Neck terkancing sampai ke leher, sehingga bekas lukanya yang ada di situ tidak kelihatan. Philip menunjukkan tampang berani. Tapi Jack tahu, temannya itu pasti takut setengah mati. Setelah dia, menyusul masuk tiga orang lagi dari kawanan penjahat. Semua bertampang jelek, dengan mata menatap tajam serta garis bibir yang kelihatan bengis. Mereka masuk sambil bercakap-cakap. Pintu rahasia dibiarkan terbuka. Jack bertanya-tanya dalam hati, tempat manakah yang bisa dicapai lewat jalan itu. Tangan Philip terikat di belakang punggungnya. Ikatannya begitu ketat, sehingga pergelangan tangannya terasa sakit. Scar-Neck mendorongnya, sehingga jatuh terduduk di atas sebuah kursi. Jack langsung menebak, pasti Philip baru saja tertawan. Sementara itu Scar-Neck langsung menanyai anak itu dengan galak. "Sudah berapa lama kau berada dalam puri ini? Apa saja yang kauketahui?"‘ "Aku datang bersama kedua anak perempuan itu," kata Philip. "Selama ini aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kalian tidak pernah memeriksa ke situ. Kami sebetulnya tidak berniat jahat. Kami datang untuk bermain-main saja dalam puri ini. Kami tidak tahu bahwa puri ini ada yang memiliki!" "Ambil kedua anak perempuan itu dan bawa ke sini," kata Scar-Neck pada laki-laki beralis gondrong. "Kita tanyai mereka bertiga satu-satu. Keterlaluan — waktu kita terbuang percuma, hanya karena harus menangani segerombolan anak-anak!" Si alis gondrong menghampiri tempat tidur. Menurut sangkaannya, Dinah dan Lucy-Ann masih ada di situ, tidur pulas seperti biasanya. Tapi ketika kelambu disingkapkan, mata orang itu langsung melotot! Kedua anak perempuan itu tidak ada lagi di tempat tidur. Dengan kasar laki-laki itu menarik selimut-selimut yang ada di situ. "Mereka tidak ada di sini!" katanya kaget. Laki-laki yang berjanggut cepat-cepat menoleh ke arahnya. "Jangan main-main!" tukasnya. "Mereka harus ada di sini! Kita kan tahu, mereka tidak bisa ke mana-mana begitu lubang sudah tertutup lagi!" "Mungkin anak laki-laki itu mengeluarkan mereka, dari atas," kata si alis gondrong. Kini Scar-Neck berpaling lagi, menatap Philip dengan mata terbelalak. Philip sebenarnya ikut heran karena Dinah dan Lucy-Ann sudah tidak ada lagi di situ. Tapi ia tidak memperlihatkan keheranannya. Laki-laki yang beralis tebal membungkuk, melihat ke kolong tempat tidur. Tapi semua tahu, kedua anak perempuan itu sudah tidak ada lagi dalam ruangan itu. Scar-Neck melontarkan pertanyaan bernada galak pada Philip. "Kau yang mengeluarkan mereka, ya?!" “Tidak — bukan aku," jawab Philip. "Selama ini aku bersembunyi di sini, di kolong tempat tidur. Aku tidak pernah naik ke atas." "Kalau begitu, siapa yang mengeluarkan mereka?" tanya si alis tebal. Keningnya berkerut, sehingga alisnya yang gondrong nyaris menutupi kedua matanya. "Ayo — mengaku!" bentak Scar-Neck. Suaranya terdengar mengandung - ancaman. Tapi Philip diam saja. Ditatapnya laki-laki itu dengan sikap menantang. Scar-Neck rupanya sudah habis sabarnya. Ditempelengnya Philip keras-keras, sehingga anak itu terpelanting dari kursi. Philip bangkit kembali. "Hah — mau mengaku atau tidak?" kata Scar-Neck dengan geram. Teman-temannya melihat saja, tanpa mengatakan apa-apa. Tapi Philip masih tetap membungkam. Jack bangga melihat temannya itu. Philip sangat berani, pikirnya. Tapi detik berikut jantungnya serasa berhenti berdenyut, karena Scar-Neck kini mengambil pistol dan meletakkannya ke atas meja. "Banyak cara untuk memaksa anak bandel mau membuka mulut," sergahnya, sementara matanya memerah karena marah. Philip terkejap-kejap beberapa kali. Agak seram juga rasanya melihat senjata api yang berkilat-kilat itu. Tapi kemudian ditatapnya Scar-Neck kembali. Ia tetap tidak mau membuka mulut. Tidak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi kemudian, apabila tidak dengan tiba-tiba terjadi sesuatu yang tidak disangka—sangka! Button yang selama itu bersembunyi di bawah kursi yang terletak di ujung ruangan, tahu-tahu melesat ke luar dan menubruk Philip dengan gembira. Orang-orang yang ada di situ berloncatan semua karena kaget. Scar-Neck menyambar pistolnya. Tapi ketika nampak bahwa yang datang itu cuma seekor anak rubah, mereka duduk lagi. .Mereka jengkel pada diri sendiri, karena takut pada binatang sekecil itu. Scar-Neck sangat marah. Dipukulnya Button, sehingga anak rubah itu terguling-guling di lantai. Button menyeringai, menunjukkan giginya yang runcing-runcing. "Jangan sakiti dia," kata Philip cemas. "Ia masih kecil. Anak rubah itu binatang piaraanku." "Bagaimana ia bisa masuk ke sini? Waktu kedua anak perempuan itu keluar ya!" kata laki-laki beralis tebal menggerutu. "Entah, aku juga tidak tahu," kata Philip dengan bingung. Ia memang benar-benar bingung. "Sedari tadi kukatakan, aku benar-benar tidak tahu bagaimana kedua anak itu keluar, dan aku juga tidak tahu bagaimana anak rubah ini bisa masuk. Ini merupakan misteri bagiku, sama saja seperti kalian." "Jika anak ini tidak bohong, sebaiknya kita cepat-cepat saja menyelesaikan urusan kita di sini," kata laki-laki beralis tebal. Ia kedengaran agak gugup. "Rupanya ada orang lain di sini, walau kita sudah cukup awas menjaga selama ini. Kita selesaikan saja urusan kita, lalu pergi!" Saat itu terdengar lagi bunyi guntur menggelegar. Orang-orang itu saling berpandangan dengan gelisah. "Bunyi apa itu?" kata laki-laki beralis tebal. "Apa lagi kalau bukan bunyi guruh," kata Scar-Neck dengan geram. "Kalian ini kenapa? Masa langsung bingung, hanya karena ada segerombolan anak-anak konyol bermain-main di sini? Mereka itu minta dipukul rupanya! Dan anak laki-laki ini nanti akan kuhajar sebelum kita pergi — walau kedua temannya yang perempuan berhasil minggat!" Button berbaring dekat kaki Philip. Ia takut pada gerombolan laki-laki yang kelihatannya galak-galak itu. Scar-Neck menganggukkan kepala pada salah seorang kawannya. Orang itu berdiri. Lalu menghampiri laci terkunci di mana disimpan peta-peta. Dibukanya laci itu, lalu diambilnya setumpuk kertas dari situ. Kertas-kertas itu ditaruhnya di depan Scar-Neck. Kemudian menyusul perembukan panjang, dalam bahasa yang tidak dikenal Philip. Tapi Bill memahaminya! Bill menguasai delapan bahasa, atau bahkan lebih! Ia mengikuti perembukan itu dengan penuh minat. Sementara itu Philip tetap duduk di kursi. Sikapnya lesu. Pergelangan tangannya terasa sakit, sedang telinga kirinya pedih kena tempeleng tadi. Ia tidak bisa menggosok-gosokinya untuk mengurangi rasa pedih, karena tangannya terikat erat di belakang punggung. Button menjilat-jilat pergelangan kaki Philip. Sementara itu Philip sibuk berpikir. Ke manakah Dinah dan Lucy-Ann? Bagaimana mereka bisa ke luar? Philip merasa lega, sebab mungkin kedua anak itu berhasil melarikan diri. Mungkin bantuan sudah datang? Apakah Jack berhasil mencari bantuan? Apakah ia akan ikut diselamatkan nanti? Philip ingin sekali kembali berada dalam baju zirah, di mana ia bisa bersembunyi dengan aman. Ia memandang pakaian perang yang berjejer-jejer dekat dinding. Tiba—tiba ia menatap dengan heran. Ia merasa seperti melihat mata berkilat-kilat di balik ketopong. Penglihatan Philip sangat tajam, dan kebetulan sekali sinar lampu minyak menerangi ketopong yang sedang dipandang olehnya. Dan Philip merasa seperti melihat sepasang mata dalam ketopong itu, dan bukan rongga kosong. Diperhatikannya baju zirah yang berikut. Di situ pun ia merasa seperti melihat sepasang mata. Begitu pula dalam ketopong ketiga yang diperhatikan. Tiba-tiba Philip merasa ngeri. Jangan-jangan kesemua pakaian perang itu dengan tiba-tiba menjelma hidup! Ah, mana mungkin. Tapi kalau begitu — siapakah orang-orang yang bersembunyi di situ? Dilihatnya kebanyakan baju zirah itu ada isinya. Tubuh Philip gemetar. Scar-Neck melihatnya, lalu tertawa. "Ah, ternyata kau sekarang mulai takut, membayangkan apa yang akan terjadi dengan anak-anak yang suka mencampuri urusan orang lain. Mungkin akhirnya kau mau mengaku juga!" Philip diam saja. Pikirannya mulai berjalan secara normal. Dengan segera ia menyadari bahwa yang bersembunyi dalam pakaian itu pasti teman, dan bukan musuh. Konyol — untuk apa ia takut? Tapi memang seram rasanya, menatap sekian banyak mata yang memandang dari balik ketopong. "Rupanya dengan cara begitu Dinah dan Lucy-Ann bisa pergi dari sini," pikirnya. "Sekarang aku mengerti! Jack berhasil mencari bantuan — lalu mereka datang dan meniru caraku bersembunyi, dalam baju zirah! Nah, aku harus pura-pura tidak tahu. Apa pun yang terjadi, rahasia mereka tidak boleh sampai ketahuan. Yang mana ya si Bintik?" Ia sudah merasa jauh lebih tenang sekarang. Sekali lagi diperhatikannya ketopong baju zirah itu satu per satu. Ia tidak berani menatap dengan terang-terangan, karena khawatir ada di antara penjahat yang mengikuti arah pandangannya, lalu melihat apa yang dilihatnya. Saat itu terdengar lagi bunyi guntur, jauh lebih keras dari bunyi sebelumnya. Hawa dalam ruangan pengap sekali. Orang-orang yang bersembunyi dalam baju zirah harus berjaga-jaga jangan sampai terdengar sentakan napas mereka. Keringat mengucur membasahi tubuh. Tubuh terasa sudah pegal sekali. Ingin rasanya bisa bergeser sedikit saja. Tapi mereka tidak berani berkutik sedikit pun. Bill mengikuti perembukan kawanan penjahat dengan penuh perhatian. Tapi ia tidak bisa melihat, apakah sebetulnya kertas-kertas yang terletak di atas meja. Kelihatannya seperti gambar rancangan sesuatu. Mungkin gambar konstruksi mesin. Tapi Bill tidak bisa mengenalinya dengan jelas. Akhirnya kertas-kertas itu digulung kembali oleh Scar-Neck. Ia berpaling pada Philip. "Urusan kami di sini sudah selesai sekarang! Kami takkan berjumpa lagi denganmu serta kawan-kawanmu. Tapi sebelum kami pergi, kau perlu dihajar dulu, supaya tahu apa akibatnya jika mengintai kami! Mana tali itu?" "Awas, kalau berani menyentuhku sedikit saja!" teriak Philip • sambil meloncat bangkit. Tapi Scar-Neck tidak mengacuhkannya. Diambilnya tali, untuk memukul Philip. Bukan main kaget dan takutnya orang itu, ketika tiba-tiba melihat salah satu baju zirah melangkah turun dari panggung rendah tempatnya dipasang. Baju zirah itu mengangkat tangannya, yang ternyata menggenggam pistol. Bukan itu saja! Baju zirah itu pun ternyata bisa berbicara. "Tamat riwayatmu sekarang, Scar-Neck! Seluruh kawanmu berhasil kami ringkus dengan sekali pukul!" Suara yang berbicara itu terdengar menggema dalam ketopong. Scar-Neck hanya bisa menatap sambil melongo, begitu pula kawan-kawannya. Semua bingung sesaat — apalagi ketika melihat sekian banyak baju zirah tiba-tiba bisa bergerak! Mereka merasa seperti sedang mimpi buruk. Tapi mimpi yang dipenuhi pistol, yang semua teracung ke arah mereka! "Angkat tangan!" bentak Bill. Scar-Neck mengangkat tangannya, seakan-akan hendak menyerah. Tapi tiba-tiba ia berpaling menyambar lampu minyak, lalu membantingnya ke lantai. Detik itu juga ruangan menjadi gelap-gulita! Bab 28 BADAI DAHSYAT Bill berteriak marah, lalu berseru, "Jack! Philip! Cepat, bersembunyi di bawah tempat tidur! Mungkin akan terjadi tembak-menembak!" Kedua anak itu langsung menurut. Mereka menyusup masuk ke kolong tempat tidur, Jack masih dalam pakaian zirah yang berkelontang-kelontang bunyinya. Philip berbaring di lantai dengan napas tersengal-sengal. Ia agak kikuk, karena tangannya masih terikat. Tapi Jack lebih payah lagi ia tersangkut ketika menyusup. Mereka tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Mereka hanya mendengar suara ribut berteriak-teriak disertai bunyi napas terengah-engah. Tapi sama sekali tak ada tembakan. Rupanya tidak ada yang berani menembak, karena dalam ruangan segelap itu dikhawatirkan ada kawan yang kena. Jack dan Philip mendapat kesan dari suara-suara yang terdengar, bahwa saat itu sedang terjadi pergumulan sengit. Bunyi gedebak-gedebuk bercampur dengan dentingan logam. Tiba-tiba terdengar bunyi gemeretak. Itu pasti batu besar yang tergeser. Tapi siapakah yang membuka lubang untuk naik ke atas. Pihak lawan, atau salah seorang anak buah Bill? Philip tidak tahu bagaimana caranya membuka lubang itu dari bawah, meski sudah beberapa kali ia mencoba. Tapi pasti bisa dibuka dari bawah. Sesaat kemudian diketahuinya bahwa yang membuka Scar-Neck atau salah seorang kawannya untuk melarikan diri, karena terdengar Bill berseru memanggil anak buahnya yang ditinggal menjaga di atas. "Tom! Awas! Kalau ada yang naik, langsung tembak!" Orang yang bernama Tom memburu ke ujung atas tangga. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa di bawah. Ia hanya mendengar erangan, serta dentingan logam. Padahal saat Itu ada seseorang merayap naik ke atas. Tom tidak mendengarnya. Tahu-tahu ia dipukul, sehingga terpelanting. Orang yang memukulnya itu Scar-Neck, yang hendak melarikan diri. Pistolnya terjatuh ketika ia sedang bergumul. Untung saja — sebab kalau tidak, pasti Tom sudah ditembaknya. Sebelum Tom sempat bangun dan bertindak, Scar-Neck sudah lebih dulu minggat. Tapi tahu-tahu ada lagi orang naik dan tersandung pada tubuh Tom yang masih terkapar. Sekali lagi pukulan mendarat di kepalanya, sehingga telinganya terngiang-ngiang. Orang yang memukulnya itu kawan Scar-Neck yang beralis gondrong. Ia menendang Tom sekeras mungkin, lalu menghilang dalam gelap. Tom bingung sesaat, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berdiri di ujung atas tangga, untuk mencegah ada lagi yang bisa melarikan diri, atau mengejar kedua orang yang lari. Tapi ia tidak tahu, ke arah mana keduanya minggat. Karena itu ia kembali menjaga di ujung tangga. Ketiga penjahat yang masih ada di bawah bernasib sial. Seorang di antaranya pingsan. Temannya tidak bisa berkutik lagi, karena tubuhnya diduduki oleh Bill. Sedang yang ketiga semula berusaha melarikan diri lewat pintu rahasia di balik permadani. Tapi Jim berhasil meringkusnya. Bill akhirnya berhasil menemukan senter, lalu menyalakannya. Lampu minyak pecah berantakan. Untung saja tidak sampai terjadi kebakaran karenanya. Tapi dengan senter pun ruangan itu sudah cukup terang. Bill memandang berkeliling. Orang yang tadi diduduki, kini sudah di tangan salah seorang anak buahnya. Penjahat itu nampak lesu. Matanya bengkak sebelah, sedang keningnya benjol. Bill kelihatan aneh. Ia masih memakai baju zirah. Tapi ketopongnya sudah dilepaskan, sehingga kepalanya yang botak dengan rambut lebat di pelipis nampak mencuat dari lubang leher pakaian perang itu. Aneh sekali kelihatannya! Jack dan Philip merangkak keluar dan kolong tempat tidur. Bill harus menarik Jack, karena anak itu tidak bisa keluar sendiri karena masih tersangkut. Dengan segera Jack melepaskan baju zirah yang terasa menyesakkan. Setelah itu dilepaskannya tali yang mengikat pergelangan tangan Philip. Bill Smugs kelihatan jengkel, karena kedua penjahat terbesar berhasil melarikan diri. Ia berseru memanggil Tom. "Kau masih ada di situ, Tom?" "Ya, Sir," jawab Tom. Suaranya agak lesu. "Kau berhasil meringkus kedua orang yang lari ke atas tadi?" teriak Bill lagi. "Tidak, Sir! Apa boleh buat, tahu-tahu saya disergap sehingga mereka bisa minggat,’ jawab Tom. Suaranya semakin lirih. Bill mengumpat pelan. "'Kau memang tolol, Tom!" katanya. "Ayo, turun ke sini! Posisimu di atas kan menguntungkan sekali tadi — mestinya bisa mencegah supaya tidak ada yang lari, biar yang naik sepasukan sekali pun!" "Habis, di sini gelap, Sir," kata Tom mencari alasan. "Saya tidak bisa melihat apa-apa." "Sekarang dua penjahat terbesar berhasil lari," kata Bill dengan geram. "Kalau caramu bekerja begitu, sulit rasanya bisa naik pangkat, tahu! Coba aku tadi menempatkan orang lain di atas. Kurasa sekarang kedua penjahat itu sudah jauh! Pasti ada mobil mereka disembunyikan di dekat-dekat sini, siap untuk dipakai melarikan diri apabila keadaan memaksa." Kasihan Tom! Ia sangat malu. Orangnya tinggi besar, sehingga menurut perasaan Jack dan Philip ia seharusnya bisa dengan gampang meringkus kedua penjahat tadi! "Sekarang ikat ketiga penjahat ini!" kata Bill, sambil menunjuk mereka dengan anggukan kepala singkat. Jim melaksanakan perintah itu dengan cekatan. Ketiga penjahat yang diringkus, termenung dengan tampang kuyu. "Sekarang kita periksa kertas-kertas itu," kata Bill. Seorang anak buahnya menghamparkan kertas-kertas dokumen itu di depannya. Bill mempelajarinya dengan teliti. "Ya — memang Scar-Neck itu mata-mata yang sangat hebat," katanya kemudian. "Pasti ia jengkel sekali, karena terpaksa tidak bisa membawa dokumen-dokumen ini. Nilainya besar sekali bagi dia, serta bagi negara yang membayarnya sebagai mata-mata di sini." Kertas-kertas dokumen itu digulung lagi oleh salah seorang anak buah Bill. Saat itu terdengar lagi bunyi guruh bergulung-gulung. Semua agak kaget mendengarnya. "Kurasa badai kini sudah ada di atas kita,” kata Bill. "Lebih baik kita jangan ke luar dulu, sebelum badai itu berlalu." "Anda tidak hendak memeriksa pintu rahasia itu?" tanya Jack sambil menunjuk ke arah permadani yang tersingkap. Ia agak kecewa. "Ya, tentu saja," jawab Bill. "Aku akan memeriksanya bersama Tom, sementara yang lain-lain turun membawa tahanan ini. Tapi kurasa lebih baik menunggu sampai hari sudah pagi." Badai semakin menjadi-jadi. Ketika Philip bercerita pada Bill tentang pengalamannya hari itu, ia terpaksa berteriak, supaya suaranya masih bisa terdengar di atas gemuruh hujan dan petir. "Aku merasa bosan di sini terus," saru Philip. "Lalu kuputuskan untuk masuk ke dalam lorong rahasia dan memeriksa ke mana arahnya. Begitu para penjahat bangun lagi setelah tidur cukup lama di sini, lalu naik ke atas, aku cepat-cepat keluar dari kolong tempat tidur dan masuk ke lubang yang ada di balik permadani itu. Lubang itu dibiarkan terbuka oleh para penjahat, persis keadaannya sekarang. Ketika aku masuk ke situ, ternyata .... " Kalimatnya terpotong sesaat, karena ia dikagetkan sinar kilat yang menyambar di luar. Semua mendengarkan ceritanya dengan penuh minat. Tentu saja kecuali para penjahat. Kemudian Philip melanjutkan ceritanya. "Nah — Seperti kataku tadi, ternyata pintu itu terkunci. Tapi anak kuncinya ada di Aku cepat—cepat memutarnya, lalu membuka pintu. Begitu terbuka, aku langsung melangkah masuk. Aku berada dalam suatu lorong sempit." "Tidak gelap di situ?" tanya Jack "Tentu saja gelap — tapi aku kan membawa senter," kata Philip. "Dengannya aku bisa melihat dengan jelas. Lorong itu agak menurun arahnya, mula-mula di antara dua dinding dari batu. Mestinya itu fondasi puri ini. Kemudian aku menduga bahwa aku sudah sampai di luar puri, karena terowongan yang kulalui kemudian nampak dipahat di tengah batu cadas." "Dan kau tentunya sampai di sisi seberang bukit ini, ya?" kata Bill. "Lalu, ada yang menarik kaulihat di sana?" "Aku tak sampai sejauh itu," kata Philip. "Di tengah jalan kudengar ada orang berjalan di belakangku. Aku cepat-cepat bersembunyi, dengan jalan naik ke pinggir dinding yang agak menjorok ke dalam pada bagian itu dan berbaring di situ." "Astaga! Lalu bagaimana — apakah orang itu kemudian lewat?" tanya Jack tegang. "Ya — tapi rupanya ia mencari aku," kata Philip. "Soalnya aku lupa menutup kembali pintu rahasia. Lalu ketika para penjahat turun lagi ke sini, mereka heran melihat pintu rahasia terbuka. Dengan segera seorang dari mereka disuruh masuk ke lorong, untuk memeriksa siapa sebenarnya yang membukanya." "Lalu setelah itu?" tanya Bill. Tapi suaranya lenyap ditelan bunyi guntur yang menggelegar tepat pada saat itu. "Orang itu kemudian kembali lagi, ketika tidak menemukan siapa-siapa dalam lorong," kata Philip melanjutkan cerita. "Tapi kepala penjahat tidak puas! Mereka lantas beramai-ramai ikut mencari. Yah — akhirnya aku ketahuan juga! Aku langsung diseret turun dari tempatku bersembunyi." "Apa yang terjadi setelah itu?" tanya Bill. "Kau tidak langsung dibawa ke sini, sebab adik-adik kalian bingung melihat kau tidak ada ketika mereka turun lagi ke sini." "Memang betul begitu. Aku ditinggal dalam lorong, dengan kaki dan tangan terikat," kata Philip. "Kata mereka aku rupanya senang berada dalam lorong, karena itu aku boleh terus berada di situ sampai dijemput lagi untuk ditanyai. Jadi aku terus meringkuk dalam lorong, sampai akhirnya mereka datang lagi untuk menjemput. Ikatan kakiku dilepaskan, sehingga aku bisa berjalan sendiri. Lalu aku dibawa ke sini, seperti kalian lihat sendiri tadi." "Kasihan — pengalamanmu tidak enak," kata Bill. "Wah, aku takut sekali tadi, ketika melihat mata kalian berkilat-kilat di balik ketopong," kata Philip. "Kusangka aku melihat hantu. Tapi kemudian kusadari, pasti kalian para penolong yang datang bersama Jack" Setelah itu semuanya membisu. Suara badai bertalu-talu, memekakkan telinga. Semua membayangkan betapa dahsyat keadaan di luar saat itu. "Untung anak-anak perempuan tadi masih cukup banyak waktu," kata Jack dalam hati. "Mudah-mudahan saja mereka sampai di rumah dengan selamat" Tiba-tiba ia dikagetkan bunyi yang keras sekali. Bab 29 LORONG RAHASIA Jack terlonjak mendengar bunyi petir yang keras sekali. la begitu kaget, sehingga cepat-cepat merangkul Bill. Rasanya ia belum pernah mendengar bunyi petir sekeras itu. Bunyi petir disertai sambaran kilat yang menerangi seluruh bukit. Selama sekejap mata keadaan terang-benderang seperti siang. Tapi kemudian gelap-gulita kembali. Tiba-tiba Bill menarik Jack dan Philip supaya agak mundur sedikit. "Kurasa petir tadi menyambar puri," katanya, sambil memandang ke luar lewat lubang di lantai. "Ya, betul! Lihatlah!” Sambaran kilat berikut menerangi tempat sekitar situ. Nampak jelas bahwa salah satu menara mulai miring. Dalam kegelapan yang menyusul, terdengar bunyi batu—batu besar berguguran. "Badai tepat berada di atas kita!" seru Jack. "Aku takut!" Saat itu petir menyambar lagi. Orang-orang yang berada dalam kamar tersembunyi merasakan kejutan aneh, seolah-olah tubuh mereka dialiri arus listrik. Untung mereka memakai sepatu bersol karet. "Kalau tidak, bisa mati kena sambaran kilat," pikir Bill. "Wah — rupanya puri kena lagi. Kalau begini terus, ada kemungkinan kita tertimbun tumpukan puing nanti!" Bill bergegas menarik pasak di dinding, untuk menutup lubang lantai. la merasa lebih aman apabila ada rintangan batu antara mereka dengan badai yang mengamuk di luar. Tapi detik berikutnya terdengar bunyi batu-batu berjatuhan di lantai. Seluruh ruangan bawah tanah bergetar keras. "Bangunan utama puri ambruk!" seru Philip ketakutan. Mukanya pucat pasi. Sementara itu bunyi batu berjatuhan masih terus terdengar. Menurut perkiraan Bill, ada kemungkinan sebagian dari dinding puri kena sambaran kilat, lalu roboh ke dalam. Dan jangan-jangan jatuh ke serambi! Kedengarannya memang begitu. "Sekarang bisa kubayangkan bagaimana terjadinya tanah longsor itu," kata Bill setelah di atas sepi kembali. "Badai seperti ini dengan gampang saja bisa menyebabkan dasar jalan runtuh, sehingga terjadi longsor. Aku takkan heran apabila malam ini kejadian itu berulang lagi." "Aku belum pernah mengalami hujan yang begitu lebat," kata Jack. "Pasti anak-anak perempuan sedang setengah mati ketakutan, karena sendirian di rumah." "Ya, memang," kata Bill. "Sayang kita tidak ada di sana." Ia melirik para tahanan, yang kelihatannya sangat ketakutan. Rupanya mereka membayangkan nasib selanjutnya! "He — tiba-tiba saja aku merasa lapar," kata Philip. "Aku belum makan lagi, semenjak masuk ke dalam lorong rahasia.” "Aku juga lapar," sambut Bill. "Tapi di sini banyak makanan, berkaleng-kaleng! Sebaiknya kita makan saja dulu. Untuk menghabiskan waktu menunggu, serta sekaligus melupakan badai yang mengamuk di atas." Jack dan Philip memeriksa isi kaleng-kaleng itu, lalu memilih sebuah kaleng berisi daging bumbu, satu kaleng lidah dan dua kaleng buah per. Keempat kaleng itu dibuka, lalu isinya dipindahkan ke piring dan diletakkan ke atas meja. Bill memilih kaleng-kaleng berisi minuman. Bagi dirinya sendiri serta anak buahnya ia mengambil bir, yang dirasanya pasti sedap diminum dalam hawa sepanas itu. Sedang Jack dan Philip minum sepuas hati, menghadapi kaleng-kaleng berisi limun jahe dan sari jeruk Sehabis makan, semuanya merasa lebih enak. Sementara itu badai di atas rasanya sudah agak reda. Bill melirik arlojinya. "Astaga, sudah pukul setengah enam pagi,"katanya. la menguap. "Tak kusangka begitu lama kita sudah berada di sini. Yah — karena badai kedengarannya sudah reda, tak ada salahnya jika kita menarik napas segar sebentar di halaman dalam. Sekarang di luar tentunya sudah terang. Mungkin anak buahku sudah bisa turun, untuk membawa para tahanan ke polisi!" "Ya, aku kepingin bisa bernapas kembali dengan leluasa," kata Philip. Mukanya merah padam kepanasan. "Bagaimana caranya membuka lubang dari bawah sini, Bill?" "Itu, dengan pasak yang di atas itu," kata Bill sambil menunjuk ke langit-langit. Ternyata di situ ada semacam pegangan. Bill menariknya. Tapi pegangan itu sedikit pun tidak bergerak Lalu ditarik sekali lagi. “Wah, tidak bisa," kata Bill dengan heran. "Coba kau saja, Tom. Tenagamu lebih besar daripada aku!" Kini Tom mencoba menarik. Tapi pegangan itu masih tetap tidak bisa digerakkan. Dan karenanya batu besar yang menutupi lubang di lantai, juga tidak tergeser. Bill mencoba lagi, bersama-sama dengan Tom. Batu bergerak sedikit, lalu terhenti. Walau dicoba berulang kali, tapi tetap sia-sia. Bill menaiki tangga batu, lalu mencoba mengintip lewat celah sempit antara lubang dan batu besar. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Ia pun turun lagi. “Kurasa lubang di atas itu tertutup timbunan batu yang runtuh," katanya. "Jadi kita tidak bisa ke luar." "Kalau begitu kita lewat jalan yang satu lagi — maksudku lorong yang kumasuki kemarin," kata Philip, sambil menganggukkan kepala ke arah permadani yang tersingkap. "Ah, betul juga." kata Bill Smugs. "Mudah-mudahan saja di situ tidak terjadi tanah longsor juga. Tapi menurut katamu, dinding lorong itu kan dari batu! Kalau begitu, pasti tidak apa-apa!" Sementara itu hawa dalam ruangan semakin pengap. Button yang selama pergumulan bersembunyi di kolong tempat tidur, muncul dari situ lalu menghampiri Philip. Anak rubah itu berbaring miring, sementara lidahnya terjulur ke luar. "Ia haus," kata Jack. "Beri minum dong!" "Tapi tidak ada air di sini. Yang ada cuma limun jahe," kata Philip, lalu menuangkan sedikit ke piring. Button ternyata haus sekali. Limun jahe diminumnya sampai habis. Setelah itu ia menjilat-jilat moncong, sedang tampangnya seakan-akan hendak mengatakan, "Yang kuminum itu memang basah — tapi rasanya — uahh!" "Kalau kita di sini terus, bisa matang nanti karena hawa panas," kata Bill. "Yuk - kita coba saja nasib lewat jalan ini. Aku berjalan paling dulu." Dibukanya pintu yang terdapat dalam rongga di balik permadani, lalu masuk ke dalam sambil menyorotkan senter ke depannya. Jack dan Philip menyusul. Setelah itu ketiga tahanan, yang sejak lama tidak membuka mulut sedikit pun. Paling akhir menyusul anak buah Bill. Lorong itu sempit. Tapi cukup lurus pada mulanya. Ternyata lorong itu dibuat dalam fondasi puri, persis seperti cerita Philip. "Mestinya di sini juga ada sel-sel," kata Bill. "Tempat ini aneh. Mungkin masih banyak lagi kamar-kamar tersembunyi di sini— setidak-tidaknya begitulah kata orang desa." Setelah beberapa lama, lorong itu mulai menembus batu cadas bukit. Dinding nampak tidak rata lagi. Tapi udara di situ segar. Sejuk rasanya, dibandingkan dengan kepengapan hawa dalam ruangan bawah tanah tadi. Lorong kini berkelok-kelok, seperti mengikuti bentuk cadas. Tapi jelas memotong bukit, dengan arah ke bawah. Di beberapa bagian lorong yang dilewati agak terjal, sehingga mereka agak terpeleset-peleset berjalan di situ. Kemudian dengan tiba-tiba terdengar bunyi air mengalir! Semua berhenti berjalan. Bill berpaling, memandang Philip. "Ada air di sini," kata Bill. "Waktu kau masuk ke sini, sudah ada atau tidak?" Philip menggeleng. "Tidak," katanya, "bagian yang kulalui, semuanya kering. Dan kita belum sampai ke tempat di mana aku bersembunyi." Mereka berjalan lagi. Tiba-tiba nampak dari mana datangnya bunyi itu. Ternyata hujan lebat yang menyiram bukit merembes masuk ke tanah, dan kini mengalir ke dalam lorong lewat retakan pada dindingnya. Alirannya cukup deras, disertai bunyi menggelegak "Astaga!" seru Jack. Ia ikut melihat lewat pundak Bill. "Kita tidak bisa lagi lewat!" "Ah, tidak begitu dalam kelihatannya," kata Bill. "Kurasa kita masih bisa mengarunginya. Untung saja lorong ini mengarah ke bawah. dan bukan ke atas. Coba kalau ke atas, pasti air ini mengalir ke arah kita!" Bill melangkahkan kaki, masuk ke dalam air. Ternyata tingginya cuma sampai ke lutut. Arusnya cukup deras, tapi belum sampai bisa menyeret mereka. Bill mengucap syukur bahwa Dinah dan Lucy-Ann tidak ada bersama mereka saat itu. Kedua anak itu pasti akan mengalami kesulitan dalam melewati lorong yang sudah menjelma menjadi sungai kecil itu. Air yang mengalir terasa dingin. Mereka berjalan terus. Button dipanggul oleh Philip di atas pundaknya. Anak rubah itu tidak suka berjalan di air. Setelah berjalan beberapa saat, Philip menuding ke dinding lorong. Nampak ada bagian yang agak mundur ke dalam di situ, dekat ke langit-langit "Di situlah aku bersembunyi," katanya. "Bagus kan, tempat itu? Tidak gampang mereka menemukan diriku. Baru berhasil, setelah memeriksa dengan teliti sekali." Sementara itu air yang diarungi agak bertambah dalam, Arusnya juga bertambah deras. Mereka harus berjalan dengan lambat, agar jangan sampai terseret arus. Jack sudah capek sekali. Menurut perasaannya, lorong itu seperti tidak habis—habis. Anak itu menggemari petualangan, tapi saat itu ia kepingin bisa beristirahat sebentar. Tahu-tahu dasar lorong menjadi semakin miring, Begitu miring, sehingga arus air yang mengalir berubah menjadi mirip air terjun. Bill berhenti. “Aku tidak melihat kemungkinan lain melewati bagian ini, kecuali dengan cara meluncur ke bawah," katanya. "Tapi nanti dulu — kurasa di sini ada jenjang menuju ke bawah. Ya. betul! Kita bisa menuruninya. Asal berhati-hati, jangan sampai terseret air!" Bill mulai melangkah turun. Langkah demi langkah, sambil meraba-raba. Jack dan Philip mengikutinya, dengan hati-hati sekali. Beberapa kali Jack nyaris terseret arus air yang mengalir deras Tiba-tiba Bill memadamkan senternya. Di depan mereka nampak cahaya terang. Ternyata jenjang batu itu membawa mereka ke lereng sisi seberang bukit! Bill meloncat keluar dari air. Ia sampai di sebuah lubang sempit di lereng bukit, yang tertutup semak belukar. "Kita selamat sekarang!" serunya Bab 30 DI BALIK BUKIT Jack dan Philip menyusul ke luar, lalu memandang ke bawah. Ternyata mereka berada pada lereng yang curam sekali. Di bawah mereka nampak sebuah bangunan yang kelihatannya seperti rumah petani, dengan sejumlah bangunan kecil terserak di sekitarnya, menempel ke lereng bukit. Di sekeliling bangunan-bangunan itu terdapat pagar kawat berduri. Tak jauh di bawah tempat mereka berada pun kelihatan ada pagar kawat semacam itu. Di belakang bangunan utama terdapat semacam hutan kecil, dengan tanah lapang di tengah-tengah. Nampak di situ sebuah mesin besar berkilat-kilat, aneh bentuknya. Orang yang berada di pertanian atau di dekat situ pasti tidak bisa melihatnya, karena terlindung pohon. Tapi dari atas, nampak jelas! "Mesin apa itu?" tanya Jack, sambil menatap mesin yang berkilauan kena sinar matahari pagi. "Aku juga tidak tahu," jawab Bill. "Mesin itu merupakan salah satu alat rahasia negara kita — yang saat ini sedang dibangun para ahli teknik militer kita yang paling hebat." "Lalu itukah yang sedang diintai Scar-Neck?" tanya Philip. "Betul — itulah yang diincarnya selama ini," kata Bill. "Ia mendengar desas-desus mengenainya, lalu berhasil mengetahui di mana percobaan rahasia sedang dilakukan. Bukan main senang hatinya, ketika kemudian mendengar bahwa puri kuno yang terdapat di balik bukit ini ditawarkan untuk dijual." "Astaga! Lalu ia membeli puri itu?" kata Jack. Bill mengangguk. "Betul! Sebelum ini aku telah mengadakan penyelidikan, untuk mengetahui siapa pemilik puri itu sekarang. Scar-Neck tidak membelinya atas namanya sendiri tentunya — ia tidak sebodoh itu! Tidak, ia membelinya dengan meminjam nama seseorang penduduk sini, yaitu Browm. Brown dikenal sebagai seseorang yang tertarik pada bangunan kuno. Tapi aku dengan segera berhasil mengusut, siapa sebenarnya dalang yang ada di belakangnya." "Wah! Anda memang pintar, Bill," kata Jack dengan kagum. "Ah, soal begitu urusan gampang dalam pekerjaanku. Aku sudah menebak, Scar-Neck pasti sedang berusaha memata-matai rahasia ini. Tapi semula aku sama sekali tidak bisa membayangkan siasat yang dipergunakannya. Seperti kalian lihat sendiri, mesin itu letaknya sangat tersembunyi di belakang pertanian itu. Lagi pula dilindungi dengan kawat berduri, yang kurasa sebagian dialiri arus listrik." "Nah — kalau begitu bagaimana caranya bisa menyelidiki?" kata Philip bingung. "Dengan jalan memotretnya, serta menggali terowongan di bawah tanah, melewati kawat berduri dan masuk ke lapangan yang di tengah-tengah itu," kata Bill menduga. "Lihatlah — kalian lihat tanda-tanda penggalian di sebelah sana itu? Nah, kurasa Scar-Neck beserta kawanannya mulai menggali terowongan dari sana, sampai ke ' sebelah dalam lapangan." "Tapi masa tidak ada yang melihat?" kata Jack. "Soalnya, tidak ada yang mengira bahaya bisa datang dari arah sini," kata Bill. "Kan kelihatannya mustahil ada yang bisa naik sampai di sini, karena lereng bukit di sebelah sini curam sekali.” "Dan tidak ada yang tahu mengenai lorong tersembunyi di bawah puri, yang menuju ke sisi bukit sebelah sini," kata Jack. "Lalu dari mana Scar-Neck bisa mengetahuinya?" "Kurasa ia berhasil memperoleh denah asli puri kuno itu," kata Bill. "Pemiliknya sebelum ini kan kabarnya tidak waras otaknya! Kalian tentunya juga tahu, dari kabar-kabar tentang segala tindakannya yang serba aneh. Orang itu membangun berbagai kamar rahasia dengan peralatan yang macam-macam, dan hidup di situ dalam alam khayalannya. Scar-Neck kemudian memanfaatkan kamar dan lorong tersembunyi yang sekarang sudah kita ketahui itu, karena ternyata lewat lorong itu ia sampai pada suatu tempat di balik bukit, yang letaknya tepat di atas mesin baru yang hendak dicuri rahasianya!" "Scar-Neck itu berani," kata Philip. "Memang, mata-mata pada umumnya orang yang berani," kata Bill. "Tapi Scar-Neck sangat jelek wataknya. Di negaranya sendiri pun ia tidak disukai. Orangnya tidak bisa dipercaya. Bahkan teman karibnya pun, ia tidak segan-segan untuk menipunya! Yah- — apa boleh buat, sekali ini ia berhasil meloloskan diri. Tapi untung saja kertas-kertas catatan yang dibuatnya tertinggal semua dalam ruangan bawah tanah!" "Jadi dengan begitu ia tidak berhasil, Bill?" tanya Philip. "Siapa tahu, mungkin saja ia mampu mengingat segala perincian yang perlu diketahui," jawab Bill. "Daya ingatan Scar-Neck terkenal luar biasa baiknya. Jadi ada saja kemungkinan ia masih bisa merugikan negara "Ah, mudah-mudahan saja jangan," kata Philip. "Sayang kita tidak berhasil membekuknya tadi, beserta Si Alis Gondrong. Aku tidak senang melihat tampang kedua-duanya!" "Penjahat yang tiga orang lagi ini bandit murahan, yang mau disuruh melakukan apa saja asal dibayar," kata Bill. "Wah — aku pasti kena marah nanti, karena tidak berhasil meringkus kedua oknum yang merupakan otak komplotan ini. Memang salahku sendiri — kenapa sampai mereka bisa melarikan diri tadi. Seharusnya aku sudah bisa menduga, Scar-Neck pasti akan memecahkan lampu minyak supaya ruangan menjadi gelap-gulita." Setelah beristirahat sebentar di situ, Bill mulai mencari jalan untuk turun. Bagaimana caranya, tanpa risiko tersangkut pada kawat berduri yang mungkin ada arus listriknya? Sedang menyusup ke bawah lewat terowongan yang dibuat oleh kawanan Scar-Neck, tidak ada yang mau. Saat itu Bill melihat seseorang sedang berjalan di bawah. Ia memanggil-manggil. Orang itu mendongak Kelihatannya heran karena melihat begitu banyak orang berdiri di atas tebing yang curam. "Siapakah kalian?" seru orang itu. "Apakah Kolonel Yarmouth ada di situ?" balas Bill. "Aku kenal padanya, dan ingin bicara dengan dia. Tapi tidak bisa turun, karena ada rintangan pagar kawat berduri." Tiba-tiba Jack melihat ada kamera yang bagus sekali, di bawah suatu semak. "Lihatlah," katanya sambil menuding benda itu. "Dengan itu rupanya mereka memotret mesin rahasia itu! Belum pernah kulihat kamera sebagus itu. Kelihatannya sama sekali tidak rusak kena hujan, karena kotaknya tahan basah. Kurasa kamera hadiah Anda padaku tentu sudah rusak sekarang, Bill. Aku menyembunyikannya dalam semak di atas tebing, tanpa penutup sedikit pun. Sayang!" "Ya, memang sayang!" kata Bill. "Yah — mungkin aku bisa mengusahakan sehingga kau memperoleh kamera ini sebagai gantinya. Anggap saja imbalan atas jasamu dalam petualangan ini!" Mata Jack bersinar gembira. Wah — dengan kamera sebagus itu, pasti hebat-hebat foto yang akan dibuatnya nanti! Sementara itu muncul lagi seseorang di bawah, di bagian belakang bangunan utama. Itulah Kolonel Yarmouth. Ternyata ia berpakaian biasa, tidak dengan pakaian seragam militer seperti sangkaan Jack. "Halo, Yarmouth!" saru Bill memanggil orang itu. "Sudah lupa pada saya, ya?" "Astaga!" Terdengar jelas bahwa Kolonel Yarmouth kaget. "Akan kukirim dengan segera beberapa anak buahku, untuk membuka jalan turun bagi kalian!" Dalam waktu singkat serombongan anak buah kolonel itu datang. Mereka membuka sebagian pagar kawat, yang cepat-cepat dipasang lagi begitu Bill masuk bersama anak—anak serta rombongan bawahannya. Mereka semua berjalan turun sambil terpeleset-peleset di lereng yang curam, menuju ke rumah besar. Sesampai di sana Bill langsung masuk bersama Kolonel Yarmouth, untuk berunding. Sedang yang lain-lain menunggu dengan sabar di luar. Jack dan Philip merebahkan diri ke rumput, sambil menguap berkali-kali. Sesaat kemudian keduanya sudah tidur nyenyak! Beberapa saat kemudian Bill keluar lagi, bersama Kolonel Yarmouth. Bill menginstruksikan tiga orang dari anak buahnya untuk menggiring para tahanan ke sebuah ruangan bercat putih, yang dulu kelihatannya merupakan tempat pemerahan susu. Pintu ruangan itu langsung dikunci dengan gembok. "Nah; urusan itu sudah beres," kata Bill puas. "Sekarang kita kembali ke Pondok Musim Bunga. Tapi kita terpaksa mengambil jalan memutar, mengelilingi kaki bukit lalu naik lagi sampai ke rumah. Soalnya, jalan lain tidak ada." Jack dan Philip mengeluh; Malas rasanya harus berjalan kaki lagi. Tapi apa boleh buat. "He, Bill! Bagaimana dengan peta-peta atau kertas-kertas dokumen yang tertinggal dalam ruangan bawah tanah?" tanya Jack. “Ah itu soal gampang. Salah seorang bawahan Kolonel akan masuk ke sana lewat lorong rahasia, kalau air sudah berhenti mengalir nanti," kata Bill. "Sedang ketiga tahanan kita nanti akan dibawa ke kota, dengan penjagaan ketat." "Kalau begitu, petualangan kita kali ini sudah berakhir?" kata Philip. "Masih ada beberapa hal yang perlu diselesaikan," kata Bill. "Misalnya saja,jejak Scar-Neck serta kawannya harus dilacak! Besar kemungkinannya Scar-Neck akan mencukur habis janggutnya yang lebat. Tapi jika itu dilakukan, bekas lukanya akan nampak jelas, kecuali jika ia bisa menutupinya dengan bahan samaran. Kalau kita berhasil menangkapnya, barulah aku benar-benar puas!” "O ya, mobil Anda juga masih perlu diambil dari atas lereng," kata Jack. "Kan ditinggal pada awal bagian tanah longsor." "Betul juga katamu," kata Bill. "Aduh, mudah-mudahan saja tidak terseret banjir — atau tertimbun tanah l0ngs0r!" “Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan Dinah, Lucy-Ann dan Tassie," kata Philip. "Mudah-mudahan mereka sudah sampai di rumah sebelum badai. Sudah lama sekali rasanya berpisah dari mereka!" Button berlari-lari di depan Philip, sementara mereka bertiga berjalan kembali ke rumah. Anak rubah itu ikut berjasa dalam petualangan yang baru saja berakhir, karena dialah yang menunjukkan jalan masuk ke dalam puri tanpa melewati pintu atau jendela. Setelah berjalan agak lama, akhirnya mereka sampai di jalan yang menuju ke atas, menuju ke Pondok Musim Bunga. "Halo! Halo," seru Jack sambil berlari ke arah rumah itu. "Dinah! Lucy-Ann! Kami sudah kembali! Di mana kalian?" Bab 31 AKHlR PETUALANGAN Dari arah rumah terdengar jeritan nyaring. Siapa lagi yang berteriak, kalau bukan Lucy-Ann. Anak itu muncul dari balik pintu, lalu berlari-lari menyongsong Jack. Nyaris saja Jack terpental jatuh ditubruk adiknya, yang begitu gembira bertemu lagi dengan abangnya. "Jack! Kau kembali juga akhirnya! Dan Philip juga! Dari mana saja kalian selama ini? Kami sudah cemas memikirkan keadaan kalian." Sementara itu Dinah muncul pula bersama Tassie. Keduanya berseru-seru dengan gembira. "Kalian tidak apa-apa sewaktu badai? Kami cemas sekali memikirkan kalian! Tassie tadi naik ke atas bukit. Katanya hampir separuh dari puri ambruk!" "Kalian tidak apa-apa ketika badai?" tanya Jack, sementara mereka beramai-ramai masuk ke rumah. "Kami gelisah membayangkan kalian bertiga menuruni bukit dalam hujan lebat. Atau kalian sudah lebih dulu sampai sebelum badai?" "Hujan sudah mulai turun dan guruh terdengar bergulung-gulung terus — tapi untung belum ada kilat menyambar," kata Dinah. "Sesampai di sini, kami sudah basah kuyup. Ketika turun Tassie tidak memberi kesempatan beristirahat sama sekali. Berulang kali ia mengatakan, nanti pasti ada tanah longsor lagi. Dan ternyata ia benar!" "Hebat, Tassie," kata Jack. "Kalian sampai tepat pada waktunya di sini. Wah, keadaan di puri waktu itu bukan main!" Ketiga anak perempuan mendengarkan kisah Jack dengan mata terbelalak karena ngeri. Mereka mengucap syukur, karena tidak ikut mengalaminya! "Mana Kiki?" tanya Jack kemudian. Ia memandang berkeliling. "Kusangka ia ada di sini, untuk menyambut kedatanganku." "Kurasa sebentar lagi pasti muncul," kata Tassie. "Saban kali ia terbang mencarimu. Tapi selalu kembali lagi ke sini." Benar juga — sepuluh menit kemudian burung kakaktua itu nampak terbang menghampiri, sambil mengoceh. "Sudah berapa kali, berapa kaii, gelap-pengap-kedap, gelap-pengap-kedap, Jack, Jack, Jack!" Kiki hinggap di atas pundak anak itu, lalu mencubiti telinganya dengan penuh kasih sayang. Philip cepat-cepat menutupi telinga kirinya yang masih bengkak. "Jangan berani-berani hinggap di pundakku lalu mencubit telingaku, Kiki," katanya. "Rasanya masih sakit!" Anak-anak perempuan menyiapkan sarapan untuk mereka semua, sambil mengobrol dengan asyik. Mereka bergembira, karena Jack dan Philip sudah kembali bersama Bill. "Sekarang bagaimana kalau kita tidur sebentar?" kata Bill pada Jack dan Philip, setelah semuanya selesai sarapan. "Aku capek sekali!" Jack sudah nyaris tertidur sambil duduk. Sedang Philip berulang kali menguap. Kedua anak laki-laki itu pergi ke tempat tidur masing-masing, sedang Bill berbaring di atas bangku panjang yang terdapat dalam dapur. Sedang anak-anak perempuan pergi ke kebun, untuk mengobrol di sana. Cuaca sudah cerah kembali. Sama sekali tidak ada awan di langit. Hawa saat itu terasa segar. Kepengapan kemarin lenyap setelah badai berlalu. "He! Ada orang datang," kata Dinah. Dilihatnya tiga orang laki-laki datang menghampiri. "Mereka anak buah Bill," kata Lucy-Ann. Ketiga laki-laki itu masuk ke kebun. Tampang mereka nampak serius. "Mana atasan kami? Kami perlu bicara sebentar," kata seorang dari mereka. "Bill sedang tidur, lebih baik jangan diganggu dulu," kata Dinah. "Apa boleh buat, tapi ini urusan penting," kata orang itu berkeras. "Ada apa sih?" tanya Lucy-Ann. "Mengenai mobilnya barangkali?" "Betul," jawab orang itu. "Tapi kami ingin menyampaikannya sendiri pada atasan kami." "Ia ada di dapur," kata Dinah. Ketiga laki-laki itu lantas masuk ke dapur. Mereka membangunkan Bill. Terdengar suara mereka menyampaikan berita dengan nada serius. Ketika Bill kemudian keluar, Dinah dan kedua temannya memandang ke arahnya. "Ada apa, Bill?" tanya Dinah. "Mobil Anda sudah ditemukan — dan ternyata rusak, barangkali?" "Mereka memang menemukan mobilku," jawab Bill dengan nada tenang. "Tapi kecuali itu, ada lainnya yang juga mereka temukan." "Apa?" tanya Dinah, Tassie dan Lucy-Ann serempak. "Rupanya Scar-Neck berhasil melewati tanah longsor dengan selamat beserta kawannya, lalu keduanya menemukan mobilku," kata Bill. "Mereka hendak melarikan diri dengan mobilku itu. Tapi pada saat sedang memutarnya, banjir datang dan mengakibatkan tanah longsor lagi!" "Astaga! Lalu bagaimana? Matikah mereka?" tanya Dinah sambil mendekap mulutnya karena ngeri. "Ya, kurasa begitu," kata Bill. "Kami belum tahu pasti. Pokoknya mobilku terseret tanah longsor, lalu jatuh ke dalam jurang dan terbalik. Sedang Scar-Neck serta kawannya masih ada di dalamnya." "Tidak bisa dikeluarkan?" tanya Dinah cemas. "Pintu macet," kata Bill. "Kalian punya tali yang cukup kokoh di sini? Kalau ada, kami hendak berusaha menarik mobil supaya tegak kembali. Setelah itu kami coba membuka atapnya, dan mengeluarkan kedua orang itu lewat atap." Dinah mengambil kabel kawat dari gudang, lalu menyerahkannya pada Bill. Ketika bawahannya berangkat bersama Bill, anak perempuan tidak ada yang minta diperbolehkan ikut Mereka tidak ingin melihat kejadian mengerikan itu. Biar Scar-Neck serta kawannya penjahat, tapi kasihan juga kalau mereka benar-benar tewas dengan cara yang begitu seram. Begitu Jack dan Philip bangun, dengan segera ketiga anak perempuan lari menghampiri untuk menceritakan kabar itu. "Astaga!' kata Jack. "Bayangkan — padahal mungkin keduanya merasa bernasib mujur, ketika menemukan mobil itu di lereng bukit. Mereka pasti tak menduga bahwa itu malah membawa bencana akhirnya!" Beberapa jam kemudian Bill kembali. Anak-anak bergegas menyongsongnya. Mereka melihat Bill tersenyum. "Keduanya ternyata masih hidup,” katanya. "Tapi Scar-Neck pingsan. Cederanya cukup parah, ditambah gegar otak. Sedang kawannya patah kakinya. Tapi sudah siuman kembali. "Jadi akhirnya Anda berhasil juga membekuk mereka, ’ kata Philip. "Hebat, Bill!" "Lalu bagaimana dengan mobil Anda," tanya Dinah. "Rusak berat," kata Bill. 'Tapi tidak mengapa, karena kurasa aku pasti mendapat ganti yang baru, apabila atasanku mengetahui bahwa aku berhasil membekuk Scar-Neck beserta kawanannya. Bayangkan — takkan mungkin aku bisa mengetahui rahasia mereka, kalau bukan karena kalian!" "Ya, tapi kami pun pasti repot, apabila Anda tidak muncul," kata Jack. "Wah, apa kata Bibi Allie nanti setelah kembali, dan mendengar apa yang terjadi selama ia pergi!" "Ia pasti mengatakan, kita tidak bisa ditinggal barang sehari saja, langsung terlibat dalam kesulitan," kata Philip sambil nyengir. "Mana kedua penjahat itu, Bill?" "Tom tadi kusuruh ke desa untuk meminta bantuan," kata Bill. "Lalu datang beberapa orang membawa tandu, disertai seorang dokter. Jadi kurasa Scar-Neck serta kawannya saat ini tentunya sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Scar-Neck pasti kaget jika siuman lagi nanti, karena tahu-tahu ia sudah terkapar di tempat tidur, dijaga seorang polisi bertubuh tegap!" “Kita berjalan-jalan sebentar yuk," kata Jack mengajak Bill, kepingin melihat apa yang terjadi di puri!" "Baiklah," jawab Bill. Mereka lantas berangkat bersama-sama, menuju ke puri. Tapi mereka tidak bisa terlalu dekat, karena banyak sekali bagian jalan yang longsor pada malam badai kemarin. Seluruh lereng nampak kacau-balau. Batu-batu besar bertonjolan di mana-mana, di tengah lumpur, pohon-pohon yang tercabut sampai ke akarnya, serta air yang masih terus membanjir dari atas. "Hih, seram," kata Lucy-Ann sambil bergidik. Kemudian ia mendongak, memandang ke arah puri yang letaknya lebih tinggi di bukit. "Kelihatannya lain dari kemarin. Ada sesuatu yang berubah. Yuk, kita naik lebih tinggi lagi untuk melihatnya." Mereka mendaki lagi, melewati jalan kelinci yang biasa mereka lalui. Mereka memandang sambil melongo, ketika sudah sampai cukup dekat ke puri. "Kedua menaranya tidak ada lagi, begitu pula sebagian besar dari temboknya," kata Lucy-Ann. "Sekarang kita bisa langsung masuk ke halaman dalam, lewat tumpukan batu-batu itu. Wah, pasti bunyinya gegap gempita, ketika tembok dan menara itu runtuh!" "Dan lihatlah bangunan purinya sendiri — bagian tengahnya ambruk. Kini tinggal kerangkanya saja yang masih ada," kata Jack. "Bagian yang runtuh itu yang rupanya menimpa lantai serambi," kata Philip. "Pantas batu besar itu tidak bisa digeser, Bill." Bill diam saja. Dalam hati ia membayangkan, betapa nyaris mereka celaka malam itu. Untung mereka berada dalam ruangan bawah tanah yang aman! "Tamat riwayat kameraku, serta barang-barang kami yang lain," kata Jack. "Semuanya pasti akan kuganti," kata Bill. Karena ia berhasil menangkap Scar-Neck, rasanya begitu gembira sehingga mau menjanjikan apa saja saat itu! "Kecuali itu kalian semua akan menerima hadiah dari ku, karena memberi kesempatan padaku untuk ikut mengalami petualangan seru ini! "Untukku juga?’ tanya Tassie dengan segera. "Ya tentu saja," kata Bill sambil tersenyum ramah. "Kau mau minta apa?” "Tiga pasang sepatu semua untukku sendiri kata Tassie dengan serius. Anak-anak tertawa. Mereka tahu, Tassie meminta sepatu bukan untuk dipakai, tapi untuk dikagumi. Anak itu kadang-kadang kocak tingkah—lakunya! "Yuk, kita kembali saja,’ kata Lucy-Ann. "Aku tidak mau melihat reruntuhan puri ini lagi.” "Aku juga tidak," kata Dinah. "Tapi aku lebih senang pun ini berupa reruntuhan yang bisa dimasuki seuap orang yang ingin melihat-lihat, dari pada merupakan puri utuh yang didiami laki-laki tua yang jahat, atau mata-mata kayak Scar-Neck. Aku lebih senang melihat keadaannya kayak sekarang ini. Tidak ada lagi ruangan yang gelap dan pengap! “Gelap pengap, kedap!” oceh Kiki dengan gembira. “Hidup gelap-pengap-kedap!” "Kau keliru, Kiki” kata Jack. "Mestinya kau mengatakan, Hidup Puri Rajawali!” Anak-anak kembali ke rumah, meninggalkan puri kuno yang kini hanya tinggal bekas-bekasnya. T A M A T Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com